Wabah Korona: Kontestasi Ideologis (3)
Oleh: Azyumardi Azra
Bagi pengamat politik Indonesia, bangkitnya kembali kontestasi ideologis terlihat cukup jelas terkait dengan kontroversi RUU HIP pada masa wabah. Kontroversi ini tampaknya bakal terus berlanjut di tengah masih meluasnya wabah korona setelah masuk masa lima bulan, terhitung sejak awal Maret sampai Juli 2020 dan seterusnya.
Pemerintahan Presiden Jokowi menyatakan, menunda pembahasan RUU HIP. Penundaan dari pihak pemerintah ini tidak otomatis membuat para pengusung RUU HIP di DPR menyerah. Sebaliknya, DPR sebagai inisiator RUU HIP tampak tidak berniat menghentikan, seperti diharapkan banyak kalangan publik. Padahal, DPR bisa mencabut atau menghentikan proses legislasinya agar kegaduhan sosial-politik bisa berhenti.
Penundaan dari pihak pemerintah malah membuat celah bagi fraksi PDIP dan fraksi-fraksi lain, untuk mengubah nomenklatur RUU HIP menjadi RUU PIP dan belakangan juga RUU BPIP. Mereka mengeklaim, dengan nama baru ini, RUU tersebut tidak lagi menjadi haluan ideologi Pancasila, tetapi lebih berisi substansi untuk penguatan BPIP. Masalahnya, apakah badan seperti BPIP perlu undang-undang? Apakah tidak cukup dengan peraturan pemerintah? Soal ini harus dikaji ahli hukum tata negara.
Sementara itu, unjuk rasa menolak RUU HIP atau perubahannya menjadi RUU PIP atau RUU BPIP masih berlanjut di berbagai kota Tanah Air. Banyak pengunjuk rasa menolak; bagi mereka apa pun perubahan namanya, RUU terkait Pancasila atau lembaga pembinaan atau pemantapan ideologi Pancasila tidak urgen dan tidak perlu karena Pancasila 18 Agustus 1945 yang dipakai sampai sekarang sudah final.
Akibatnya, kontestasi ideologis terus pula berlanjut. Dalam kontestasi itu, terjadi pembelahan dan pengelompokan warga, yang mencerminkan politik aliran usang. Pencairan batas politik aliran dengan ideologi masing-masing yang dicapai dalam sekitar empat dasawarsa sejak 1980-an seolah lenyap begitu saja dalam era wabah korona.
Kelompok ideologis pertama boleh disebut sebagai Soekarnois. Sebagian besar pendukung ideologi Soekarnois ini berada dalam PDIP yang masih dipimpin putri Bung Karno, Megawati Soekarnoputri. Dari faksi hardcore Soekarnois muncul RUU HIP yang mencakup pasal tentang ‘penciutan’ kelima sila Pancasila menjadi ‘Trisila’ dan diperas lagi menjadi ‘Ekasila’. Faksi ini juga memunculkan ‘Ketuhanan yang berkebudayaan’.
PDIP pada dasarnya tidak homogen; terdapat faksi-faksi, yang karena latar belakang agama dan sosial memiliki kecenderungan ideologi Soekarnois yang lebih ‘soft’, tetapi mereka memilih mengeluarkan nada yang kedengaran sedikit berbeda, tetapi tetap membela RUU HIP.
Seberapa besar kelompok Soekarnois diehard dalam PDIP sebagai pemenang pileg dan pilpres dua kali berturut-turut (2014 dan 2019) sulit diketahui. Faksi yang lebih Soekarnois moderat lebih memilih diam.
Juga sulit menebak dampak kontroversi RUU HIP terhadap tingkat elektabilitas PDIP. Bahkan, sebelum RUU HIP, ada kecenderungan menurunnya elektabilitas PDIP. Survei Indikator Politik Indonesia (awal Juni 2020) melaporkan gejala yang disebut media ‘elektabilitas PDIP terjun bebas’ (Kompas.com, 9/6/2020). Dibanding dengan survei Februari 2020, elektabilitas PDIP merosot dari 29,8 persen menjadi 22,2 persen. Parpol-parpol lain juga mengalami penurunan, tapi tidak sedrastis PDIP.
Kelompok kedua adalah sebagian besar parpol berasas Islam atau berbasis massa ormas Islam, seperti PPP, PKB, dan PAN. Ketiga parpol ini semula menyetujui RUU HIP yang diajukan Fraksi PDIP.
Hanya PKS (bersama Partai Demokrat yang berasas Pancasila) yang terlihat keberatan dengan RUU HIP. Tetapi, keberatan kedua fraksi ini tidak mampu mencegah fraksi-fraksi lain untuk menjadikan RUU HIP sebagai bagian proglenas untuk dijadikan undang-undang.
Kelompok parpol-parpol ini meski secara ideologis berbeda dengan faksi PDIP Soekarnois, mereka tampaknya lebih mementingkan l’espit de corps, semangat sesama korp DPR, daripada misalnya memihak dan mendukung sikap ormas-ormas Islam arus utama.
Apa dampak sikap parpol seperti itu terhadap elektabilitas mereka? Boleh jadi juga semakin mempercepat penurunan karena dalam survei Indikator Politik Indonesia, elektabilitas semua mereka juga mengalami kemerosotan walau tidak separah PDIP.
Seberapa besar kemerosotan elektabilitas parpol-parpol itu pasca-kontroversi RUU HIP dan semacamnya, boleh jadi pilkada yang rencananya dilaksanakan pada 9 Desember 2020 sedikit banyak memberikan indikasi. Boleh jadi pula, karena kecewa, frustrasi, dan apatis, semakin banyak pemilih yang tidak memberikan suara dalam pilkada tersebut. []
REPUBLIKA, 17 Juli 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar