Menjalankan Revolusi Mental
Oleh: Yudi Latif
APAKAH gerangan revolusi itu? Inilah istilah yang sering disebut
untuk sering disalahpahami. Dalam pemahaman umum selama ini, revolusi sering
dimaknai sebagai perubahan cepat dalam ranah sosial-politik dengan konotasi
kekerasan radikal menyertainya. Jarang orang yang menyadari bahwa sebelum
digunakan dalam wacana dan gerakan sosial-politik, istilah revolusi
sesungguhnya lebih dahulu muncul sebagai istilah teknis dalam sains.
Secara denotatif, revolusi berarti ”kembali lagi” atau ”berulang
kembali”; ibarat musim yang terus berganti secara siklikal untuk kembali ke
musim semula. Maka, dalam sains, istilah revolusi mengimplikasikan suatu
ketetapan (konstanta) dalam perubahan; pengulangan secara terus-menerus yang
menjadikan akhir sekaligus awal. Pengertian seperti inilah yang terkandung
dalam frase ”revolusi planet dalam orbit”.
Pada tahun 1543, Nicolaus Copernicus memublikasikan De
Revolutionibus Orbium Coelestium, yang sering dinisbatkan sebagai penanda
revolusi paradigmatik dalam sains yang mengubah keyakinan tentang pusat alam
semesta dari geosentrisme (berpusat di Bumi) menuju heliosentrisme (berpusat di
Matahari). Perubahan mendasar dalam keyakinan ilmiah ini lalu dikenal sebagai
revolusi Copernican.
Istilah revolusi dalam kaitan ini bergeser dari pengertian
sebelumnya menjadi yang didefinisikan Thomas Kuhn sebagai ”perubahan dalam
susunan keyakinan saintifik atau dalam paradigma”. Dengan kata lain, pengertian
revolusi tidak lagi menekankan aspek kesinambungan dalam daur ulang (unbroken
continuity), melainkan justru sebagai keterputusan dalam kesinambungan (break
in continuity). Sejak itu, revolusi berarti suatu perubahan struktur mental dan
keyakinan karena introduksi gagasan dan tatanan baru yang membedakan dirinya
dari gagasan dan tatanan masa lalu (Cohen, 1985).
Mengandung kebaruan
Pengertian revolusi seperti itulah yang kemudian diadopsi oleh
wacana dan gerakan sosial-politik. Penggunaan istilah revolusi dalam bidang
politik memperoleh popularitasnya menyusul Revolusi Amerika (1776) dan terlebih
setelah Revolusi Perancis (1789). Seperti halnya revolusi dalam sains, pengertian
revolusi dalam politik pun pada mulanya mengandung konotasi yang ramah, hingga
Revolusi Perancis berubah jadi ekstrem dalam bentuk teror yang menakutkan.
Konotasi menakutkan dari istilah revolusi tersebut menguat menyusul publikasi
The Communist Manifesto pertengahan abad ke-19, revolusi 1848, dan gerakan
komunis internasional dengan agenda revolusi berskala dunia yang mengandung
ekspresi kekerasan terkait dengan perubahan cepat.
Bagaimanapun, kekerasan dan perubahan cepat bukanlah elemen
esensial dari suatu revolusi. Revolusi tidak mesti dengan jalan kekerasan. Pada
1986, Peter L Berger memublikasikan buku The Capitalist Revolution yang
menunjukkan suatu bentuk revolusi nirkekerasan. Revolusi pun bisa ditempuh
secara cepat atau lambat. Revolusi industri di Eropa ditempuh dalam puluhan,
bahkan ratusan tahun. Yang esensial dalam suatu revolusi adalah ”kebaruan”.
Hannah Arendt (1965) mengingatkan bahwa ”Konsep modern tentang revolusi terkait
dengan pengertian bahwa jalannya sejarah seketika memulai hal baru. Revolusi
mengimplikasikan suatu kisah baru, kisah yang tidak pernah diketahui atau
diceritakan sebelumnya”. Revolusi menjadi jembatan yang mentransformasikan
dunia lama jadi dunia baru.
Alhasil, revolusi sejati yang berdampak besar dalam transformasi
kehidupan harus mengandung kebaruan dalam struktur mental dan keyakinan. Dengan
kata lain, revolusi sejati meniscayakan perubahan mentalitas (pola pikir dan
sikap kejiwaan) yang lebih kondusif bagi perbaikan kehidupan. Urgensi revolusi
mental seperti ini sejalan dengan firman Tuhan dalam Al Quran (QS 13: 11):
”Sesungguhnya Allah tidak mengubah apa yang ada pada sebuah kaum hingga mereka
mengubah apa yang ada pada jiwa mereka.”
Kenyataannya, keberhasilan revolusi fisik merebut kemerdekaan
Indonesia serta jatuh bangunnya pemerintahan setelah kolonial tak diikuti
perubahan mendasar pada struktur mentalitas bangsa. Pada relung terdalam
kejiwaan bangsa ini, masih bercokol mentalitas feodalistis yang mengisap ke
bawah, tetapi mudah bermetamorfosis menjadi mentalitas budak di hadapan
tuan-tuan agung. Mentalitas budak (inferior) menjadikan bangsa ini mudah
mengekor bangsa lain; saat sama sulit menerima kelebihan dan kemenangan sesama
bangsanya sendiri.
Dengan struktur mentalitas seperti itu, kemerdekaan dan pembangunan
Indonesia tidak diikuti oleh kemandirian dalam ekonomi, kedaulatan dalam
politik, dan kepribadian dalam kebudayaan. Lemahnya mentalitas kemandirian
membuat wajah perekonomian bangsa ini belum kunjung beranjak dari gambaran
perekonomian negeri terjajah yang dilukiskan Bung Karno pada 1930-an. Pertama,
sumber daya alam¬nya hanya dijadikan bahan baku murah oleh negara maju. Kedua,
negeri kita hanya dijadikan pasar untuk menjual produk-produk hasil industri
negara maju tersebut. Ketiga, dijadikan tempat memutarkan kelebihan kapital
(modal) oleh negara-negara kapitalis tersebut atau dengan kata lain menjadi
tempat investasi asing.
Lemahnya mentalitas kedaulatan membuat politik negeri ini tidak
leluasa mengembangkan pilihan sistem dan kebijakan politik sendiri. Ke luar,
kewibawaan Indonesia dalam memperjuangkan kepentingan nasionalnya dalam
hubungan internasional kian memudar. Ke dalam, pilihan-pilihan pembangunan tak
lagi ditentukan oleh apa yang disebut Tan Malaka sebagai ”kemauan, pelor, atau
bambu runcingnya rakyat Indonesia sendiri”. Tanpa kedaulatan mengembangkan
sistem pemerintahan sendiri, demokrasi padat modal membuat pilihan-pilihan
politik kerap dimenangi kepentingan korporasi karena aspirasi rakyat tidak
memiliki sarana yang efektif untuk mengekspresikan diri.
Lemahnya mentalitas kepribadian membuat kebudayaan bangsa ini tak
memiliki jangkar karakter yang kuat. Tanpa kekuatan karakter, Indonesia adalah
bangsa besar bermental kecil; bangsa besar mengidap perasaan rendah diri.
Bangsa yang selalu melihat dunia luar sebagai pusat teladan, tanpa menyadari
dan menghargai kelebihan-kelebihan bangsa sendiri. Atau sebaliknya, melakukan
kompensasi berlebihan dengan mengembangkan mentalitas jago kandang yang menolak
belajar dari kelebihan bangsa lain.
Tanpa kekuatan karakter, kita sulit jadi pemenang dalam era
persaingan global. Itu karena, seperti diingatkan Napoleon Bonaparte, ”Dalam
pertempuran (baca: persaingan), tiga perempat faktor kemenangan ditentukan
kekuatan karakter dan relasi personal, adapun seperempat lagi oleh keseimbangan
antara keterampilan manusia dan sumber daya material.”
Investasi mental
Begitu terang benderang bahwa krisis mentalitas merupakan akar tunjang
dari krisis kebangsaan. Bisa dipahami apabila pesan lagu kebangsaan lebih
mendahulukan pembangunan jiwa daripada raga. Celakanya, perhatian yang
berlebihan terhadap investasi material membuat kita mengabaikan investasi
mental.
Dunia pendidikan yang biasanya dijadikan sandaran terakhir bagi
transformasi sosial bukannya memberi harapan, malah menjadi bagian dari krisis
itu sendiri. Lembaga pendidikan sebagai benteng kebudayaan mengalami proses
pengerdilan, tergerus dominasi etos instrumentalisme; suatu etos yang
menghargai seni, budaya, dan pendidikan sejauh yang menyediakan instrumen untuk
melayani tujuan-tujuan praktis.
Suatu usaha national healing perlu dilakukan dengan melakukan
gerakan revolusi mental, yang wahana utamanya melalui proses persemaian dan
pembudayaan dalam dunia pendidikan. Proses pendidikan sejak dini, baik secara
formal, nonformal, maupun informal, menjadi tumpuan untuk melahirkan manusia
baru Indonesia dengan mental-karakter yang sehat dan kuat.
Untuk itu, perlu ada reorientasi dalam dunia pendidikan dengan
menempatkan proses kebudayaan (olahpikir, olahrasa, olahkarsa, dan olahraga) di
jantung kurikulum. Pendidikan dan kebudayaan harus dipandang sebagai proses
kreatif yang tak dapat dipisahkan, ibarat dua sisi dari keping uang yang sama.
Bung Hatta secara tepat menyatakan bahwa yang diajarkan dalam proses pendidikan
adalah kebudayaan, sedangkan pendidikan itu sendiri adalah proses pembudayaan.
Pendidikan sebagai proses belajar menjadi manusia berkebudayaan
berorientasi ganda: memahami diri sendiri dan memahami lingkungannya. Ke dalam,
pendidikan harus memberi wahana kepada peserta didik untuk mengenali siapa
dirinya sebagai ”perwujudan khusus” (”diferensiasi”) dari alam. Sebagai
perwujudan khusus dari alam, setiap orang memiliki keistimewaan-kecerdasan
masing-masing. Proses pendidikan harus membantu peserta didik menemukenali
kekhasan potensi diri tersebut, sekaligus kemampuan untuk menempatkan
keistimewaan diri itu dalam konteks keseimbangan dan keberlangsungan jagat
besar.
Aktualisasi dari kesadaran ini adalah pemupukan keandalan khusus
seseorang yang memungkinkannya memiliki kepercayaan diri, daya tahan, daya
emban, dan daya saing dalam perjuangan hidup, dengan tetap memiliki
sensitivitasnya terhadap nilai-nilai kebudayaan yang baik, benar, dan indah.
Pengenalan terhadap kekhasan potensi diri dan komitmennya terhadap kebersamaan
nilai-nilai kebudayaan itulah yang menjadi dasar pembentukan karakter.
”Karakter” dalam arti ini adalah kecenderungan psikologis yang membentuk kepribadian
moral.
Sementara ke luar, pendidikan harus memberi wahana kepada anak
didik untuk mengenali dan mengembangkan kebudayaan sebagai sistem nilai, sistem
pengetahuan, dan sistem perilaku bersama melalui olahpikir, olahrasa,
olahkarsa, dan olahraga. Kebudayaan sebagai sistem nilai, sistem pengetahuan,
dan sistem perilaku ini secara keseluruhan membentuk lingkungan sosial yang
dapat menentukan apakah disposisi karakter seseorang berkembang jadi lebih baik
atau lebih buruk.
Karakter kolektif
Kebudayaan sebagai lingkungan sosial tersebut bisa juga disebut
sebagai wahana pembentukan karakter kolektif. Setiap bangsa, seperti ditengarai
oleh Otto Bauer, mestinya memperlihatkan suatu ”persamaan (persatuan)
karakter”, yang terbentuk karena persatuan pengalaman. Dalam konteks Indonesia,
sistem nilai kebudayaan sebagai pembentuk karakter kolektif itu bernama
Pancasila.
Dengan kata lain, perilaku manusia adalah fungsi dari karakter
personal dan budaya (karakter kolektif). Adapun pendidikan sebagai proses
belajar memanusia berfungsi untuk memfasilitasi pengembangan karakter personal
dan kebudayaan yang baik, benar, dan indah, sebagai wahana pembentukan bangsa
beradab. Itulah landasan gagasan nation and character building.
Usaha mengubah mentalitas bangsa tidak bisa ditempuh secara
simsalabim. Misi revolusi mental harus dilakukan secara terencana, bertahap,
dan terstruktur, yang secara sinergis mentransformasikan mentalitas-karakter
bangsa menuju kemandirian dalam ekonomi, kedaulatan dalam politik, dan
berkepribadian dalam kebudayaan.
Betapapun hal itu merupakan proyek raksasa yang mahaberat, tetapi
kita tak boleh kehilangan optimisme. Dengan semangat gotong royong, kita bisa
atasi segala rintangan. Bung Karno mengingatkan, ”Dan kita harus sabar, tak
boleh bosan, ulet, terus menjalankan perjuangan, terus tahan menderita. Kita
harus jantan! Jangan putus asa, jangan kurang tabah, jangan kurang rajin.
Ingat, memproklamasikan bangsa adalah gampang, tetapi menyusun negara,
mempertahankan negara buat selama-lamanya itu sukar. Hanya rakyat yang memenuhi
syarat-syarat sebagaimana saya sebutkan tadi—rakyat yang ulet, rakyat yang
tidak bosanan, rakyat yang tabah, rakyat yang jantan—hanya rakyat yang
demikianlah dapat bernegara kekal dan abadi. Siapa yang ingin memiliki mutiara,
harus ulet menahan-nahan napas, dan berani terjun menyelami samudra yang
sedalam-dalamnya.” []
KOMPAS, 21 Agustus 2014
Yudi Latif ; Pemikir Kebangsaan dan
Kenegaraan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar