Presiden Lawan Kartel
Oleh: Bambang Soesatyo
KITA masih menunggu Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan hasil
Pilpres 2014 pada 22 Juli 2014 untuk mengetahui presiden dan wakil presiden
terpilih. Namun dalam debat capres/cawapres terungkap bahwa praktik kartel
dalam perekonomian nasional bukan lagi berstatus dugaan melainkan sudah
terkonfirmasi. Adalah cawapres Hatta Rajasa yang berjanji membongkar peran
mafia komoditas atau kartel itu. Kini, rakyat menunggu respons penegak hukum.
Janji itu secara tak langsung memberi konfirmasi praktik kartel, karena
diungkap oleh Hatta. Bila seorang mantan menko Perekonomian berniat membongkar
praktik bisnis yang merugikan banyak orang, publik bisa mengasumsikan ia tahu
banyak. ”Nanti kita bongkar semuanya, siapa sesungguhnya mafia tersebut,” kata
Hatta ketika berkampanye di Tasikmalaya (3/7/14), memperkuat penegasannya
ketika debat.
Sepak terjang kartel —beberapa kalangan menyebutnya mafia
komoditas— dalam perekonomian Indonesia sudah lama tercium publik.
Memprihatinkan dan juga tidak berkeadilan karena para mafioso itu
’’memainkan’’sejumlah komoditas yang berkait langsung dengan hajat hidup
rakyat. Publik telah lama mengendus sepak terjang beberapa kartel. Ada kartel
atau mafia minyak, kartel gula, kartel daging sapi, dan kartel benih, dan
kartel kedelai. Dua ekonom, Emil Salim dan Faisal Basri, baru-baru ini
membenarkan sekaligus mempertajam pemahaman publik tentang modus kartel minyak.
Menurut Emil yang juga Ketua Dewan Pertimbangan Presiden, kartel minyak sangat
ingin agar ada subsidi BBM karena makin menguntungkan kartel itu. Senada dengan
Emil, Faisal Basri mengungkapkan, kartel minyak senang jika Indonesia makin
banyak impor minyak dan tidak membangun kilang minyak. Meningkatnya volume
anggaran subsidi BBM sangat diharapkan oleh kartel dan jaringannya. ’’Semua
orang di perminyakan pasti tahu. Mereka itu importir minyak, dan senang kalau
Indonesia terus-terusan impor minyak, senang kalau ada subsidi BBM,” kata
Faisal.
Di dalam kartel, ada unsur oknum penguasa, pebisnis, dan calo.
Adapun hak memonopoli itu didapat dari pemerintah selaku regulator. Melalui
instrumen atau saluran resmi pada institusi pemerintah, kartel akan
mengemukakan alasan-alasan yang kedengarannya masuk akal tentang urgensi impor
komoditas tertentu. Mereka juga dominan mengatur permintaan dan penawaran di
pasar. Ironisnya, ketika harga komoditas impor itu menjadi sangat mahal,
pemerintah selaku regulator seperti tak berdaya, bahkan cenderung tak peduli.
Contohnya pada kasus harga daging sapi. Mestinya, bersamaan dengan penerbitan
izin impor, selayaknya ada perjanjian antara pemerintah dan importir.
Perjanjian itu menetapkan komoditas impor tersebut harus dijual di pasar lokal
pada tingkat harga terjangkau oleh konsumen kebanyakan.
Dalam beberapa tahun belakangan ini, sepak terjang kartel dalam
pengelolaan bahan pangan makin menjadi-jadi. Per Februari 2013, Komite Ekonomi
Nasional (KEN) menyatakan ada indikasi kartel pangan. Lalu. Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU) juga punya indikasi peran kartel dalam pengadaan
kedelai dan bawang putih. Bahkan, KPPU menilai Kemendag berperan signifikan
dalam kasus lonjakan harga kedelai. Menurut BPS, Indonesia masih mengimpor
kentang, singkong, garam, daging ayam, gula pasir, tepung terigu, biji gandum
dan meslin, kedelai, jagung dan beras. Pada komoditas itulah kartel memainkan
pengaruh.
Isu tentang praktik kartel komodotas pangan memuncak pada kasus
suap impor daging sapi dan beberapa kali heboh karena kelangkaan sejumlah
komoditas, seperti kedelai, cabai, dan bawang putih. Dalam kasus daging sapi,
impor harus dilakukan karena terjadi kelangkaan di pasar dalam negeri. Namun,
daging impor itu ’’harus’’ dijual dengan harga sangat mahal supaya semua pihak
yang ìberjasaî menggolkan kebijakan impor daging sapi mendapatkan rente. Para
pihak itu bersekutu dalam kartel impor daging sapi.
Tambah Kuota
Adapun kartel minyak fokus pada tingginya kebutuhan impor BBM dan
anggaran subsidi BBM. Intensitas pencurian BBM terbilang tinggi. Tetapi berkat
peran dan kekuasaan kartel, hanya segelintir kasus pencurian yang terungkap.
Kartel minyak memperoleh untung sangat besar dari konspirasi
’’menggoreng’’anggaran subsidi BBM. Caranya, dimunculkan data tentang risiko
jebolnya kuota BBM bersubsidi akibat tingginya konsumsi masyarakat. Bersamaan
dengan memunculkan data dan asumsi itu, diwacanakan kebijakan menambah kuota
BBM bersubsidi. Jadi, pemerintah bukannya memerangi pencurian BBM dan mengelola
subsidi BBM agar tepat sasaran, melainkan justru mengambil jalan pintas dengan
menambah kuota BBM bersubsidi dalam APBN-P. Beberapa penelitian terdahulu
menyebutkan sekitar 30% BBM bersubsidi tidak sampai sasarannya karena dicuri
atau diselundupkan. Angka 30% tak bisa dibilang kecil dalam konteks nilai
subsidi. Misalnya pada APBN-P2013 yang menetapkan besaran subsidi BBM Rp 199,85
triliun. Artinya, jangankan 30%, 10% saja dari jumlah itu dicuri atau
diselundupkan, nilai kerugian negara sudah puluhan triliun rupiah hanya dalam
setahun anggaran.
Pihak yang diuntungkan tentu saja kartel dan jaringannya. Sambil
menunggu tindak lanjut dari inisiatif Hatta, dan menanti presiden-wakil
presiden terpilih dari KPU, idealnya penegak hukum mulai mengambil prakarsa
mendalami kejahatan di sektor ekonomi. Praktik kartel tidak hanya merugikan
negara tapi juga makin menyengsarakan rakyat. []
SUARA MERDEKA, 18 Juli 2014
Bambang Soesatyo ; Anggota Komisi
III DPR, Presidium Nasional KAHMI 2012-2017, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar