Membagikan Daging Kurban pada Keluarga Sendiri, Bolehkah?
إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Sungguh, Kami telah memberimu telaga kautsar, maka laksanakanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah),” (QS Al-Kautsar: 1-2).
Perintah berkurban dalam ayat di atas oleh para ulama diarahkan sebagai perintah yang bersifat kesunnahan secara kolektif atau biasa disebut dengan istilah sunnah kifayah. Maksudnya, tuntutan melaksanakan berkurban dalam sebuah keluarga (ahlul bait) akan menjadi gugur ketika salah satu dari anggota keluarga ada yang melaksanakannya. Bukan berarti seluruh anggota keluarga ikut mendapatkan pahala atas kurban yang dilakukan oleh salah satu perwakilan anggota keluarganya. Sebab setiap orang dalam anggota keluarga tetap disunnahkan melaksanakan kurban secara khusus, meski sudah ada perwakilan keluarganya yang berkurban, hal ini tak lain agar mereka mendapatkan pahala dari menyembelih hewan kurban yang diatasnamakan masing-masing dari diri mereka sendiri.
Penjelasan mengenai hal ini secara ringkas dijelaskan oleh Syekh Sulaiman al-Bujairami:
(التَّضْحِيَةُ سُنَّةٌ) مُؤَكَّدَةٌ فِي حَقِّنَا عَلَى الْكِفَايَةِ إنْ تَعَدَّدَ أَهْلُ الْبَيْتِ وَإِلَّا فَسُنَّةُ عَيْنٍ لِخَبَرٍ صَحِيحٍ فِي الْمُوَطَّأِ وَفِي سُنَنِ التِّرْمِذِيِّ وَمَعْنَى كَوْنِهَا سُنَّةَ كِفَايَةٍ مَعَ كَوْنِهَا تُسَنُّ لِكُلٍّ مِنْهُمْ سُقُوطُ الطَّلَبِ بِفِعْلِ الْغَيْرِ لَا حُصُولُ الثَّوَابِ لِمَنْ لَمْ يَفْعَلْ كَصَلَاةِ الْجِنَازَةِ
“Ibadah kurban hukumnya sunnah yang bersifat kolektif (sunnah kifayah) bagi kita (umat Muslim) ketika anggota keluarga terhitung banyak. Jika hanya sendirian maka hukumnya sunnah ‘ain, berdasarkan hadits sahih dalam kitab al-Muwattha’ dan Sunan at-Tirmidzi.” Maksud dari sunnah kifayah–di samping kurban dianjurkan bagi setiap anggota individu keluarga–adalah gugurnya tuntutan berkurban ketika orang lain yang masih anggota keluarga menunaikannya, bukan hasilnya pahala bagi orang yang tidak melaksanakan kurban, persis seperti ketentuan dalam shalat jenazah” (Syekh Sulaiman al-Bujairami, Hasyiyah al-Bujairami ala al-Manhaj, juz 4, hal. 294).
Sedangkan maksud dan cakupan keluarga atau ahlul bait dalam pembahasan ini (sunnah kifayah), para ulama terbagi menjadi dua penafsiran dalam memahaminya. Pertama, mengartikan keluarga mengacu pada orang-orang yang berkumpul bersama dalam kehidupan (tempat tinggal) dan pergaulannya. Kedua, mengartikan keluarga hanya terbatas pada orang-orang yang wajib dinafkahi oleh mudlahhi (pekurban). Dalam kitab Hasyiyah al-Bujairami ala al-Khatib disebutkan:
(إنْ تَعَدَّدَ أَهْلُ الْبَيْتِ) وَهُمْ مَنْ اجْتَمَعُوا فِي الْعِيشَةِ وَالْعِشْرَةِ وَقِيلَ مَنْ تَلْزَمُ الْفَاعِلَ نَفَقَتُهُمْ. وَاعْتَمَدَهُ م ر وَز ي
“Ahlul bait (keluarga) adalah orang yang berkumpul dalam hal kehidupan dan pergaulan. Dikatakan pula bahwa ahlul bait adalah orang yang wajib dinafkahi oleh orang yang berkurban. Pendapat kedua ini dijadikan pegangan oleh Imam ar-Ramli dan Imam az-Zayadi” (Syekh Sulaiman al-Bujairami, Hasyiyah al-Bujairami ala al-Khatib, juz 4, hal. 330).
Lantas bolehkah daging kurban seseorang diberikan pada keluarganya sendiri, mengingat kurban merupakan bentuk perwakilan dari keluarganya?
Mengenai hukum membagikan daging kurban pada keluarga, para ulama memberikan ketentuan yang sama dengan hukum mengonsumsi daging hewan kurban bagi orang yang berkurban (mudlahhi), yakni ketika kurban berupa kurban wajib maka tidak boleh bagi mudlahhi dan keluarganya untuk mengonsumsi hewan kurban tersebut, sedangkan ketika kurbannya berupa kurban sunnah, maka boleh bagi mudlahhi dan keluarganya untuk mengonsumsi daging hewan kurbannya, selama ada kadar daging yang dibagikan pada golongan fakir miskin.
Ketentuan hukum ini dapat kita lihat dari larangan mengonsumsi daging kurban wajib yang berupa nazar yang disamaratakan secara hukum, baik bagi mudlahhi ataupun bagi keluarganya. Dalam kitab Tausyikh ‘Ala Ibni Qasim dijelaskan:
ولا يأكل المضحي ولا من تلزمه نفقته شيأ من الأضحية المنذورة حقيقة أو حكما
“Orang berkurban dan orang yang wajib ia nafkahi tidak boleh memakan sedikit pun dari kurban yang dinazari, baik secara hakikat atau hukumnya” (Syekh Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi al-Bantani, Tausyikh ‘ala Ibni Qasim, hal. 531).
Hal yang perlu digaris bawahi dalam hal ini, bahwa larangan mengonsumsi daging kurban ketika berupa kurban wajib bagi keluarga, yang dimaksud adalah orang-orang yang wajib dinafkahi oleh mudlahhi. Sehingga bagi anggota keluarga yang tidak wajib dinafkahi oleh mudlahhi tidak berlaku ketentuan hukum ini. Sebagaimana penafsiran ahlul bait menurut Imam ar-Ramli dan az-Zayadi dalam pembahasan di atas.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa membagikan daging kurban pada keluarga hukumnya sama persis dengan hukum mengonsumsi daging kurban bagi mudlahhi, yakni ketika berupa kurban sunnah maka boleh bagi keluarganya untuk mengonsumsi daging kurbannya, sedangkan ketika berupa kurban wajib maka tidak boleh bagi keluarganya untuk mengonsumsi daging tersebut. Jika terlanjur mengonsumsi maka wajib mengganti daging yang senilai dengan daging yang telah terlanjur dikonsumsi dan dibagikan kepada fakir miskin.
Terlepas dari semua itu, sebaiknya dalam pendistribusian daging kurban, mudlahhi lebih memprioritaskan golongan yang betul-betul membutuhkan, seperti para fakir miskin. Sebab fungsi pelaksanaan kurban sebenarnya, di samping merupakan perwujudan menjalankan perintah syariat, juga agar tampak wujud mengasihi kepada orang-orang yang membutuhkan makanan pada saat hari raya (irfaq al-masakin). Jika dianggap pendistribusian sudah merata, baru ia layak untuk mengambil jatah agar diberikan pada keluarganya. Wallahu a’lam. []
Ustadz M. Ali Zainal Abidin, Pengajar di Pondok Pesantren Annuriyyah, Kaliwining, Rambipuji, Jember
Tidak ada komentar:
Posting Komentar