Wabah Korona: Kontestasi Ideologis (4)
Oleh: Azyumardi Azra
Kontestasi ideologis jelas melibatkan kelompok parpol-parpol yang secara pragmatis untuk kepentingan politik dan semangat korp DPR mendukung PDIP dengan RUU HIP. Dukungan itu tidak banyak berubah ketika PDIP yang dengan ideologi Soekarnoismenya mengubah RUU HIP menjadi RUU PIP dan kemudian RUU BPIP.
Padahal basis ideologi politik masing-masing berbeda; tetapi mereka mengeluarkan nada koor yang relatif sama. Secara kategoris, parpol-parpol itu berasas Pancasila dan berasas Islam. Tetap perbedaan asas itu tidak menjadi hambatan bagi kelompok parpol tertentu berkolaborasi lewat fraksi masing-masing di DPR untuk mengajukan RUU tertentu, seperti RUU HIP.
Selain kelompok ideologi Soekarnois dan kelompok parpol Islam yang pragmatis, kelompok ketiga dengan ideologi Islam moderat adalah arus utama Islam. Kelompok besar ini diwakili ormas seperti NU, Muhammadiyah, MUI dan banyak ormas lain di seluruh tanahair. Mereka mengambil sikap ‘tengahan’ dengan menolak RUU HIP dengan nada lebih ‘soft’ tapi tegas dan firm. Seperti lazimnya, kelompok tengah besar ini menampilkan sikap moderasi dalam menyikapi kontroversi dan kegaduhan.
Selain menolak penciutan Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila, kelompok besar ini menekankan finalitas Pancasila yang disepakati para pemimpin negara-bangsa pada 18 Agustus 1945. Bagi mereka, memeras Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila mengorbankan sila-sila Pancasila, khususnya Ketuhanan Yang Maha Esa. Apalagi kemudian menjadikannya menjadi ‘ketuhanan yang berkebudayaan’.
Mereka juga tidak melihat urgensi bagi DPR dan pemerintah untuk mengadopsi RUU HIP yang berpotensi menyuburkan benih disintegrasi di antara warga bangsa. Bagi mereka yang paling urgen adalah mengatasi wabah Covid-19. Juga urgen mengatasi dampak Covid-19 di bidang ekonomi, sosial-budaya dan politik sekarang dan beberapa tahun ke depan.
Selain kelompok besar mainstream ormas lebih ‘soft’ menolak RUU HIP atau anak-pinaknya ada lagi kelompok keempat yaitu kelompok Muslim lebih keras yang misalnya diwakili FPI dan kelompok atau gerakan lain yang lebih mengambil sikap frontal. Kelompok-kelompok ini bisa dikatakan mendapat momentum dengan kontroversi RUU HIP; menjadi kesempatan baik untuk kembali tampil ke depan.
Kelompok garis keras Islam menjadikan kontroversi RUU HIP atau RUU PIP atau RUU BPIP untuk menegaskan kembali eksistensi mereka yang surut pasca-Pilpres 2019. Mereka menggaungkan lebih keras apa yang mereka sebut sebagai ‘kebangkitan kembali komunisme atau PKI’. Bahkan mereka dalam kegaduhan politik yang terjadi juga mengangkat tema untuk penggantian pemerintahan melalui pemakzulan Presiden Jokowi.
Tetapi penting diingatkan adanya keempat kelompok yang muncul sejak timbulnya kontroversi RUU HIP tidak pula sepenuhnya membelah para warga Indonesia ke dalam politik aliran seperti dielaborasi berdasarkan kerangka antropolog Clifford Geertz. Pembelahan politik aliran berdasarkan tiga varian; santri, abangan dan priyayi seperti dikemukakan Geertz dalam Religion of Java (1960) tetap saja tidak tak bisa menjelaskan sepenuhnya kontestasi politik masa pasca-Orde Baru dan masa kini.
Oleh karena itu, konstestasi ideologis yang disebut dalam Resonansi ini sebagian besarnya lebih merupakan reminiscent, sisa ingatan dari pembelahan ideologis yang mencapai puncaknya di masa Presiden Sukarno. Konflik ideologis berkepanjangan membuat pemerintah Orde Lama tidak dapat melakukan pembangunan sehingga ekonomi Indonesia terus memburuk.
Belajar dari pengalaman Presiden Sukarno, Presiden Soehato berusaha mengakhiri konflik dan kontestasi ideologis. Dengan begitu dia dapat menciptakan stabilitas nasional yang mutlak perlu untuk dapat melakukan pembangunan nasional.
Presiden Soeharto berusaha melenyapkan konflik ideologis itu melalui fusi-fusi kelompok partai pada 1973 menjadi tiga parpol: PPP (Islam), PDI (nasionalis), dan Golkar. Ketiga pengelompokan ini seolah mengukuhkan politik aliran: PPP (santri), PDI (abangan), Golkar (priyayi).
Meski pengelompokan partai semacam reminiscent politik aliran, tetapi peningkatan ekonomi, pendidikan, sosial-budaya sejak 1980-an menimbulkan banyak perubahan kehidupan keagamaan. Terjadi proses santrinisasi yang melintasi batas kelas sosial-ekonomi, ideologi politik dan seterusnya. Semua ini melunturkan banyak batas politik aliran.
Mempertimbangkan pengalaman historis dan kecenderungan perkembangan politik, sosial-budaya dan keagamaan dewasa ini, kontestasi ideologis yang ada boleh jadi tidak berumur panjang. Oleh karena itu, selalu perlu ketenangan dan kearifan menyikapinya; tidak bergaduh dan berkonflik berkepanjangan yang bisa menelantarkan perbaikan hidup para warga. []
REPUBLIKA, 17 Juli 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar