Menunggu Vonis Pilpres
Oleh: Moh Mahfud MD
Kalau kita mengikuti dakwaan jaksa dalam suatu
peradilan pidana, kerap kali kita dibuat manggutmanggut, bersetuju dengan
dakwaan jaksa, bahkan kadang memuji jaksa karena berhasil membuat dakwaan dalam
sebuah konstruksi hukum yang logis.
Kita sering spontan mengatakan dakwaan jaksa
benar dan karenanya terdakwa harus dihukum sesuai dengan rentang ancaman di
dalam hukum pidana. Tapi ketika pada sidang berikutnya giliran terdakwa atau
kuasa hukumnya mengajukan pembelaan, kita pun sering berubah pikiran. Kalau
tadinya membenarkan dan memuji jaksa, kini berubah membenarkan terdakwa atau
pengacaranya karena mereka berhasil membuat alibi yang, tampaknya, mematahkan
dakwaandakwaan jaksa.
Jadi ketika jaksa mengajukan dakwaan, kita
kerap langsung mengatakan, “Jaksa benar, terdakwa harus dihukum.” Tapi setelah
terdakwa atau pengacaranya mengajukan pembelaan kita pun sering langsung
berubah dan mengatakan, “Jaksa keliru, terdakwa tidak bersalah dan harus
dibebaskan.” Jadi sikap kita atas suatu perkara yang sedang berlangsung di
pengadilan kerap kali berubah-ubah, tergantung apa yang baru kita dengar.
Penentu dari semua itu adalah keyakinan hakim setelah melalui proses
pembuktian.
Dalil hukum atas kekuatan bukti dan keyakinan
hakimlah yang akan menentukan mana yang benar atau salah menurut hukum dari
pertentangan antara jaksa dan terdakwa atau pengacaranya. Dan ketika hakim
memutus berdasar bukti dan konstruksi hukum yang diyakininya, kita pun sering
berkata, “Oh, vonis hakim itu yang benar.”Demikian juga sikap-sikap kita saat
menanggapi kasus sengketa hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 yang sekarang
ini sedang berlangsung di Mahkamah Konstitusi (MK).
Saat mendengar isi gugatan (tepatnya
permohonan) yang disampaikan pasangan Prabowo-Hatta kita cenderung mengatakan,
“Prabowo-Hatta benar, harus dimenangkan karena ada kesalahan dan kecurangan.”
Tapi ketika pihak KPU memberi jawaban atau bantahan, apalagi setelah didukung
oleh pihak terkait, pasangan Jokowi-JK dan Bawaslu, pikiran kita pun berubah,
“Ah, KPU sudah benar, Jokowi-JK harus tetap dimenangkan.” Ketika pada hari
Jumat sore kemarin pihak Prabowo-Hatta mengajukan saksi-saksi dari Jawa Timur,
pikiran kita pun larut dan mulai mengatakan, “Eh, benar-benar terjadi pelanggaran
serius, ada kecurangan, KPU tidak prudent, harus ada pemungutan suara ulang
atau Prabowo-Hatta harus dinyatakan menang.”
Sangat mungkin, setelah pihak KPU dan pihak
terkait besok Senin mengajukan saksisendiriyangmenunjukkan bukti sebaliknya,
pikiran kita akan berubah lagi, “KPU sudah benar, permohonan Prabowo- Hatta
harus ditolak dan Jokowi- JK harus tetap dinyatakan menang.” Pada akhirnya
kecanggihan menyusun argumen dan menyodorkan bukti-bukti yang dapat meyakinkan
hakimlah yang akan menjadi penentu, siapa yang menang dan siapa kalah dalam
sengketa pilpres di MK ini. Keyakinan hakim adalah kunci utama untuk menentukan
bagaimana nasib keputusan KPU tanggal 22 Juli 2014 yang lalu tentang pemenang
pilpres.
Tapi keyakinan hakim itu tidak datang begitu
saja, melainkan lahir dari argumen dan bukti-bukti yang kuat selama proses
persidangan. Berdasar ketentuan UU dan putusan-putusan MK terdahulu, ada
setidak-tidaknya tiga kemungkinan vonis MK yang menurut jadwal akan diucapkan
tanggal 21 Agustus 2014 ini. Pertama, MK mengabulkan permohonan dengan
membatalkan keputusan KPU dan menetapkan hasil penghitungan yang benar menurut
MK serta menyatakan Prabowo-Hatta menjadi presiden/wapres terpilih.
Amar putusan yang seperti ini dimungkinkan
apabila berdasar penghitungan atas lebih dari 200.000 form C-1 yang diajukan
sebagai bukti ke MK memang ada kesalahan yang dilakukan KPU yang menyangkut
sejumlah suara yang signifikan. Estimasinya, jika dirata-ratakan dari setiap
form C-1 ada kesalahan 25 suara yang merugikan Prabowo-Hatta, jumlahnya sudah
signifikan untuk mengubah kemenangan.
Kedua, MK menolak permohonan pemohon dan
menyatakan Jokowi-JK tetap sebagai presiden/wapres terpilih karena meskipun
Prabowo-Hatta berhasil membuktikan kecurangan atau kesalahan, kesalahan atau
kecurangan tersebut tidak signifikan (dalam angka) dan tidak bersifat
terstruktur, sistematis, dan masif sebagai proses. Meski terbukti ada kesalahan
penetapan jumlah suara yang merugikan Prabowo-Hatta, jika jumlah suara yang
salah itu tidak mencapai lebih separuh dari kekalahan Prabowo-Hatta (sekitar
8,4 juta suara), MK pasti menolak permohonan untuk mengubah pemenang itu.
Begitu juga MK pasti akan menolak membatalkan
keputusan KPU meski ditemukan pelanggaran dalam proses pemilu itu apabila pelanggaran
itu bersifat sporadis atau hanya terjadi di daerah tertentu yang jumlah
pemilihnya tidak sepadan dengan selisih suara yang telah ditetapkan KPU.
Ketiga, MK memerintahkan pemungutan suara ulang di daerah-daerah tertentu
(bahkan juga di seluruh Indonesia) apabila berdasarkan hasil pemeriksaan
terhadap form C-1 ditemukan adanya pemberi suara gelap yang jumlahnya
signifikan bisa mengubah kemenangan.
Pemberi suara gelap itu misalnya pemilih yang
menggantikan orang lain, memilih di lebih dari satu TPS, pemilih melebihi
jumlah kartu suara DPT plus 2% cadangannya, mobilisasi pemilih tanpa form A-5.
Pemungutan suara ulang juga bisa diperintahkan oleh MK jika terjadi pelanggaran
yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif di daerah-daerah yang mempunyai
pemilih yang jumlahnya signifikan untuk mengubah kemenangan. Kita tunggu vonis
MK. []
KORAN SINDO, 09 Agustus 2014
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar