Urgensi Perluasan Jelajah KPK
Oleh: Bambang Soesatyo
“Ironis bahwa KPK yang ditugasi memerangi koruptor di seantero
negeri ini hanya berkantor di Jakarta”
PENANGKAPAN Bupati Karawang, Jawa Barat, Ade Swara bersama istri,
Nurlatifah, makin memperlihatkan perlunya penguatan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). Salah satu aspek penguatan yang terlihat urgensinya adalah
perluasan jelajah jangkau KPK hingga ke pelosok wilayah. Tentu penguatan pada
aspek lain juga diperlukan, sejalan dengan berkembangnya modus tindak pidana
korupsi (tipikor) dalam beberapa dekade terakhir.
Apalagi, praktik beberapa model kejahatan bernuansa koruptif makin
merebak akhir-akhir ini. Dari manipulasi BBM bersubsidi, penyelundupan produk
manufaktur yang jelas-jelas merugikan negara dari aspek bea masuk, hingga
penyalahgunaan wewenang dengan memberi ruang bagi praktik kartel. Beragam
kejahatan tersebut belum semuanya disentuh KPK.
Bagi mereka yang awam dengan persoalan moneter dan stabilitas
industri perbankan misalnya, kasus Bank Century terlihat rumit, bahkan sangat
njlimet. Memahami bangun kasusnya saja tak mudah, apalagi untuk sampai
kesimpulan telah terjadi kejahatan tipikor. Barangkali, faktor itulah yang
menjadi sebab penuntasan kasus ini harus memakan waktu.
Bagi institusi penegak hukum, konsekuensi logis dari contoh
kejahatan kerah putih pada kasus Century menjadi sangat jelas bahwa institusi
penegak hukum pun perlu memiliki tenaga ahli yang mampu memahami modus-modus
kejahatan pada bidang atau sektor tertentu di era modern ini. Karena itulah,
peran dan fungsi semua institusi penegak hukum, terutama KPK, perlu diperkuat
dari waktu ke waktu.
Masyarakat masih dan terus mendesak penegak hukum fokus memerangi
korupsi. Tentu saja, perhatian tertuju pada KPK. Belum lama ini, di tengah
hiruk-pikuk perhitungan perolehan suara Pilpres 2014, Pengadilan Tipikor
Jakarta dan KPK masih bisa menyita perhatian khalayak.
Pertama; Pengadilan Tipikor Jakarta memvonis terdakwa kasus dugaan
korupsi pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan penetapan bank
Century sebagai bank gagal berdampak sistemik, Budi Mulya, dengan pidana 10
tahun penjara. Setelah itu, Pengadilan Tipikor Jakarta memvonis mantan menteri
Pemuda dan Olahraga Andi Alifian Mallarangeng dengan 4 tahun penjara.
Dengan tertangkapnya Ade Swara-Nurlatifah, sudah tiga pasang
suami-istri dijerat KPK. Yang lebih dulu, Wali Kota Palembang Romi Herton dan
istri, Masyitoh. Keduanya ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap Rp 19,8
miliar kepada mantan ketua MK, Akil Mochtar. Sebelumnya lagi, mantan bendahara
umum Demokrat, M Nazaruddin dan istri, Neneng Sri Wahyuni, pada 2010. Suami
istri itu ditangkap juga karena sejumlah tindak pidana korupsi.
Mata KPK
Menarik untuk menyimak pernyataan Ketua KPK Abraham Samad setelah
penangkapan Ade Swara-Nurlatifah. ”KPK tidak tidur dan tidak tinggal diam
melihat keadaan yang makin memprihatinkan. Kami memang tak punya cabang tapi
punya mata di mana-mana. Bahkan di rumah Anda pun, kami punya mata.”
KPK mengakui penangkapan Ade Swara-Nurlatifah berawal dari laporan
masyarakat tentang sepak terjang keduanya yang sangat koruptif. Berarti, mata
dan telinga masyarakatlah yang masih jadi andalan komisi antirasuah itu. Dalam
kasus Ade Swara-Nurlatifah, patut disyukuri karena masyarakat masih peduli. Apa
jadinya andai mereka tidak lagi peduli atau permisif.
KPK memang hanya ada di Jakarta. Ketika Abraham Samad mengatakan
KPK tak punya cabang di daerah, dia secara tidak langsung menggambarkan
keterbatasan jelajah jangkau lembaganya.
Riilnya, jelajah jangkau komisi itu memang sangat terbatas. Bahwa
ia masih bisa menjerat sejumlah tersangka korupsi dari beberapa daerah, itu
berkat partisipasi atau laporan masyarakat.
Ironis bahwa KPK yang ditugasi memerangi para koruptor di seantero
negeri ini hanya berkantor di Jakarta. Padahal, praktik korupsi menggejala di
semua daerah. Cobalah mendatangi tiap daerah dan mengorek informasi tentang
korupsi maka banyak cerita dituturkan, baik oleh warga maupun pegawai pemda
yang tentu saja minta identitasnya dirahasiakan. KPK pun menerima banyak laporan
dugaan tipikor dari sejumlah daerah.
Tak mudah bagi KPK merespons semua itu mengingat berbagai
keterbatasannya. Karena kecenderungan itulah, perluasan jelajah jangkau KPK
perlu diprioritaskan. Seperti institusi penegak hukum lainnya, wilayah kerja komisi
antikorupsi tersebut amatlah luas, terutama karena korupsi sudah menggejala di
hampir semua daerah. Maka, KPK perlu memiliki instrumen di daerah.
Mungkin tidak harus berbentuk kantor cabang atau perwakilan.
Tampaknya, instrumen paling utama yang diperlukan adalah penempatan tenaga yang
berfungsi seperti investigator atau pengumpul data. Para investigator ini
beroperasi layaknya intelijen. Tidak terlihat tetapi masyarakat tahu bahwa di
daerahnya ada orang KPK yang siap mengintai atau merespons laporan masyarakat.
[]
SUARA MERDEKA, 19 Agustus 2014
Bambang Soesatyo ; Anggota Komisi
III DPR, Presidium Nasioinal KAHMI 2012-2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar