Berpuasa
Lahir Batin
Oleh:
Mohamad Sobary
Berpuasa
itu hidup dalam pencegahan dan pembatasan. Kita sibuk mencegah keinginan agar
kita yang menjadi ”raja” dan keinginan kita kendalikan.
Berpuasa
juga berarti bahwa kita sibuk membuat pembatasan-pembatasan. Apa yang boleh
dilakukan pada bulan-bulan lain dilarang pada bulan puasa. Apa yang halal pada
bulan-bulan lain haram pada bulan puasa. Kita tak mengeluh menghadapi pembatasan.
Kita sibuk membuat batasbatas terhadap diri kita yang boleh jadi tak mengenal
batas. Kemampuan membatasi diri itu tanda bahwa kita berkuasa dan bahwa diri
kita tak dikuasai keinginan dan nafsu-nafsu yang cenderung tak pernah merasa
cukup. Berpuasa mengajarkan apa yang cukup itu betulbetul cukup.
Di dalam
kebudayaan Jawa, terutama Jawa zaman dahulu, Jawa ortodoks, Jawa asli, dan tak
terpengaruh warna-warni kebudayaan lain, berpuasa itu menjadi kebajikan sosial,
sekaligus keutamaan moral, yang disepakati di dalam masyarakat, menjadi
konsensus bersama tanpa dipaksakan. Mereka yang tak pernah bisa melakukannya
merasa malu secara sosial, malu pada yang bisa melakukannya, dan malu pada
orang banyak. Ada sejenis asketisme yang berhubungan dengan dunia lain, mungkin
seperti disebut Weber dengan nama ”other worldly ascetism”, sejenis kesalehan
langit, yang mengesankan bahwa warna religious dalam budaya begitu kuat.
Tapi,
sebutan kesalehan langit mungkin menjadi tidak terlalu tepat karena
kesalehan-kesalehan dan cara hidup yang penuh pembatasan diri itu–Ben Anderson
menyebutnya usaha ”mengecilkan diri”–pada kenyataannya menjadi begitu jelas
ditujukan untuk ”membesarkan diri”. Puasa di dalam kebudayaan Jawa lebih berat
dibandingkan dengan puasa yang kita kenal dalam Islam. Makna ”cegah dahar lawan
guling” , mencegah makan dan tidur, dalam pelaksanaannya sungguh tidak mudah,
tak semudah mengidungkannya ketika ajaran itu baru berupa kidung ”kinanthi”
yang enak dinyanyikan.
Mencegah
atau membatasi makan mungkin tak menjadi masalah. Tetapi, mencegah tidur jauh
lebih berat. Apalagi bila harus dilakukan dalam tiga hari tiga malam atau tujuh
hari tujuh malam, bahkan ada yang sampai mencapai empat puluh hari empat puluh
malam, sebagaimana dibakukan di dalam tradisi asketisme yang sekarang
barangkali sudah punah dan ditinggalkan orang.
Asketisme
Jawa bukan hanya ”cegah dahar lawan guling” tadi. Dalam hidup sehari-hari,
asketisme mengajarkan agar kita selalu tampil bersahaja, hidup sederhana,
menjauhi kemewahan dan apa yang glamor. Kita diajarkan ”manganggoa sawatawis”,
berpakaian sederhana, yang mengesankan bersahabat, dan tidak sombong pada siapa
pun. Kecuali itu kita juga diminta ”ojo pijer sukan-sukan”, agar menjauhi hidup
berfoya-foya, pesta-pesta meriah, alasannya: ”olo wateke wong suko”
senangsenang itu jelek karena ”nyudo prayitnaning batin” batin menjadi lalai
akan kewajiban mengabdi atau beribadat pada Tuhan.
Senang-senang
tak memberi dukungan, bahkan menghalangi kehendak jiwa untuk hidup dalam
asketisme yang mulia itu. Bersenang-senang atau berfoya-foya itu bukan hanya
semata-mata pemborosan, melainkan juga merusak jiwa. Pemerintah Orde Baru
pernah menyadari bahwa korupsi sudah terlalu merajalela dan para pejabat hidup
kelewat mewah. Istri-istri mereka yang sombong itu menjadi lebih sombong karena
ikut berkuasa. Para istri itu juga kelewat sering belanja secara berlebihan di
luar negeri dan minta tiket gratis pada Garuda.
Selebihnya
mereka menyelenggarakan pesta-pesta perkawinan buat anak mereka dengan
menghambur-hamburkan uang yang tak diragukan lagi uang negara ikut ”hanyut” ke
dalamnya. Pejabat yang berpesta itu sudah– setidaknya sebagian– menggunakan
uang negara dan para pejabat lain yang menyumbang pun tak mustahil menyumbang
dengan menggunakan dana negara, dari apa yang namanya dana taktis, dana tak
terduga, dan sebutan lain, yang mereka bikin sendiri untuk menghalalkan korupsi
yang mereka tradisikan sebagaisesuatuyangtakperlu dicela, apalagi dikutuk.
Bagaimana
ajaran semulia itu tak bisa dilaksanakan dalam hidup untuk mewujudkan kebajikan
langit di bumi ini? Mengapa ada jarak begitu jauh antara ajaran dan tindakan?
Mengapa kemunafikan dipelihara dengan sebaik-baiknya, melalui anjuran-anjuran
”hidup sederhana”, yang digembar-gemborkan pemerintah melalui media massa,
tetapi diam-diam dilanggar di dalam kehidupan dunia hitam yang terlindung dari
pandangan hukum dan penegak hukum?
Tokoh-tokoh
dunia rohani berteriak-teriak dan mengutuk tindakan itu dari rumah ibadah.
Tapi, apa artinya teriakan dari sana, yang berhenti pada teriakan, tanpa
tindakan hukum dan penegakan hukum secara nyata? Dari dulu kemunafikan kita
memang menonjol. Kita berbicara agama, moral, kemanusiaan, dan keadilan, tapi
tindakan kita melawan secara frontal semua dalil rohaniah itu. Itu dahulu.
Mungkin itu sudah menjadi bagian dari sejarah moralitas sekaligus sejarah
politik yang munafik dalam rezim Orde Baru yang otoriter.
Reformasi
tampak terburu-buru ingin menutup semua itu dari ingatan dan tak hendak
menjadikannya kenangan. Ada pula yang sok bijaksana yang menyarankan biarlah
yang lalu berlalu. Jangan lagi kita melihat ke belakang. Kita diminta melihat
hanya ke depan, membaca prospek kehidupan kita yang begitu lama terkoyak-koyak
kemunafikan dan keserakahan manusia akan harta benda dan kekuasaan. Ada pula
yang menambahkan unsur wanita di dalam tiga ”ta” yang terkenal: harta, tahta,
wanita. Ini pun buatan mereka sendiri, yang segera mereka langgar dengan
terang-terangan.
Reformasi,
dengan segenap semangat, hendak membikin hancur luluh semua itu dalam masa
pendek. Apa hasilnya? Keadaan kita lebih baik karena ada bukti-bukti nyata
bahwa saat ini kehidupan politik didominasi oleh begitu banyak partai politik
Islam? Kita lebih saleh dan lebih mampu berpuasa secara khusyuk, tulus, dan
ikhlas, hanya semata kepada Allah karena tokoh-tokoh kita di parlemen, ”berapa”
pun ”komisinya”, para tokoh Islam yang dahsyat itu yang berkuasa, yang
bicaranya bisa mengguncang tugu Monas, dan menggetarkan dindingdinding beton
Istana.
Kita
bangsa yang saleh? Kita tokoh-tokoh dan orang-orang beragama, yang mampu
memberi teladan mulia pada rakyat biasa? Kita tokoh-tokoh rohaniah, yang tak
doyan harta yang bukan milik kita? Kita politisi berbasis agama yang hidup
lurus, semata mengabdi kebenaran, demi kemuliaan Allah? Kitahidupdamai, dan
menjauhkan diri dari menyalahkan orang lain, dan menganggap pihak lain kafir,
dan hanya kita kekasih Allah?
Apakah
berpuasa pada Ramadan tahun ini membuat kita menjadi orang muslim yang
benar-benar muslim, yang jauh dari kejahatan kemanusiaan terhadap sesama
manusia? Apakah kita sudah bisa berpuasa dengan niat semata untuk Allah, dengan
puasa lahir maupun batin? []
KORAN
SINDO, 21 Juli 2014
Mohamad Sobary ; Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk
Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar