Semangat Tebu Preman dan Bibir Terkatup
Senin, 21 Juli 2014
Waktu saya duduk-duduk santai di bawah pohon
besar bersama seluruh karyawan inti di halaman Pabrik Gula (PG) Kwala Madu,
Langkat, Sumatera Utara, Jumat sore lalu, tiba-tiba angin sangat kencang
menerjang kawasan itu. Debu, pasir, dan dedaunan kering ikut menimpa kami.
Sebagian debu masuk hidung, mata, dan mulut yang lagi terbuka.
Omong-omong serius menjelang malam ke-21 bulan
puasa sore itu terhenti seketika. Masing-masing sibuk mengucek mata,
membersihkan rambut, dan meludah dari mulut yang kering. “Ini memang lagi musim
angin. Angin bahorok,” ujar GM PG Kwala Madu sambil gaber-gaber. Setelah angin
reda, omong-omong diteruskan. Sambil waswas akan datangnya bahorok berikutnya.
Angin kencang seperti itu langsung menjadi topik
“tadarus Ramadan” yang hangat di bawah pohon sore itu. Juga tentang panjangnya
musim hujan di situ. Sebuah tantangan berat yang harus diatasi. Sulit sekali
menanam tebu di iklim seperti itu. PG Kwala Madu selalu sulit mengejar prestasi
pabrik-pabrik gula di Jawa.
“Tanahnya memang tidak cocok untuk tebu,” ujar
Dirut PTPN II Bhatara Moeda Nasution yang mendampingi saya. Karena itu, Belanda
dulu hanya mau bikin pabrik gula di Jawa.
“Tanaman tebu memerlukan iklim yang teratur.
Perlu batas yang tegas antara musim hujan dan musim kemarau dan harus ada waktu
yang nyaris tanpa hujan sama sekali selama empat bulan terus-menerus,” ujar Dr
Aris Toharisman saat saya telepon dari bawah pohon di Langkat itu. Dr Aris
adalah direktur Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) di Pasuruan,
Jawa Timur.
Tapi, pabrik gula ini sudah telanjur ada.
Kapasitasnya terlalu besar untuk ditutup: 4.000 tcd (ton tebu per hari). Waktu
itu pemerintah Orde Baru memang berambisi untuk swasembada gula. Banyak pabrik
baru didirikan. Di Sulsel 3 pabrik, di Sumut 2, dan di Kalsel 1. Yang di Sulsel
didirikan di Takalar, Bone, dan Camming. Ketika tiga pabrik ini mengalami
kesulitan yang panjang, orang menyebutnya terkena TBC, sesuai dengan huruf
pertama nama tiga lokasi itu.
Alhamdulillah, sejak tahun lalu yang dua pabrik
(TB) sudah membaik, tinggal yang C yang masih batuk-batuk. Ini karena lahan
tebunya tidak cukup lagi lantaran diduduki masyarakat di awal reformasi dulu.
Tentang satu pabrik yang di Kalsel, inna lillahi wa inna ilaihi rajiun, sudah wafat. Pabriknya sudah jadi besi tua dan di atas kuburannya kini ditanam sawit. Sudah tidak bisa dihidupkan. Mayatnya pun di dalam kuburnya sudah tinggal tulang-belulang.
Tentang satu pabrik yang di Kalsel, inna lillahi wa inna ilaihi rajiun, sudah wafat. Pabriknya sudah jadi besi tua dan di atas kuburannya kini ditanam sawit. Sudah tidak bisa dihidupkan. Mayatnya pun di dalam kuburnya sudah tinggal tulang-belulang.
Sedangkan dua yang di Sumut, ya itu tadi. Jadi
sumber kerugian besar yang berkepanjangan. Tapi, saya bertekad untuk tidak
menutupnya. Terutama yang di Kwala Madu. Tahun lalu perbaikan manajemen sudah
mulai menunjukkan hasil. Untuk pertama kali dalam 20 tahun terakhir bisa
mencapai rendemen 7. Tapi, untuk lebih dari itu, harus dicari jenis tebu yang
cocok.
Saya masih yakin ilmu pengetahuan yang kini
sudah begitu majunya akan bisa mengatasinya. Tantangannya memang sangat besar
dan banyak, tapi justru di situlah asyiknya. Ilmu pengetahuan, disiplin tinggi,
dan kerja keras harus jadi solusi.
Tahun lalu saya sudah meningkatkan anggaran
penelitian tebu menjadi Rp 5 miliar dari sebelumnya, selama bertahun-tahun,
hanya Rp 1 miliar. Tahun ini saya minta ditingkatkan lagi menjadi Rp 10 miliar.
Ahlinya cukup memadai. Ada lima doktor di situ. Di bawah Dr Aris yang selalu
lulus cum laude di tiga jenjang pendidikan tingginya. S1-nya IPB jurusan tanah;
S2-nya di NSW, Australia, bidang bioteknologi; dan S3-nya di Ulm, Jerman, di
bidang teknologi pangan.
Putra kelahiran Kuningan tahun 1966 ini memang
baru saya terjunkan memimpin tim riset ini 2012 lalu. Intinya: harus ditemukan
bibit tebu jenis “preman Medan”. Jangan sekali-kali menanam tebu biasa. Jenis
tebunya harus yang sekaligus tahan atas semua persoalan yang panjang ini: tahan
angin (batang harus kaku), tahan hujan, tahan hama penggerek batang raksasa,
tahan hama penggerek batang garis-garis, tahan penyakit daun hangus, penyakit
busuk batang, penyakit pembuluh luka api, dan banyak lagi.
Tidak ada penyakit tebu yang lebih banyak
daripada di Medan ini. Mengatasinya pun amat sulit. Ibarat komplikasi penyakit,
obatnya harus saling bertentangan. Ini ibarat sakit gula komplikasi dengan
liver. Yang satu jangan minum gula, yang satu lagi perlu banyak gula.
Tapi, sekali lagi saya masih yakin ilmu
pengetahuan bisa mencarikan jalan keluar. Dr Aris sudah punya kesimpulan.
“Tebunya harus dari jenis tebu liar,” katanya. Yakni perkawinan antara tebu
yang baik dan rumput liar sejenis gelagah. Varietas itu sudah dilahirkan di
laboratorium P3GI dengan kombinasi lebih dari 20 jenis. Semuanya lagi diuji
coba di Kwala Madu.
Mana di antara 20 kombinasi itu yang cocok
ditanam di Medan baru akan diketahui dua bulan lagi. Kini tanaman uji coba itu
baru berumur empat bulan. Kesimpulan baru bisa dibuat setelah tanaman berumur
enam bulan. Semoga berkah Lailatul Qadar bisa sampai ke tanaman tebu.
Jumat-Sabtu-Minggu kemarin saya memang ke
Medan, Pangkalan Susu, Langkat, Jember, Lumajang, dan Surabaya. PLTU Pangkalan
Susu yang sangat besar itu, baik ukurannya (2 x 200 mw), lebih-lebih
persoalannya, alhamdulillah sudah memasuki tahap uji coba. Saat saya berkunjung
ke situ, turbin unit 2 sedang diuji. Beberapa jam kemudian saya mendapat
laporan, turbinnya sudah berhasil diputar maksimal: 3.000 rpm. Ada harapan
besar krisis listrik di Medan berakhir di 100 hari terakhir kabinet Presiden
SBY.
Hari itu, setelah Jumatan di Masjid Tuan Guru
Basilam, ke PG Kwala Madu, dan ke Pesantren Syekh Marbun Medan, saya langsung
ke Surabaya, Jember, dan Lumajang. Di Surabaya tahun ini PT SIER (Persero)
kembali menjadi tuan rumah khataman Alquran oleh 1.500 hufaz (orang-orang yang
hafal Alquran 30 juz).
Di Jember saya ke PG Semboro. Pabrik gula ini
tidak hanya berhasil bangkit, tapi juga bisa menghasilkan kristal terbaik. Lalu
syukuran di Pesantren Bustanil Ilmu Al Gozali yang berambisi menjadi “Pondok
Gontor di Timur”.
Setelah Duhuran di rumah Rais Syuriah NU Jember
KH Muhyiddin Abdusshomad, saya ke Lumajang untuk meninjau PG Jatiroto. Di sinilah
saya harus menjawab pertanyaan sulit para petani tebu: mengapa di saat petani
lagi sangat bergairah, kok gula rafinasi impor membanjiri pasar secara masif”
Saya tertegun menghadapi pertanyaan itu. Lama
saya terdiam. Tidak ada kekuatan di bibir saya untuk membuka mulut. (*)
Dahlan Iskan, Menteri BUMN
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar