Cara Bersuci dari Najis Mughallazhah yang Tidak Terlihat Mata
Penyucian najis dari pakaian dan benda-benda yang digunakan sehari-hari
merupakan kewajiban bagi umat Islam. Cara menyucikan najis diatur lebih lanjut
dalam kitab-kitab fiqih tergantung jenis najis dan tingkat kesulitannya.
Cara menyucikan najis dapat dilakukan dengan menghilangkan atau membersihkan zat najisnya terlebih dahulu. Setelah itu, benda dibersihkan dan dibilas untuk menyucikannya.
Sebagaimana dimaklumi, kitab-kitab fiqih membagi dua jenis najis: yaitu
ainiyyah (terlihat zat najisnya seperti kotoran binatang, kotoran manusia,
darah, dan lain sebagainya) dan hukmiyyah (najis yang zatnya sudah tidak
terlihat mata, tetapi diketahui lokasi najisnya). Sedangkan cara menyucikan
najis hukmiyyah dapat dilakukan dengan cara membilas benda yang hendak disucikan.
Penyucian benda dari najis ainiyyah diharuskan untuk pembersihan benda dari warna, bau, dan rasa najisnya. Kalau perlu mendesak benda lain seperti sabun, kain, atau spons untuk membersihkannya, maka pemakaian sabun dan benda lainnya menjadi wajib sebagaimana keterangan Syekh M Nawawi Banten berikut ini:
وحينئذ لو توقفت زوال النجاسة على صابون أو غيره كأشنان وجب استعماله أي الصابون إلى التعذر وإلا ندب
Artinya, “Ketika itu, seandainya penghilangan najis bergantung pada sabun atau zat lainnya, yaitu lumut, maka penggunaannya (pemakaian sabun) wajib hingga uzur. Jika tidak tergantung, maka pemakaian sabun hanya dianjurkan.” (Syekh M Nawawi Banten, Tsimarul Yani‘ah fir Riyadhil Badi‘ah, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa tahun], halaman 27).
Demikian cara penyucian najis menengah atau mutawasitah (seperti darah,
bangkai, muntah, kotoran binatang, dan kotoran manusia) dalam pengertian fiqih
Mazhab Syafi’i. Sedangkan cara penyucian najis berat atau mughallazhah (najis
babi, anjing, atau turunan dari salah satunya) mengharuskan pembersihan najis
dengan air sebanyak tujuh kali di mana salah satunya dengan tanah menurut
umumnya Mazhab Syafi’i.
Adapun penyucian najis hukmiyyah (najis yang tidak terlihat mata) hanya menuntut pembilasan sekali dengan air jika najis mutawassithah atau tujuh kali dengan air yang salah satunya dengan tanah jika najis mughallazhah di tempat najis itu berada tanpa harus membuang terdahulu zat najisnya. Tetapi fiqih Mazhab Syafi’i dalam hal ini memaafkan najis-najis yang tidak tampak mata seperti debu jalan atau partikel lain yang mengandung najis. Pemaafan ini berlaku pada najis mutawassithah dan najis mughallazhah.
ومن النجاسات ما يعفى عنه فيعفى عن النجاسة التي لا يراها البصر المعتدل مطلقا ولو من مغلظ
Artinya, “Salah satu najis yang dimaafkan (secara syariat) adalah najis yang tidak terlihat secara kasatmata mutlak, meski itu najis berjenis mughallazhah” (Syekh M Nawawi Banten, Tsimarul Yani‘ah fir Riyadhil Badi‘ah, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa tahun], halaman 27).
Sebagai contoh, orang yang akan shalat atau khutbah disyaratkan untuk bersuci
dari hadats kecil dan hadats besar, suci pada pakaian, dan suci pada tempat
shalat. Fiqih memaklumi (memaafkan) debu jalan (ghubarut thariq), debu dinding,
atau partikel lain dengan kandungan najis baik mutawassithah maupun
mughallazhah yang melekat pada anggota badan, pakaian, atau tempat shalat yang
digunakan.
Dengan demikian, shalat atau khutbah orang tersebut tetap sah karena uzur untuk menghindari debu jalan atau partikel najis yang bertebaran tanpa terlihat secara kasatmata. Wallahu a‘lam. []
(Alhafiz Kurniawan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar