Rabu, 15 Juli 2020

(Ngaji of the Day) Aturan Fiqih saat Haji dan Umrah Terhalang karena Wabah

Aturan Fiqih saat Haji dan Umrah Terhalang karena Wabah


Menurut kamus Lisan al-Arab, juz 3, halaman 202, al-Fairuz Zabadi menyatakan sebuah istilah qaumun mahshurun idza hushiru fi hishnin (kaum yang terkepung saat mereka berada di dalam suatu benteng). Di dalam rangkaian teks tentang haji, juga disebutkan istilah mahshuruna fi al-hajji (tertahan dalam haji). Allah subhanahu wata’ala berfirman: wa in uhshirtum, maksudnya adalah jika kalian tertahan/terkepung. Masing-masing dari istilah ini bermuara pada pendekatan ihshar dalam praktik bahasa keseharian dan teks.

 

Ihshar dalam perspektif yang kita bahas saat ini adalah kondisi di mana kaum muslimin sedang terhalang dari menunaikan ibadah haji atau umrah secara sempurna disebabkan oleh suatu hal yang tidak terduga sebelumnya. Asal kata dari ihshar ini adalah Firman Allah subhanahu wata’ala QS al-Baqarah [2] ayat 196:

 

وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلهِ ۚ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ ۖ وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ ۚ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِّن رَّأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِّن صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ ۚ فَإِذَا أَمِنتُمْ فَمَن تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ ۚ

 

“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Tetapi jika kamu terkepung (oleh musuh), maka (sembelihlah) hadyu yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum hadyu sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antara kamu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu dia bercukur), maka dia wajib ber-fidyah, yaitu berpuasa, bersedekah atau berkurban. Apabila kamu dalam keadaan aman, maka barangsiapa mengerjakan umrah sebelum haji, dia (wajib menyembelih) hadyu yang mudah didapat” (QS AL-Baqarah [2]: 196).

 

Terdapat banyak perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam menafsirkan ayat di atas. Perbedaan itu akhirnya berimbas pada perbedaan hukum fiqihnya. Titik masalah yang diperdebatkan oleh para ulama adalah, apakah ihshar itu disebabkan karena musuh, ataukah karena sakit? Sebagian ulama menjawab, bahwa ihshar itu disebabkan musuh, sebagian lagi berpendapat bahwa ihshar itu disebabkan karena sakit.

 

Ulama yang berpendapat bahwa ihshar yang dimaksud di sini adalah disebabkan karena musuh, mereka berlandas pada dalil penggalan ayat:

 

فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِّن رَّأْسِهِ.

 

Mereka juga berpedoman pada penggalan ayat berikutnya:

 

فَإِذَا أَمِنتُمْ فَمَن تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ.

 

Penggalan ayat pertama, mengkabarkan adanya “faedah” berupa kebolehan mencukur rambut setelah disebutkan adanya sakit. Disebutkannya “faedah” setelah lafadh “sakit”, menggiring pada keharusan mengalihkan makna sakit kepada makna tersirat (isti’arah). Alhasil, sakit itu bukanlah sakit yang bersifat fisik, melainkan psikis. Contoh dari sakit psikis ini adalah ketakutan, dan sejenisnya. Hal itu didukung dengan penggalan ayat berikutnya yang secara tegas menyatakan “jika kondisi aman (fa idza amintum)”. Kondisi aman hanya bisa dijumpai bila ada musuh. Pendapat ini diikuti oleh Imam Syafii.

 

Pendapat kedua berargumen bahwa yang dimaksud dengan muhshar adalah orang yang ditawan/dikepung sehingga kemudian ia sakit (maradl). Sebagaimana pendapat ini disampaikan oleh Ibnu Rusyd:

 

إن الآية إنما وردت في المحصر بالمرض فإنه زعم أن المحصر هو من أحصر، ولا يقال أحصر في العدو، وإنما يقال حصره العدو وأحصره المرض

 

Sesungguhnya ayat itu diturunkan untuk orang yang tertahan hajinya sebab sakit. Mereka berhipotesa bahwa muhshar adalah orang yang tercegah. Ayat itu tidak boleh diterjemahkan tercegah akibat musuh, melainkan harus diterjemahkan terkepung oleh musuh, sehingga terhalang oleh sakit.” (Abu al-Faidl Ahmad bin Muhammad bin Shiddiq al-Ghumary al-Hasany, al-Hidayah fi Takhriji Ahadits al-Bidayah, Beirut: ‘Alamu al-Kutub, 1987, Juz 5, halaman 431)

 

Lantas, bagaimana dengan makna fa idza amintum? Menurut kalangan terakhir ini, maksud dari amintum di dalam ayat tersebut adalah bagian dari maradl (sakit). Mereka berargumen bahwa sakit pada penggalan ayat pertama tidak boleh dialihkan pengertiannya dari makna dhahir ke makna isti’arah dengan alasan ketiadaan qarinah (bukti penunjuk) keharusan pengalihan itu.

 

Ulama yang berpendapat bahwa ihshar adalah bukan disebabkan karena musuh, melainkan karena sakit adalah Imam Malik dan Imam Abu Hanifah.

 

Berbekal pertentangan dua pendapat di atas, maka muncul pendapat ketiga dan diikuti oleh jumhur ulama yang menyatakan bahwa ihshar itu ada kalanya karena musuh dan ada kalanya karena sakit. Jadi, pendapat ini merupakan gabungan dari dua pendapat sebelumnya (Abu al-Faidl Ahmad bin Muhammad bin Shiddiq al-Ghumary al-Hasany, Al-Hidayah fi Takhriji Ahadits al-Bidayah, Beirut: ‘Alamu al-Kutub, 1987, juz 5, halaman 431). Melalui pendapat ketiga ini, ihshar sebab adanya wabah dan regulasi pemerintah setempat terkait kekhawatiran serangan wabah penyakit, kerap disandingkan, sebagaimana pernah terjadi pada masa merebaknya flu babi dan dewasa ini sebab virus Corona.

 

Tahallul

 

Ibnu Rusyd dalam karyanya Bidayatu al-Mujtahid, menyebutkan bahwa para ulama yang berargumen bahwa ihshar hanya bisa terjadi sebab musuh, mayoritas berargumen wajibnya ber-tahallul karena umrah atau karena hajinya.

 

فاتفق الجمهور على أنه يحل من عمرته أو حجه حيث أحصر

 

“Jumhur ulama sepakat bahwa bahwasanya ihshar sebab musuh adalah hendaknya ber-tahallul karena umrah dan hajinya (seketika) di tempat mereka terkepung.”

 

Meski demikian, ada juga ulama yang berargumen dari kalangan “ihshar sebab musuh”, yang berbeda dengan pemahaman jumhur ulama tersebut di atas, yaitu Syeikh al-Tsauri dan Hasan ibn Shalih. Keduanya berpendapat bahwa tahallul hanya berlaku untuk haji saja. Jadi, kalau umrah, maka tidak perlu. Ia cukup niat keluar dari rangkaian ibadah umrahnya.

 

Menyembelih Qurban dan Tempat Penyembelihan

 

Setidaknya ada tiga pendapat yang bisa kita himpun dari keterangan kitab Bidayatu al-Mujtahid. Untuk kalangan yang sepakat wajibnya tahallul, baik dari kalangan “ihshar sebab musuh” maupun “ihshar sebab sakit”, terdapat perbedaan pendapat mengenai status wajibnya qurban dan tempat dilangsungkannya penyembelihan.

 

Imam Malik menyatakan tidak wajib qurban dan cukup bertahallul saja. Imam Syafii menyatakan wajib qurban dan bertahallul. Termasuk ulama’ dari kalangan Syafiiyah yang menyatakan hal demikian ini adalah Asyhab. Akan tetapi, Imam Syafii memiliki perincian yang panjang mengenai hal ini, dan kita perlu merujuk lebih jauh. Ringkasnya, mengenai tempat, Imam Syafii menyatakan haitsu ma halla, yang maksudnya: di mana saja sekira tahallul bisa dilakukan. Sementara Imam Abu Hanifah menyatakan wajib qurban dan dilakukan di tanah haram, serta tidak boleh di luarnya. []

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah – Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar