Hukum Menolak Hubungan Seksual Karena Khawatir Covid-19
Pandemi Sars-Cov-2 yang menyebabkan penyakit Covid-19 terus memunculkan dampak fiqhiyyah yang sangat beragam. Yang sangat menarik di antaranya pertanyaan apakah istri boleh menolak ajakan berhubungan seksual dengan suami yang tertular virus corona?
Berkaitan hal ini literatur khazanah fiqih Islam mengenal istilah nusyuz, yaitu
pembangkangan istri atas ketaatan yang wajib dipenuhinya untuk suami. Di
antaranya adalah ajakan suami untuk melakukan hubungan seksual dengannya. Namun
demikian, istri dalam kondisi tertentu bila mempunyai uzur kondisi fisik atau
sakit yang tidak memungkinkan memberikan pelayanan seksual kepada
suami diperbolehkan untuk menolaknya.
Keterangan ini dapat ditemukan pada Al-Masu'atul Fiqhiyyah dan Asnal Mathalib (Wizaratul Auqaf was Syu’unul Islamiyyah, Al-Mausu’atul Fiqhiyyah, [Kuwait, Al-Wizarah: 1421 H/2001 M], juz XL. halaman 284) dan Zakariya Al-Anshari, Asnal Mathalib fi Syarhi Raudhatit Thalib, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah: 1422 H], juz III, halaman 434).
Mengontekstualisasikan hukum nusyuz Syekh Ali As-Syubramilisi (997-1087
H/1588-1676 M), pakar fiqih Syafi’i asal Mesir menyatakan, ketika suami
menderita sakit menular lepra, maka istri tidak dianggap nusyuz dengan tidak
menyediakan pelayanan seksual terhadapnya.
وَبَقِيَ
مَا لَوْ كَانَ الزَّوْجُ هُوَ الْمَجْذُومُ وَلَمْ يَتَيَسَّرْ لَهَا فَسْخٌ
بِسَبَبِ الْجُذَامِ فَهَلْ يَكْتَفِي فِي دَفْعِ النُّشُوزِ مِنْهَا
بِانْفِرَادِهَا عَنْهُ فِي جَانِبٍ مِنْ الْبَيْتِ فَلَا تَكُونُ نَاشِزَةً
بِذَلِكَ وَلَا بِعَدَمِ تَمْكِينِهَا لَهُ مِنْ الْجِمَاعِ وَالتَّمَتُّعِ بِهَا
أَوْ لَا فِيهِ نَظَرٌ وَالظَّاهِرُ الْأَوَّلُ ا هـ ع ش
Artinya, “Pembahasan nusyuz ini menyisakan kasus andaikan suami yang menderita lepra dan istri tidak mudah mengajukan fasakh nikah karena sebab penyakit lepra suaminya, maka apakah untuk menghindari nusyuz ia cukup menyendiri di pojok rumah sehingga tidak berstatus perempuan yang nusyuz karenanya, dan tidak berstatus nusyuz pula dengan tidak ada kesediannya untuk memberikan layanan seksual terhadap suaminya, baik persetubuhan dan percumbuan lainnya? Dalam hal ini perlu pembahasan lebih lanjut. Pendapat yang jelas adalah yang pertama. Demikian pernyataan Syekh Ali As-Syubramilisi,” (Abdul Hamid As-Syarwani, Hasyiyyatus Syarwani ‘alat Tuhfah, [Beirut, Darul Fikr: tth], juz VII, halaman 441).
Bahkan dalam kasus yang lebih ringan, yaitu ketika suami mempunyai bau ketiak
yang sangat tidak sedap dan secara umumnya orang istri tidak tahan terhadapnya,
Syekh Ali As-Syubramilisi juga menyatakan bahwa hal itu termasuk uzur dan istri
tidak dianggap sebagai wanita yang nusyuz
atau membangkang terhadap suami atas penolakannya ketika
diajak berhubungan seksual.
فَإِنْ
عُذِرَتْ كَأَنْ كَانَ بِهِ صُنَانٌ مَثَلًا مُسْتَحْكَمٌ وَتَأَذَّتْ بِهِ
تَأَذِّيًا لَا يُحْتَمَلُ عَادَةً لَمْ تُعَدَّ نَاشِزَةً وَتُصَدَّقُ فِي ذَلِكَ
إنْ لَمْ تَدُلَّ قَرِينَةٌ قَوِيَّةٌ عَلَى كَذِبِهَا ا هـ ع ش
Artinya, “Karenanya bila istri dianggap mempunyai uzur, semisal suami mempunyai
bau ketiak yang sangat tidak sedap dan istri terganggu karenanya dengan kadar
sakit yang secara umumnya tidak dapat diabaikan, maka ia tidak dianggap sebagai
istri yang nusyuz (ketika
ia menolak ajakan berhubungan seksual dengan suaminya). Ia juga dibenarkan
dalam pernyataannya berkaitan hal ini jika tidak ada qarinah atau indikasi kuat
yang menunjukkan atas kebohongannya. Demikian pernyataan Syekh Ali
As-Syubramilisi),” (As-Syarwani, tth: VII/441).
Dari sini mungkin dapat dimaklumi, karena uzur suami berpenyakit lepra atau
bahkan berbau ketiak yang sangat tidak sedap saja istri boleh menolak ajakan
berhubungan seksual dengannya, apalagi karena uzur suami terjangkit Covid-19,
yang secara medis memang berbahaya dan menjadi pandemi dunia. Wallahu a’lam. []
Ustadz
Ahmad Muntaha AM,
Founder Aswaja Muda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar