Loh, Kita Sudah Merdeka To?
Oleh: Mohamad Sobary
”Alangkah hebatnya kejadian-kejadian tahun yang lalu, 365 hari
lamanya kita bekerja keras, berjuang, menderita, dan menghadapi berbagai-bagai
kesulitan yang sebagai gunung besarnya. 350 tahun lamanya kita mengalami hidup
di dalam penjajahan Belanda, sekarang dengan secara kilat pada tanggal 17
Agustus 1945 kita telah memproklamirkan kita punya kemerdekaan.
Karena kita sudah tahu bahwa kita punya proklamasi itu sudah
sepatutnya dan sistem penjajahan harus diberhentikan setelah 350 tahun.” Ini
petikan Pidato Presiden Soekarno dalam memperingati satu tahun Hari Kemerdekaan
Indonesia, (17 Agustus 1946), dihimpun di dalam buku yang berisi pidato-pidato
Presiden Soekarno, Dari Proklamasi sampai Takari, 1945- 1965 .
Dalam rentang waktu selama 20 tahun itu, tiap tahun, yaitu pada
setiap tanggal 17 Agustus, saat hari kemerdekaan kita peringati, kita diberi
tahu bahwa kita ini bangsa yang sudah merdeka. Kita tahu bagaimana bertingkah
laku sebagai bangsa merdeka, yang diminta mengisi kemerdekaan itu dengan kerja,
kerja, dan kerja untuk membuktikan kepada dunia bangsa kita bangsa merdeka.
Menyadari bahwa kita sudah merdeka itu kita bangga. Ekspresi
kebanggaan diwujudkan dengan pawai kemerdekaan yang gegap gempita. Di kampung-
kampung, anak-anak sekolah membawa bendera kecil, dari kertas, berjalan
sepanjang beberapa kilo meter menuju ke lapangan, tempat upacara seluruh
sekolah di kota kecamatan diselenggarakan. Bapak-bapak, ibu-ibu kaum tani, ikut
ambil bagian di dalam pawai kemerdekaan itu, dengan memperlihatkan hasil-hasil
panen dari sawah dan kebun mereka, untuk menunjukkan: beginilah bangsa merdeka,
yang berkarya dalam kemerdekaannya, dan menyatakan bahwa semua hasil karya itu
bisa diperoleh karena kemerdekaan.
Pendeknya, itu pameran hasil karya, tapi juga pameran rasa syukur
dan terima kasih kepada Tuhan karena kita bisa merdeka semata berkat
Rahmat-Nya. Murid-murid sekolah yang kecil-kecil membawa bendera-bendera kertas
kecil-kecil tadi merasa makin kecil saja melihat Sang Saka Merah Putih dari
kain yang besar yang dikerek di dalam upacara di lapangan dan makin naik, makin
naik, berkibar-kibar, ”klebet-klebet ” ditiup angin kencang. Jiwa kita,
anak-anak yang belum mengerti apa-apa itu, ikut bergetar, dengan rasa kagum
pada bendera kain yang besar, dan bangga menikmati ritus tahunan, memperingati
hari kemerdekaan bangsa.
Kita selalu tahu bahwa kita bangsa merdeka. Kita tahu bahwa
revolusi belum selesai. Tapi, pidato demi pidato peringatan Hari Kemerdekaan RI
di Istana Merdeka tak pernah melibatkan kita. Seolah kita juga tidak tahu bahwa
mereka sedang memperingati Hari Kemerdekaan, 17 Agustus 1945. Peringatan selalu
di Istana, tertutup dari rakyat, dan tak ada rakyat jelata bisa ikut, atau
disuruh ikut. Lapangan Monas seluas itu selalu mubazir. Peringatan hari
kemerdekaan atau harihari besar lain tak pernah diselenggarakan di sana.
Tapi, kalau gelandangan tidur di tempat itu, pasti dengan sigap
aparat ketertiban kota mengusirnya. Apa kira-kira arti kemerdekaan bagi kaum
gelandangan yang baru mau merebahkan diri untuk beristirahat sejenak di taman
itu, tapi segera diusir seperti mengusir anjing geladak? Apanya yang merdeka
kalau warga negara yang belum pernah kebagian apa-apa ini dilarang menikmati ”kemerdekaan”
berguling-guling di taman saja tak diperbolehkan? Kira-kira apa jawaban
sepasang suami-istri yang sudah berusia setengah abad, memiliki tiga anak yang
tak bisa sekolah, tak bisa bekerja, dan mereka sendiri, dua warga negara dewasa
itu, tak pernah mempunyai pekerjaan, dan tak punya sekeping pun tanah, di tanah
airnya sendiri?
Apakah bagi mereka kata ”merdeka” juga punya arti? Bagaimana
kira-kira makna kemerdekaan dipahami oleh makelar pajak, bocah yang baru meniti
awal kariernya, tetapi sudah sangat kaya, dan sudah terampil menggelapkan
pajak, dan dibela oleh ”lawyer ” kawakan yang mengaku pejuang demokrasi,
pejuang keadilan hukum dan kemanusiaan?
Akankah demokrasi ini tumbuh selama dia masih berbuat begitu?
Apakah kemanusiaan dan keadilan tak terancam hancur luluh jika orang-orang
macam itu dibiarkan merajalela semaunya, seolah hukum itu warisan kakek buyut
dan para moyangnya? Apa orang-orang ini bukan perusak kehidupan bangsa? Apa
mereka bukan pengkhianat bagi kita semua?
Tak usah kita melihat jauhjauh pada kepentingan ekonomi politik
yang begitu rakus dari pihak asing. Mereka orang asing yang tak punya kewajiban
membela kita. Jadi kita bisa memahaminya jika mereka berbuat durjana secara
ekonomi dan politik, di negeri kita tak perlu jauh-jauh melihat orang asing.
Kita sendiri, yang merasa bertanggung jawab pada sesama, bangsa, dan negara
yang sudah telanjur merdeka ini, mengapa kita tega merusak? Apa makna ”merdeka”
bagi anak pejabat, ketua partai, yang ikut mengatur uang dalam aliansi politik
antarpartai?
Anak itu belum seberapa usianya, tapi tentang harta dunia, dia
ibaratnya mandi duit. Kecemasan apa yang ada pada orang tuanya? Malah bangga
pada anaknya? Kiblat moralnya hancur, tak menjadi masalah? Lalu, apa makna
”merdeka” bagi kita semua, golongan kere, rakyat jelata, kaum kesrakat dan
sampah masyarakat, serta kalangan ”sinting” yang mandi uang, bergelimang harta
dunia yang diperoleh bukan dengan kerja keras dan berjuang mati-matian,
melainkan dengan menggunakan kekuasaan bapaknya dengan perlindungan partainya?
Apa makna ”merdeka” di situ kalau kemudian mereka terjerumus di penjara yang
gelap gulita?
Orang tuanya masih tak merasa cepat melihat hari depan anaknya,
yang sejak sangat muda, sudah bergelimang harta, yang diperoleh bukan dari
kerja keras, melainkan dengan manipulasi politik, dan tipu-menipu? Banyak
keruwetan muncul ketika kita bersyukur dan merenungkan makna ”merdeka” di
tengah kolonialisasi modern yang jauh lebih kejam. Para pejabat pemerintah juga
bikin ruwet. Mereka tak becus mengelola apa makna ”merdeka”. Kita sering kaget.
Dalam hidup di mana pekerjaan langka, sumber ekonomi tertutup,
cara untuk menunjukkan bahwa kita perlu hidup layak pun tak ada, apa artinya
kita ini? Lalu tiap tanggal 17 Agustus tiba, kita dibikin kaget setengah mati:
Loh, kita ini sudah merdeka to ? ”Merdeka kok begini.....?” []
KORAN SINDO, 18 Agustus 2014
Mohamad Sobary ; Esais, Anggota
Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan
Promosi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar