Wabah Korona: Kontestasi Ideologis (1)
Oleh: Azyumardi Azra
Wabah korona di Tanah Air kita tidak hanya menjadi bencana kesehatan, dan ekonomi, tetapi juga dalam batas tertentu menimbulkan kekacauan pemerintahan dan politik. Terjadi perbedaan-perbedaan kebijakan di antara kalangan pejabat tinggi pemerintah pusat; juga di antara pemerintah pusat dengan pemerintah provinsi dan pemerintah kota/kabupaten.
Ekspansi wabah korona yang menimbulkan disrupsi politik memperlihatkan adanya masalah kepemimpinan di lingkungan elite puncak pemerintahan. Keadaan tidak kondusif ini mengakibatkan kebingungan dan kekacauan ke bawah. Bukan hanya sampai tingkat pemerintahan provinsi dan kota/kabupaten, melainkan juga ke lingkungan warga akar rumput.
Lebih dari itu, wabah korona juga menimbulkan kontestasi ideologis di antara kelompok-kelompok warga berbeda. Pembelahan ideologis di antara kelompok-kelompok warga muncul jelas ke permukaan. Padahal, kontestasi ideologis itu semula tersimpan dalam arus bawah kehidupan dan dinamika pemerintahan dan politik.
Tidak ragu lagi, kontestasi ideologis ini muncul juga terkait dengan kebingungan dan kekacauan kepemimpinan dan elite politik. Preseden-preseden perkembangan politik sebelum dan selama wabah pandemi mempercepat dan mempertinggi intensitas dan eskalasi kontestasi dan konflik ideologis. Terus meningkatnya jumlah warga yang positif Covid-19 tidak menghalangi eskalasi konflik ideologis.
Dalam pengamatan dan keterlibatan sebagai narasumber terkait isu politik dan ideologi dalam banyak webinar sepanjang musim pandemi, penulis dapat melihat adanya beberapa kelompok ideologis yang bertarung di kancah politik nasional. Pertarungan itu sebagiannya terbuka; tetapi juga masih banyak yang tertutup di bawah arus. Jadi, apa yang terlihat di depan publik hanyalah ‘puncak dari gunung es yang lebih besar’.
Fenomena “tip of iceberg” kontestasi ideologis itu boleh jadi agak mengejutkan. Pertama-tama, masa kini adalah masa pandemi; warga bisa diasumsikan tidak sempat berpikir tentang ideologi. Masing-masing dan seluruh warga, khususnya di daerah yang semakin merah karena wabah korona sibuk menyelamatkan diri.
Mereka lebih banyak berpikir dan berusaha tentang bagaimana menyelamatkan diri sendiri dan keluarga. Selain itu, juga memikirkan pekerjaan dan ekonomi-keuangan keluarga agar tetap bisa bertahan—menjadi penyintas dari wabah korona dan sekaligus dari kesulitan ekonomi-keuangan.
Kedua, kontestasi ideologi pada masa korona tampak membangkitkan kembali memori masa silam pasca-kemerdekaan 17 Agustus 1945. Masa itu sampai pertengahan 1980-an sering disebut Indonesianis dan Islamisis (apakah ahli Indonesia sendiri atau orang asing) sebagai era kontestasi dan konflik ideologis.
Politik Indonesia dalam masa relatif panjang selama lebih tiga dasawarsa terbelah ke dalam pengelompokan yang disebut ‘politik aliran’. Teori tentang politik aliran berasal dari pembelahan kaum Muslim Jawa yang dibuat antropolog terkenal Amerika, Clifford Geertz (1926-2006) dalam masterpiece berjudul “The Religion of Java” (1960) yang kemudian diterjemahkan dan diterbitkan Pustaka Jaya (1983) sebagai “Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa”.
Tiga varian Muslim Jawa—juga berlaku di banyak daerah Indonesia—adalah ‘abangan’, atau ‘merahan’, yaitu orang Islam yang tidak atau hanya sekali-kali mempraktikkan Islam. Muslim abangan ini sering juga disebut sebagai ‘ID card Muslim’ atau ‘nominal Muslim’. Sesuai politik aliran, kaum abangan lazimnya berafiliasi ke PNI atau PKI dan parpol lain semacamnya.
Varian kedua adalah ‘santri’, yaitu orang Islam yang taat menjalankan Islam dalam kehidupan sehari-hari. Mereka biasa disebut juga sebagai orang putihan atau ‘practising Muslims’ yang berafiliasi dengan pesantren dan lembaga pendidikan Islam lain dan ormas Islam. Secara politik aliran, kaum santri berafiliasi dengan parpol berasas Islam atau berbasis massa ormas Islam, seperti Partai Masyumi, Partai NU, dan beberapa parpol Islam lain.
Varian ketiga yang diajukan Geertz adalah ‘priyayi’. Seperti ditulis para pengkritik Geertz—termasuk penulis—varian priyayi bukanlah kategori keagamaan, melainkan kategori sosiologis. Sebagai kategori sosiologis, priyayi adalah orang aristokrat atau bahkan ‘bangsawan’; di sisi lain ada rakyat jelata (wong cilik).
Sementara itu, kalangan menganggap priyayi lebih dekat kepada abangan; apalagi jika dikaitkan dengan ‘aliran kepercayaan’ atau ‘aliran kebatinan’ dalam tradisi spiritualitas sebagian masyarakat Jawa. Padahal, dalam praktiknya seorang priyayi secara keagamaan bisa jadi adalah abangan atau sebaliknya, santri. []
REPUBLIKA, 17 Juli 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar