Kamis, 23 Juli 2020

Yudi Latif: Memperkuat Identitas Nasional

Memperkuat Identitas Nasional

Oleh: Yudi Latif

 

Salah satu pelajaran penting yang bisa dipetik dari pandemi Covid-19 adalah signifikansi identitas nasional sebagai daya tahan negara-bangsa dalam menghadapi wabah dan krisis ikutannya. Bahwa negara-negara dengan (persamaan) identitas nasional yang kuat, seperti Jepang, Korea Selatan, China, Taiwan, Vietnam, Jerman, dan Selandia Baru, menunjukkan efektivitas yang lebih ampuh dalam menghadapi ujian tersebut.

 

Para psikolog telah lama menengarai bahwa salah satu faktor yang sangat penting dalam menghadapi krisis ialah ego strength (kekuatan jati diri), yang meliputi kepercayaan dan kebanggaan diri, memiliki kesadaran akan tujuan, bisa mengendalikan diri, dan mengekspresikan diri secara bebas, tetap fokus di bawah tekanan, bisa memersepsi realitas secara akurat, dan mampu mengambil keputusan secara tepat.

 

Sebuah bangsa sebagai entitas kolektif juga memiliki semacam kediriannya tersendiri. Ego strength dalam konteks kedirian kolektif bernama identitas nasional, yang bisa terbangun karena kebertautan kesadaran kesejarahan, kebersamaan nilai dan simbol, serta kebanggaan bersama sebagai bangsa (Diamond, 2019). Dengan identitas nasional yang kuat, Jerman dan Jepang telah berkali-kali terbukti mampu bangkit dari kejatuhan dan aneka krisis. Dengan identitas nasional yang tercabik, negara adidaya, seperti Amerika Serikat, pun tampak begitu terhuyung.

 

Bagi bangsa Indonesia sendiri, pandemi Covid-19 memperlihatkan taraf identitas nasional kita yang sesungguhnya. Gairah saling menegasikan dan saling menyalahkan tak juga padam saat kebersamaan dalam menghadapi ancaman diperlukan. Bahkan, rancangan undang-undang tentang ideologi negara yang semestinya menjadi simpul perekat identitas nasional justru kian memantik kegaduhan dan perselisihan.

 

Jalan panjang proses menjadi negara-bangsa Indonesia harus kita pahami dan hayati secara mendalam manakala Indonesia hari ini menunjukkan tanda menghadapi ancaman disrupsi kebangsaan. Meski konektivitas fisik mengalami kemajuan dengan pembangunan infrastruktur perhubungan dan penggunaan media sosial yang sangat intens, konektivitas mental-kejiwaan mengalami kemunduran.

 

Dunia persekolahan dan media yang dulu menjadi jendela keterbukaan bagi pergaulan lintas kultural dan pertukaran pikiran saat ini mengalami gejala pengerdilan. Pelemahan minat baca dan erudisi menyempitkan daya jelajah pemahaman, yang menumpulkan sikap empati terhadap yang berbeda. Gejala eksklusivitas meluas dengan tumbuhnya pusat-pusat permukiman, sekolah, dan dunia kerja dengan segregasi sosial yang curam.

 

Komunitas moral bersama mengalami retakan karena memudarnya komitmen menetapkan dan memelihara moral publik. Basis moral organisasi-organisasi sosial-politik tidak begitu jelas. Dari keseluruhan nilai Pancasila, hanya nilai kebebasan dari sila kedua yang dirayakan. Itu pun masih terbatas pada kebebasan negatif, belum menjelma menjadi kebebasan positif. Selebihnya, tidak tampak keseriusan memedulikan apa yang mengancam keselamatan bersama.

 

Sulit menemukan basis sosial yang gigih memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan umum. Terjadi peluluhan loyalitas pada institusi dan tradisi kebangsaan. Penghormatan terhadap otoritas hukum dan kepemimpinan merosot. Keluhuran budi untuk merawat hal-hal yang ”disucikan” bersama pudar.

 

Narasi publik tidak mendorong konvergensi, malah menyulut divergensi. Polarisasi politik yang kian meruncing mengeraskan perbedaan yang menyulitkan perjumpaan. Perbedaan kerangka dukungan, seperti menjelma dalam poros pendukung petahana versus oposisi, bisa konstruktif sejauh perbedaan itu disikapi dalam spirit ”yin dan yang”. Seperti memandang kehadiran malam (gelap) dan siang (terang)—dua hal yang tampak berbeda, tetapi saling melengkapi sebagai bagian dari kesatuan kesempurnaan kehidupan.

 

Perbedaan bisa destruktif manakala disikapi dengan spirit ”Manichaean”, yang memandang pihak lawan dalam kerangka pertempuran ”Ahuramazda” (kekuatan terang) versus ”Ahriman” (kekuatan gelap). Dua kekuatan yang tak bisa didamaikan sehingga persaingan harus diakhiri dengan jalan yang satu mematikan yang lain.

 

Pergeseran dalam menyikapi perbedaan itu merupakan akumulasi dari krisis yang berlangsung pada ranah mental-karakter, ranah institusional, dan ranah material. Bahwa perkembangan ketiga ranah tersebut telah melenceng dari imperatif moral Pancasila. Sejauh ini, rezim pendidikan kurang mampu membudayakan inti moralitas dan karakter bangsa; dengan implikasi peluluhan moralitas publik dan karakter kewargaan sebagai basis kebersamaan tekad (shared intentionality) dan solidaritas sosial (social embeddedness).

 

Rezim politik-kebijakan juga penuh kekisruhan dalam kapasitasnya untuk menetapkan rancang bangun dan tata kelola demokrasi-pemerintahan karena mengabaikan tuntutan persatuan dan keadilan yang diamanatkan nilai-nilai luhur falsafah dan konstitusi negara. Sementara itu, rezim ekonomi-produksi juga belum mampu memenuhi harapan kemakmuran dan inklusi ekonomi sehingga angka kemiskinan dan ketidakadilan sosial masih tinggi.

 

Selain itu, pengurasan energi nasional untuk pertengkaran internal dan kecenderungan mencela bangsa sendiri biasanya memaguti negara-bangsa yang mengalami defisit kebanggaan nasional. Diperlukan strategi kebudayaan untuk mengalihkan energi negatif menjadi energi positif dengan mengglobalkan potensi dan talenta negeri ini ke pasar internasional. Kompetisi dengan bangsa lain bukan saja bisa memacu prestasi, melainkan juga bisa mentransformasikan konflik persaingan internal menuju kontestasi dengan ”lawan” bersama dari luar. Persepsi tentang kepentingan bersama juga bisa dihidupkan lewat nasionalisme positif-progresif dengan membangun agenda kemajuan, keunggulan, dan persemakmuran bersama.

 

Demikianlah, krisis memberi kita momen refleksi diri untuk memperkuat identitas nasional secara serempak dengan kejujuran dan komitmen untuk mewujudkan visi dan misi negara berlandaskan Pancasila. []

 

KOMPAS, 9 Juli 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar