Kapan Undangan Walimah Boleh Tidak Dihadiri?
Menghadiri acara walimah merupakan salah satu hal yang dianjurkan dalam syariat Islam. Anjuran ini salah satunya ditegaskan dalam salah satu hadits shahih:
إِذَا دُعِىَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْوَلِيْمَةِ فَلْيَأْتِهَا
“Jika kalian diundang dalam acara walimah, maka datanglah!” (HR. Bukhari Muslim)
Hadits di atas terkandung sebuah perintah bagi seorang Muslim untuk menghadiri hajatan acara walimah. Dalam teori ushul fiqh, bahasa perintah (‘amr) ketika terdapat dalam sebuah dalil maka terdapat dua kemungkinan arti, yakni perintah wajib atau perintah sunnah.
Para ulama fiqih lalu merumuskan bahwa menghadiri acara walimah adalah wajib ketika berupa walimah pernikahan (‘urs). Sedangkan menghadiri walimah yang lain, seperti walimah aqiqah, khitan, haji, hukumnya sekadar sunnah. Perincian hukum ini seperti yang tercantum dalam kitab Fath al-Wahhab:
والإجابة لعرس فرض عين ولغيره سنة
“Menghadiri undangan walimah pernikahan adalah fardu ‘ain, sedangkan menghadiri undangan walimah yang lain adalah sunnah” (Syekh Zakaria al-Anshari, Fath al-Wahab, juz 2, hal. 104)
Namun demikian, anjuran menghadiri walimah akan gugur tatkala terdapat uzur-uzur yang menjadikan acara hajatan walimah itu menjadi tidak baik untuk dihadiri.
Uzur-uzur yang menjadikan undangan walimah boleh untuk tidak dihadiri, khususnya dalam walimah pernikahan dan tidak dianjurkan untuk dihadiri dalam walimah yang lain, adalah sebagaimana penjelasan dalam kitab Syarah Shahih Muslim berikut:
وأما الأعذار التي يسقط بها وجوب اجابة الدعوة أو ندبها فمنها أن يكون في الطعام شبهة أو يخص بها الأغنياء أو يكون هناك من يتأذى بحضوره معه أو لا تليق به مجالسته أو يدعوه لخوف شره أو لطمع في جاهه أو ليعاونه على باطل وأن لا يكون هناك منكر من خمر أو لهو أو فرش حرير أو صور حيوان غير مفروشة أو آنية ذهب أو فضة فكل هذه أعذار في ترك الاجابة ومن الاعذار ان يعتذر الى الداعي فيتركه
“Adapun uzur yang menggugurkan kewajiban atau kesunnahan mendatangi walimah di antaranya adalah (1) suguhan yang tidak jelas kehalalannya, (2) undangan walimah hanya dikhususkan untuk orang kaya, (3) terdapat orang yang tersakiti jika ia hadir, (4) terdapat orang yang tidak layak baginya untuk bersama dengannya, (5) diundang karena khawatir perilaku buruk dari dirinya, (6) diundang karena mengharap sebuah jabatan darinya, (7) diundang agar ia berkenan membantu dalam hal kebatilan. Tidak boleh ada kemungkaran dalam acara, misalnya berupa adanya miras, alat musik (yang haram), perabot dari sutra, gambar hewan (yang dilarang syara’), cawan dari emas atau perak. Segala (tujuh) hal di atas merupakan uzur yang memperbolehkan tidak menghadiri undangan. Sebagian uzur yang lain adalah ketika seseorang mengajukan alasan ketidakhadirannya pada orang yang mengundangnya” (Syekh Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Syarah Shahih Muslim li an-Nawawi, juz 18, hal. 246).
Berdasaran referensi di atas, secara umum dapat disimpulkan bahwa kewajiban atau kesunnahan menghadiri undangan walimah menjadi gugur tatkala terdapat kemungkaran atau kemaksiatan dalam perhelatan acara yang berlangsung. Atau, manakala ada kemudaratan, baik terhadap diri sendiri ataupun orang lain, yang lebih besar dari kemaslahatan yang terkandung dalam menghadiri walimah, sehingga dalam hal ini, mencegah terjadinya kemudaratan lebih diutamakan dibanding melakukan kemaslahatan (dar’ul mafâsid muqaddamun ala jalbil mashâlih).
Dengan demikian, saat terdapat uzur yang menyebabkan walimah tak lagi dianjurkan untuk dihadiri, sebaiknya bagi kita agar menyampaikan permohonan maaf kepada tuan rumah atas ketidakhadiran tersebut. Terlebih ketika disertai dengan pemberian hal-hal yang ditradisikan dalam walimah, seperti memberi hadiah atau karangan bunga tanda doa restu pada acara walimah pernikahan dan beberapa hal yang biasa ditradisikan dalam walimah-walimah yang lain. Dengan begitu kita tetap menaruh hormat dan terhindar dari menyakiti hati (idza’) pihak pengundang. Wallahu a’lam. []
Ustadz M. Ali Zainal Abidin, Pengajar di Pondok Pesantren Annuriyah, Kaliwining, Rambipuji, Jember
Tidak ada komentar:
Posting Komentar