Senin, 27 Juli 2020

(Hikmah of the Day) Virus Corona dan Kisah Mulut Kotak Amal Masjid yang Dilakban

Virus Corona dan Kisah Mulut Kotak Amal Masjid yang Dilakban


Merebaknya virus Corona di seluruh dunia yang hingga kini telah merenggut lebih dari 108,865 jiwa manusia telah menimbulkan keprihatian mendalam bagi seluruh lapisan masyarakat global karena wabah ini tidak pandang bulu berdasarkan ras, suku, agama, kebangsaan, hingga status sosial. Musibah besar ini tidak saja berdampak langsung terhadap aspek kehidupan masyarakat di bidang kesehatan, tetapi juga pada aspek ekonomi hingga keagamaan.

 

Dalam bidang ekonomi, banyak sektor informal terhenti kegiatannya karena alasan social distancing. Misalnya, banyak sekolah tutup hingga para pedagang kecil yang pada hari-hari biasa menjajakan dagangannya di sana tidak bisa berjualan karena murid-murid sekolah belajar di rumah masing-masing sesuai intruksi pemerintah. Dampaknya, banyak keluarga dari kalangan ekonomi lemah itu mengalami kesulitan keuangan dalam mencukupi kebutuhan sehari-hari. Banyak dari mereka adalah Muslim yang taat beribadah dengan selalu melaksanakan shalat Jumat di masjid.

 

Dalam bidang keagamaan, masjid-masjid diimbau untuk tidak menyelenggarakan shalat Jumat dan shalat lima waktu berjamaah untuk sementara demi memotong mata rantai penularan virus Corona antarjamaah masjid. Imbaun semacam ini datang dari berbagai ormas keagamaan seperti MUI, PBNU, DMI, dan Muhammadiyah dan bahkan dari ulama-ulama yang tergabung dalam Haiah Kibaril Ulama al-Azhar (Ikatan Ulama Besar al-Azhar) Kairo Mesir.

 

Dalam praktiknya imbauan di atas tidak sepenuhnya dipatuhi oleh setiap pengurus masjid dengan alasan di daerahnya masih aman dari ancaman wabah virus Corona karena belum termasuk dalam zona merah virus Corona. Namun demikian dalam menyelenggarakan shalat Jumat mereka tetap memperhatikan protokol kesehatan dengan memperhatikan panduan yang secara resmi dikeluarkan oleh MUI tentang Shalat Jumat di tengah wabah virus Corona bagi masjid yang karena alasan tertentu tetap menyelenggarakan shalat Jumat.

 

Panduan itu antara lain mengatur bahwa masjid harus menyediakan alat ukur suhu, hand sanitizer, para jamaah harus bermasker, berjarak minimal 1 meter antara jamaah satu dengan lainnya, dan sebagainya. Aturan jarak minimal 1 meter itu berimpliksi bahwa ruang masjid menjadi kurang luas untuk menampung semua jamaah shalat Jumat seperti biasanya. Maka tempat shalat Jumat diperluas hingga halaman masjid dengan menggelar tikar atau menggunakan sajadah masing-masing.

 

Kehatian-hatian Pengurus Masjid

 

Beberapa hari lalu di hari Jumat. Seorang kawan sebut saja Pak Heri bercerita bahwa pada Jumat lalu ia shalat Jumat bukan di masjid di daerahnya tetapi di luar kota. Ia kebetulan memang ada keperluan penting di kota itu pada hari Jumat. Di kota tersebut ia menemukan sebuah masjid menyelenggarakan shalat Jumat yang pelaksanaannya sesuai dengan panduan dari MUI sebagaimana diuraikan di atas.

 

Ketika ia sampai di sebuah masjid itu di pinggir jalan raya, ia langsung turun dan berjalan menuju tempat wudhu lalu mencuci tangannya dengan hand sanitizer yang disediakan masjid. Setelah itu ia bermaksud masuk ke dalam masjid. Tetapi tiba-tiba seseorang datang menghentikan langkah kakinya dan menanyakan dari desa mana Pak Heri itu berasal. Ia menjawab ia berasal dari luar kota.

 

Rupa-rupanya orang tersebut adalah bagian keamanan masjid itu yang ditugasi memastikan agar orang yang berasal dari luar kota diisolasi agar tidak bercampur dengan warga desa setempat sebagai antisapsi agar tidak tertular atau menularkan wabah virus Corona karena dikhawatirkan ada orang yang terpapar virus Corona tetapi tanpa gejala atau disebut OTG (orang tanpa gejala).

 

Pak Heri menjawab ia berasal dari luar kota. Dengan jawaban itu Pak Heri kemudian mendapat pesan untuk tidak masuk ke dalam masjid tetapi menempatkan diri di halaman saja. Pak Heri bisa menerima pesan itu dengan baik tanpa protes sedikit pun karena menyadari siatuasi kesehatan di masyarakat memang sedang tidak normal. Ia sangat paham bahwa kebijakan itu intinya untuk kebaikan dan keselamatan bersama.

 

Ketika shalat Jumat telah usai, Pak Heri hendak melanjutkan perjalanannya, tetapi ada perasaan yang mengganjal di hatinya. Sebelum turun dari mobil dan masuk ke halaman masjid Pak Heri sudah menyiapkan uang untuk diinfaqkan ke masjid.

 

Tetapi ia lupa mengeluarkannya. Menyadari hal itu Pak Heri kemudian mencari kotak amal masjid. Akhirnya ia pun menemukannya beberapa kotak amal di sudut masjid. Ketika Pak Heri mendekat dan hendak memasukkan uangnya ke dalam kotak, Pak Heri kesulitan karena tidak menemukan satu lubang pun untuk dimasuki uangnya. Ia mendapati mulut semua kotak amal itu dilakban tebal sehingga ia tidak bisa memasukkan uangnya.

 

"Rupa-rupanya pengurus masjid sangat berhati-hati tidak hanya terhadap para jamaah tetapi juga terhadap uang yang mereka bawa.” Komentar Pak Heri dalam hati.

 

Dalam perjalanan pulang dan masih memikirkan mulut kotak amal yang dilakban, Pak Heri teringat sebuah artikel di sebuah media daring yang dibacanya beberapa hari sebelumnya bahwa uang kertas yang berpindah dari tangan ke tangan orang berpotensi menularkan virus Corona meski tidak sangat signifikan.

 

“Luar biasa kehati-hatian pengurus masjid itu.” Pak Heri memujinya.

 

Menanggapi cerita dan komentar Pak Heri terkait dengan kotak amal masjid yang dilakban mulutnya tersebut, saya punya analisis sendiri bahwa pengurus masjid berhati-hati sekali tidak saja dililhat dari perspektif kesehatan, tetapi juga dari perspektif sosial ekonomi. Di mana-mana di setiap masjid tentu ada jamaahnya yang dari kalangan ekonomi lemah.

 

Di saat sulit seperti ini di mana banyak dari kalangan mereka terdampak langsung secara ekonomi, maka pengurus masjid cukup bijak ketika untuk sementara tidak mengedarkan kotak amal kepada para jamaah. Tentu saja tujuannya adalah agar mereka dari kalangan ekonomi lemah bisa lebih fokus pada pemenuhan kebutuhan keluarga yang itu hukum wajib. Bagi jamaah yang mampu tentu diharapkan dapat mengalihkannya untuk disalurkan kepada tetangga kiri kanannya yang tidak mampu yang mengalami kesulitan ekonomi.

 

Alasan lain, adalah bukankah berkurangnya volume kegiatan di masjid karena kebijakan social distancing, seperti ditidakannya untuk sementara waktu pengajian rutin dan sebagainya cukup mengurangi pengeluaran keuangan masjid, misalnya untuk bayar tagihan listrik, air, konsumsi, bisyarah, dan sebagainya. Di samping itu, mungkin pengurus masjid masih memiliki saldo keuangan yang cukup besar selain juga memiliki donatur tetap yang bisa diandalkan sewaktu-waktu.

 

Jadi intinya adalah di saat sulit seperti ini, semua pihak sangat diharapkan kehati-hatianya dalam menjaga protokol kesehatan dengan menerapkan social distancing dan pola hidup sehat. Dan bahwa wabah virus Corona ini berdampak langsung terhadap ekonomi masyarakat dari tingkat lokal terkecil seperti keluarga, RT dan RW, desa, kecamatan hingga kota/kabupaten, provinsi dan nasional, tidak bisa dielakkan. Masjid sebagai lembaga sosial keagamaan tentu diharapkan berpartisipasi dalam menangangi dampak soial ekonomi anggota jamaahnya sebagai bentuk social responsibilty, misalnya cukup dengan tidak mengedarkan kotak amal untuk sementara waktu sebagaimana diterapkan oleh masjid sebagaimana dikisahkan di atas. []

 

Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Unversitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar