D’Lloyd setelah Lama Mati Suri
Senin, 07 Juli 2014
Manufacturing Hope 135
Satu lagi BUMN yang sudah lama mati bisa hidup
lagi: PT Djakarta Lloyd. Minggu lalu sebuah pesta kecil diselenggarakan di
Hotel Pullman Jakarta untuk syukuran.
Selama ini sulit sekali mencari jalan keluar
menghidupkan perusahaan pelayaran yang pernah memiliki kelompok musik
legendaris D’Lloyd itu. Pernah saya ingin menghidupkannya dengan cara
membelikannya kapal agar bisa mulai berusaha lagi. Tapi takut: jangan-jangan
begitu kapal itu dibeli dan diserahkan ke PT Djakarta Lloyd (DL), langsung
hilang. Disita orang.
Itu karena DL memiliki utang lebih dari Rp 1,3
triliun. Mereka itulah yang telah menyita kapal-kapal DL satu per satu.
Terakhir, dua kapalnya yang masih tersisa dan sedang diperbaiki di Singapura
disita orang pula di sana. Habis. Ludes. Perusahaan perkapalan ini tidak punya
kapal sama sekali.
Ketika saya mulai menjadi menteri, direktur DL
tinggal satu: Syahril Japarin. Sebelumnya Syahril sudah memiliki posisi yang
mapan sebagai Dirut perusahaan air minum di Jakarta. Tapi, ketika menteri BUMN
sebelum saya menawarinya untuk menyelamatkan DL, Syahril tertantang.
Syahril sering menemui saya yang waktu itu
masih menjabat Dirut PLN. Dia minta diberi tugas mengangkut batu bara PLN.
Tentu tidak mungkin. Tidak memenuhi syarat.
Pengangkut batu bara PLN harus punya kapal.
Apalagi, saat itu saya lagi menerima tugas sulit dari menteri BUMN untuk
menghidupkan perusahaan perkapalan yang juga sudah lama mati: PT Bahtera
Adiguna (BAg). Di tangan PLN akhirnya BAg bisa hidup dan kini sudah sangat
sehat. Kapalnya juga sudah cukup banyak.
Saya sungguh iba melihat orang seperti Syahril.
Mau menjadi Dirut sebuah perusahaan BUMN yang sedang dalam proses tenggelam.
Perusahaan itu tidak memiliki kapal, tidak memiliki kepercayaan, dan tidak
memiliki penghasilan untuk menggaji karyawan. Setiap hari yang datang ke
kantornya adalah para pendemo: minta pembayaran gaji dan pembayaran utang.
Yang membuat lebih sulit, administrasi di
perusahaan itu sudah porak-poranda. Berkas-berkas hilang atau dihilangkan.
Catatan-catatan utang tidak dilengkapi dokumen yang memadai. Sejak 2007 DL
tidak pernah diaudit. Auditor tidak bisa melakukannya. Tidak ada laporan
keuangan.
Ketika beralih menjabat menteri BUMN, saya
sudah tahu penderitaan Syahril. Dia mempunyai jabatan keren, Dirut BUMN, tapi
tidak pernah menerima gaji. Saya langsung memberikan gaji saya sepenuhnya
kepada Syahril.
Jadilah dia Dirut yang gajinya sebesar gaji
menteri. Jangan kaget, gaji menteri itu hanya 5 persennya gaji Dirut BUMN
besar. Enam bulan lamanya Syahril “bergaji menteri”, sampai akhirnya perusahaan
yang dia pimpin mulai sedikit-sedikit dapat penghasilan.
Ketika Syahril kemudian diangkat sebagai Dirut
Pelni, DL dipimpin satu orang saja: Arham S. Torik. Dia seorang akuntan yang
juga tertantang untuk meneruskan penyelamatan DL. Arham berpikir, tidak mungkin
DL bisa selamat kalau utang Rp 1,3 triliun tidak diselesaikan. Arham ingin DL
segera punya kapal. Tapi mustahil. Utang harus diselesaikan dulu.
Maka, Arham menempuh jalan PKPU (penundaan
kewajiban pembayaran utang). Berhasil. PKPU memutuskan, semua utang DL
dialihkan menjadi saham dengan status yang tidak memiliki hak suara. Diputuskan
pula, DL akan mencicil utang itu selama 18 tahun dengan masa tenggang lima
tahun. Dengan keputusan PKPU seperti itu, buku DL menjadi bersih!
Cara penyelesaian utang yang ditempuh Arham itu
baik. Saya memang berkeras tidak mau negara harus menyelamatkan DL. Misalnya
dengan cara penyertaan modal negara (PMN). Bahkan, kalau memang harus mati,
mati saja. Dengan sikap saya seperti itu, akhirnya pemilik piutang memilih
perusahaan harus tetap hidup dengan cara restrukturisasi utang.
Cara seperti itu pulalah yang telah saya pakai
untuk menyelamatkan PT Istaka Karya tahun lalu. PT Istaka yang juga terbelit
utang di luar kemampuannya akhirnya terancam mati. Saya juga berkeras tidak mau
ada PMN. Kalau mau mati, mati saja. Usaha restrukturisasi pun akhirnya
dilakukan. Ternyata berhasil. PT Istaka kini hidup lagi. Bahkan sudah sangat
sehat.
Maksud saya, untuk PT Merpati Nusantara
Airlines juga dilakukan hal yang sama. Jangan diberi lagi uang dari negara.
Sudah terlalu banyak uang negara tenggelam di situ.
Tanpa restrukturisasi utang, sulit Merpati
diminta hidup lagi. Merpati memiliki utang Rp 7,9 triliun. Bahkan, akumulasi
kerugiannya sudah mencapai Rp 7,2 triliun. Karena itu, melakukan
restrukturisasi utang saja tidak cukup. Harus pula dilakukan kuasi reorganisasi
untuk menghilangkan angka akumulasi kerugian yang begitu besar. Setelah dua
langkah itu dilakukan, barulah bisa dilakukan langkah besar ketiga: kerja sama
operasi dengan perusahaan lain.
Tiga langkah besar itu tidak bisa dilakukan
hanya oleh menteri BUMN. Harus secara bersamaan dilakukan menteri BUMN, menteri
keuangan, menteri perhubungan, dan menteri sekretaris negara. Tentu juga
menteri koordinator bidang perekonomian. Dan prosesnya harus melalui DPR,
khususnya komisi VI.
Karena itu, saya salut pada Komisi VI DPR yang
telah membentuk Panitia Kerja (Panja) Merpati. Inisiatif komisi VI yang begitu
cepat sungguh tidak saya perkirakan sebelumnya. Semoga panja DPR di komisi VI
itu menghasilkan yang terbaik untuk Merpati. Khususnya diberikannya lampu hijau
untuk restrukturisasi utang dan kuasi reorganisasi guna mengatasi besarnya
akumulasi kerugian.
Setelah Merpati ini masih ada satu lagi yang
belum menemukan jalan keluar yang tuntas: PT Kertas Leces. Tapi, waktunya sudah
sangat mepet. PT IKI, PT Garam, PT Perikanan, Perum Perikanan Indonesia,
Istaka, Waskita, dan banyak lagi BUMN sudah berhasil disehatkan.
Tapi, PT Kertas Leces masih memusingkan. Saya
ingin mengubahnya menjadi perusahaan energi, tapi waktu sudah tidak cukup. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar