Kamis, 09 Juli 2020

Helmy Faishal Zaini: Islam dan Pancasila

Islam dan Pancasila

Oleh: A Helmy Faishal Zaini

 

Riuh perdebatan seputar isu Pancasila kembali menghangat sesaat setelah muncul draf RUU Haluan Ideologi Pancasila atau HIP. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) memberi sejumlah catatan kritis dan mendesak agar proses legislasi yang sedang berlangsung terkait HIP segera dihentikan. Tak ada urgensi dan signifikansi menjadi salah satu alasan utama, di samping tentu saja masih banyak agenda kebangsaan yang harus kita bereskan di tengah pandemi yang sedang menerpa bangsa ini.

 

Dalam sebuah kolom yang akhirnya menarik perhatian Bung Karno, H Mahbub Djunaidi (1963) menegaskan, Pancasila lebih sublim daripada Declaration of Independence-nya Thomas Jefferson atau bahkan Manifesto Komunis-nya Karl Marx dan Friedrich Engels. Pancasila dalam pengertian ini merupakan nilai-nilai yang telah disublimasi dari bermacam-macam kemungkinan, kecenderungan, dan juga perbedaan. Maka, tak ayal Pancasila—sebagaimana kata Mahbub—lebih sublim jika dibandingkan Declaration of independence atau Manifesto Komunis sekalipun.

 

Pandangan ini dalam hemat saya bisa menjadi acuan kita bersama bahwa Pancasila memang memiliki basis ontologis yang sangat istimewa. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Pancasila menjadi modal penting dalam upaya ”mendirikan” bangsa Indonesia.

 

Kebinekaan oleh para pendiri bangsa diolah dan diramu, bukan digarisbawahi dan dibesar-besarkan. Ramuan tersebut akhirnya dapat diformulasikan menjadi sebuah kalimatun sawa yang menjadi titik temu yang mengakomodasi kepentingan bersama sebagai sebuah bangsa.

 

Di sinilah letak keistimewaan Pancasila. Realitas yang jamak dan tidak tunggal dipertemukan dalam sebuah kompromi yang harmoni demi cita-cita bersama. Fenomena ini tentu saja mengingatkan kita pada apa yang dikatakan oleh Jakob Sumardjo (2004) sebagai watak asli bangsa Nusantara yang memiliki akar budaya sebagai peramu.

 

Dengan kecanggihan khas peramu, bangsa kita bisa mengelola dan meracik perbedaan-perbedaan menjadi harmoni yang terorkestrasi dengan indah lewat jalinan dan tenunan kebangsaan.

 

Pancasila merupakan lima butir nilai yang digali dan dipilih dan kristalisasi dari sekian banyak nilai-nilai luhur yang dimiliki bangsa Indonesia. Lima butir nilai itu kemudian dirangkai untuk disepakati bersama menjadi dasar negara. KH Achmad Shiddiq dalam buku Islam, Pancasila dan Ukhuwwah Islamiah (1985) menulis, ”Lima butir nilai luhur yang digali maupun dipilih itu disepakati menjadi dasar negara nasional karena prinsip yang terkandung di dalamnya, baik satu per satu maupun dalam rangkaian sekaligus, dapat diterima dan dibenarkan oleh semua golongan atau kelompok dari bangsa Indonesia.

 

Lima butir nilai menjadi kalimatun sawaa bainana wa bainakum bagi bangsa dan negara Indonesia di dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat dengan segala kemajemukannya.”

 

Menolak monopoli tafsir

 

Sejarah mencatat, bagaimana KH Abdurrahmad Wahid (Gus Dur) pada era Orde Baru acap kali berbenturan dengan penguasa saat itu yang mencoba memonopoli tafsir Pancasila. Tindakan itu kita pahami semata-mata karena Gus Dur melihat fenomena penyalahgunaan dan distorsi pemaknaan terhadap Pancasila. Pancasila direcehkan menjadi tidak lebih hanya sebatas bumper untuk melanggengkan kekuasaan Orde Baru.

 

Pancasila tidak boleh berhenti hanya sebatas realitas simbolik yang tidak bisa diandalkan dan hadir dalam kehidupan sehari-hari. Pancasila harus menjadi yang terdepan dalam membela hak-hak siapa saja yang diperlakukan tidak adil. Itu sebabnya, berdasarkan pemahaman tersebut, bisa dimaklumkan saat Gus Dur menerbitkan Keppres No 6 Tahun 2000 dan sekaligus mencabut Inpres No 14 Tahun 1967 tentang agama, kepercayaan, dan adat istiadat China. Ini adalah salah satu ikhtiar ”menghadirkan” Pancasila dalam kehidupan nyata.

 

ecara historis, NU membuat keputusan fenomenal pada Munas Alim Ulama NU (Munas NU) tahun 1983 di Situbondo. Dalam forum yang melibatkan ulama-ulama garda depan NU, dihasilkan sebuah keputusan berisi lima poin yang disebut dengan Deklarasi Hubungan Islam dan Pancasila.

 

Lima poin deklarasi itu: (1) Pancasila sebagai dasar falsafah negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama, dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama. (2) Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar negara Republik Indonesia menurut Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menjiwai sila-sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam. (3) Bagi NU, Islam adalah aqidah dan syari’ah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antarmanusia. (4) Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya. (5) Sebagai konsekuensi dari sikap di atas, NU berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak.

 

Tidak ada urgensi

 

NU secara resmi telah menyatakan sikapnya terhadap RUU HIP. Setidaknya ada tiga poin filosofis dan beberapa poin teknis yang menjadi catatan utama. Pertama, RUU HIP memiliki potensi yang memantik konflik ideologi. Upaya mengotak-atik Pancasila sebagai sebuah ideologi negara dengan salah satunya dilakukan dengan mencoba memberi ”tafsir” dan ”haluan” dalam konteks ini bisa digolongkan sebagai salah satu bagian dari upaya tersebut.

 

Kedua, RUU HIP tidak memiliki titik signifikansi dan urgensi untuk dibahas karena dalam pandangan NU tak diperlukan lagi tafsir tentang Pancasila. Pancasila sebagai Philosophische Grondslag dan Staats fundamental norm merupakan pedoman yang mendasari platform pembangunan nasional. Di samping tentu saja makna yang terkandung sila-silanya cukup luas.

 

Ini sejalan dengan pendapat KH Achmad Shiddiq (1985) yang menyatakan bahwa ”urut-urutan lima sila menunjukkan suatu rangkaian tingkat dalam luasnya isi. Tiap sila yang di belakang sila lainnya merupakan pengkhususan dari sila-sila yang di mukanya. Dalam susunan hierarkis piramidal ini, sila pertama menjadi basis sila kedua, ketiga, keempat, kelima, demikian selanjutnya. Dengan demikian, tiap sila di dalamnya mengandung empat sila lainnya”.

 

Ketiga, dalam situasi yang serba sulit ini, di saat kita berkonsentrasi menghadapi pandemi, energi bangsa sebaiknya difokuskan untuk menghadapi persoalan-persoalan yang lebih urgen dan mendesak. Isu kesehatan, isu ekonomi, isu pendidikan, dan juga isu sosial kemasyarakatan lain harus menjadi agenda utama dibandingkan hanya membahas persoalan yang justru memantik kontroversi dan juga memancing kegaduhan.

 

Selain itu, terdapat persoalan teknis yang terdapat pada RUU HIP, antara lain meliputi: pertama, pada Pasal 3 Ayat (2), Pasal 6, dan Pasal 7, yang berdasarkan kajian NU bertentangan dengan Pancasila sebagai konsensus kebangsaan. Kedua, Pasal 13, 14, 15, 16, dan 17 justru mempersempit ruang tafsir Pancasila yang memiliki potensi untuk memunculkan monopoli tafsir atas Pancasila. Ketiga, Pasal 48 Ayat (6) dan Pasal 49 yang dapat menimbulkan konflik kepentingan.

 

Walhasil, bagi NU, Pancasila sudah final. Kejernihan pandangan dan kewajaran sikap menjadi dua kata kunci dalam konteks ini. Wajar dalam melihat sesuatu (proporsional) dan wajar bersikap atasnya serta tidak berlebih-lebihan adalah sikap moderat yang ditanamkan oleh bapak pendiri bangsa dan juga para ulama di dalamnya.

 

Kita harus melihat agama secara wajar sebagai wadh’un ilahiyyun dan kita pandang Pancasila secara wajar pula sebagai wadh’un basyariyyun, lalu kita letakkan pada tempat yang wajar dan selanjutnya kita bersikap secara wajar pula pada keduanya. Itulah sikap moderat yang diajarkan oleh Islam. []

 

KOMPAS, 25 Juni 2020

A Helmy Faishal Zaini | Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar