Jokowi Menang, Prabowo Menang
Oleh: Moh Mahfud MD
Pukul 20.45 WIB, Kamis malam, dua hari lalu, Ketua Mahkamah
Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva mengetukkan palu vonis untuk perkara perselisihan
hasil Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2014.
MK “menolak” seluruh permohonan capres/cawapres Prabowo
Subianto-Hatta Rajasa untuk membatalkan keputusan KPU yang telah memenangkan
Jokowi-JK. Jokowi-JK dinyatakan terpilih sebagai presiden/wapres, sedangkan
Prabowo-Hatta dinyatakan kalah. Apakah putusan MK itu sudah benar atau salah?
Apakah putusan MK baik bagi penegakan dan pembangunan hukum nasional kita?
Kalau kita menjelajahi pemberitaan pers dan media sosial, memang masih terjadi
kontroversi.
Ada yang mengatakan vonis MK sudah benar sesuai dengan fakta hukum
dalam proses persidangan di MK. Tapi ada juga yang menyatakan kecewa karena
vonis MK tidak mampu membuat terobosan untuk membangun keadilan substantif.
Namun, betapapun kontroversialnya, putusan MK itu bersifat final dan wajib
dilaksanakan. Soal kontroversi, sejak dulu selalu begitulah penyikapan terhadap
vonis-vonis MK. Yang satu mengatakan benar, yang lain mengatakan salah.
Yang satu bilang bagus, yang lain bilang jelek. Ini menjadi
niscaya saja, sebab sejak awal pihak-pihak yang beperkara di MK memang
mengajukan dalil-dalil yang berbeda, tetapi diklaimnya sebagai kebenaran. Jadi
hampir tak mungkin di dalam sengketa apa pun ada vonis yang 100% benar dan
bagus atau 100% salah dan jelek. Oleh karena pihak-pihak yang beperkara
mengajukan dalil dari perspektif dan kepentingan yang berbeda, kebenaran atau
kebaikan vonis pengadilan itu menjadi relatif, yang lebih proporsional kalau
dibahas secara akademis di kampus.
Dalam sengketa pilpres kali ini pun, berdasar dalil pemohon yang
didukung ahli-ahli seperti Irmanputera Sidin dan Margarito Kamis, bisa
dikatakan vonis MK kurang tepat dan tidak bagus karena tidak menggali keadilan
substantif dan terlalu formal-legalistis. Sebaliknya kalau kita ikuti
dalil-dalil termohon/ terkait yang didukung ahli-ahli seperti Saldi Isra dan
Harjono, bisa dikatakan vonis MK sudah benar dan adil.
Pandangan benar dan salah atau bagus jelek terhadap suatu vonis
menjadi relatif, tergantung pada pilihan perspektif dan kepentingan pihak yang
menilainya. Di atas relativitas itu penilaian dan keyakinan hakimlah yang
menjadi penentunya. Itulah sebabnya vonis MK itu tak bisa secara mutlak disebut
sebagai vonis yang benar dan bagus atau salah dan jelek. Tapi vonis MK harus
diikuti dan dilaksanakan bukan karena benar dan bagus, melainkan karena
ditetapkan oleh hakim untuk menyelesaikan sengketa yang ditanganinya.
Di dalam ushul fiqh (metodologi hukum Islam) yang juga berlaku
universal dalam hukum ada kaidah hukmul haakim yarfahukmul haakim yarfaul
khilaaf, keputusan hakim mengakhiri perselisihan. Ia harus diikuti bukan karena
benar atau salah, tetapi harus diikuti karena ditetapkan oleh hakim untuk
menyelesaikan perselisihan. Berdasar ini, vonis MK yang memenangkan Jokowi-JK
kemarin harus ditaati karena telah ditetapkan oleh hakim berdasar kewenangan
konstitusionalnya.
Sikap seperti itu sudah dinyatakan oleh Prabowo dengan baik tak
lama setelah vonis MK dijatuhkan. Melalui akun Facebook-nya (dikutip Vivanews
pukul 00.52 tanggal 22 Agustus) Prabowo menyatakan, “Walau tidak mencerminkan
keadilan substantif keputusan MK harus kita hormati. Malam ini saya ingin
menyampaikan kepada sahabat sekalian, kepercayaan yang telah sahabat berikan
kepada kami tidak akan pernah kami sia-siakan.” Inilah sikap sportif.
Menerima cara hidup bernegara sesuai dengan konstitusi dan hukum,
betapapun tidak mengenakkan. Menerima kekalahan secara legawa dan terhormat
karena ketentuan konstitusi demi bangsa dan negara. Ya, Prabowo secara yuridis
konstitusional telah dinyatakan kalah dan kita harus menerima dan memberi jalan
kepada Jokowi untuk menjadi presiden Indonesia dalam lima tahun ke depan. Meski
begitu, meski secara yuridis formal dinyatakan kalah, secara moril sebenarnya
Prabowo mencatat kemenangan-kemenangan sendiri yang sangat mengesankan.
Pertama, Prabowo mampu mengerek angka elektabilitas secara
fantastis dari 22% (saat mendaftarkan diri sebagai capres ke KPU) menjadi 47%
berdasar hasil pemungutan suara. Hanya dalam waktu enam minggu Prabowo bisa
menaikkan elektabilitasnya sampai sekitar 25%. Kedua, citra Ptrabowo sebagai
tokoh menjadi lebih bersih.
Dulu, Prabowo selalu distigmakan sebagai orang jahat yang
menakutkan karena pelanggaran HAM. Tapi ternyata pendukungpendukung Prabowo
sekarang justru banyak yang merupakan pejuang-pejuang HAM dan demokrasi. Di sana
ada Dawam Rahardjo, Taufik Ismail, aktivis buruh Said Iqbal, dan pendukung-
pendukung lain yang tak bisa direkrut secara formal. Banyak juga akademisi yang
sudah profesor, doktor, aktivis kampus, aktivis majelis taklim, kiai, habib,
dan lain-lain.
Dia sudah diterima oleh masyarakat luas sebagai tokoh yang punya
kelebihan dan kekurangan seperti tokoh-tokoh lain. Perbedaan pilihan orang atas
Prabowo dan Jokowi lebih pada soal selera para pemilih. Ketiga, berdasar hasil
berbagai survei pemilih-pemilih Prabowo lebih banyak berasal dari kaum terdidik
dengan rumus kecenderungan, “semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin besar
kecenderungannya untuk memilih Prabowo”.
Jadi meski secara yuridis konstitusional dinyatakan kalah, secara
moril dan modal sosial politik Prabowo telah mencatatkan
kemenangan-kemenangannya sendiri. Selamat untuk Jokowi, bravo untuk Prabowo. []
KORAN SINDO, 23 Agustus 2014
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum
Konstitusi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar