Rekonsiliasi Pelanggaran HAM
Oleh: Moh Mahfud MD
Salah satu isu yang selalu muncul dalam setiap kontes politik di
negara kita adalah isu pelanggaran HAM di masa lalu. Dalam pekan ini, misalnya,
LSM KontraS melontarkan kritiknya kepada Jokowi karena di dalam Rumah Transisi
yang dibentuknya muncul nama AM Hendropriyono sebagai salah seorang penasihat.
KontraS dan istri almarhum Munir, Suciwati, mengkritik bahwa
pemberian peran kepada Hendropriyono akan memudarkan visi-misi capres/cawapres
Jokowi-JK tentang janjinya menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM di masa
lalu. Sebab Hendropriyono dianggap sebagai salah seorang yang juga terlibat
pelanggaran HAM di masa lalu terkait kasus Talangsari yang menelan korban lebih
dari 240 orang.
Ketika mantan Pangab Wiranto memunculkan dirinya sebagai
capres/cawapres (2004, 2009, 2014) isu pelanggaran HAM juga muncul. Banyak
aktivis HAM yang menyerangnya sebagai tokoh yang tidak layak menjadi capres
atau cawapres karena Wiranto diduga pernah melakukan pelanggaran HAM berat di
zaman Orde Baru Berita bahwa Wiranto dilarang masuk ke Amerika Serikat karena
pelanggaran HAM dibesar-besarkan.
Pelanggaran-pelanggaran HAM yang dikaitkan dengan Wiranto, antara
lain, adalah peristiwa Dili, operasi militer di Aceh, dan peristiwa Mei 1998.
Hal yang sama terjadi pada Prabowo Subianto. Tentangan para aktivis terhadap
munculnya Prabowo sebagai capres adalah karena isu pelanggaran HAM menjelang
lengsernya Presiden Soeharto pada 1998. Tak ada isu korupsi atau isu serius
lain yang dikaitkan dengan Prabowo selain soal tuduhan pelanggaran HAM.
Bahkan dalam putaran pertama debat capres/cawapres awal Juni lalu
Prabowo seperti disindir cawapres Jusuf Kalla (JK) ketika JK menanyakan
“bagaimana sikap Prabowo” terhadap pelanggaran HAM di masa lalu. Meskipun
pertanyaan JK sebenarnya biasa saja, opini publik langsung menyorot pada
pelanggaran HAM oleh Prabowo.
Rasanya, sebagai bangsa, kita tersandera oleh isu pelanggaran HAM
yang selalu dimunculkan dalam setiap kontes politik nasional atau dalam
kompetisi peraihan jabatan-jabatan publik yang penting. Mantan Jaksa Agung
Abdulrahman Saleh menyebut isu pelanggaran HAM sudah jadi ritual politik lima
tahunan tanpa upaya yang sungguh-sungguh untuk menyelesaikannya demi kebaikan
langkah bangsa ke depan.
Rasanya wajar, bahkan mendesak, untuk mengakhiri kelelahan dan
debat kusir yang tak kunjung usai mengenai isu pelanggaran HAM ini melalui
rekonsiliasi nasional. Kita perlu melakukan langkah-langkah serius, antara lain
melalui pembuatan undang-undang rekonsiliasi lagi. Asumsinya, pelanggaran HAM
yang terjadi pada saat-saat itu sebagian besar adalah tanggung jawab negara.
Situasi politik yang dikendalikan oleh negaralah yang pada
saat-saat itu mendorong terjadinya pelanggaran HAM oleh aparat. Bahkan bisa ada
klaim, kalau mereka tak melakukan itu pada saat itu bisa dianggap melalaikan
tugas negara, bahkan mengkhianati negara. Jadi pencarian jawaban tentang sikap
kita terhadap pelanggaran HAM di masa lalu haruslah menelisiknya secara
komprehensif, tak cukup menyorot Hendro, Wiranto, Prabowo secara personal pada
penggalan waktu tertentu.
Isu itu harus dilihat sebagai pengalaman pahit dalam spektrum
sejarah kepolitikan kita yang sudah terjadi dari waktu ke waktu. Pada zaman
Orde Lama, terutama pada penggal pertama tahun 1960-an, misalnya, terjadi
pelanggaran HAM yang serius. Sambil membonceng institusi-institusi negara
Partai Komunis Indonesia (PKI) melakukan tindakan kekerasan dan pembunuhan
terhadap banyak kiai dan aktivis Islam seperti dalam banyak kasus di Jawa
Timur.
Ada juga pembantaian keji terhadap perwira-perwira tinggi TNI.
Pelakunya tentu bukan Bung Karno, tetapi hal itu terjadi saat beliau jadi
presiden. Pada awal Orde Baru (penggal kedua 1960-an), di bawah kepresidenan
Soeharto, terjadi pembantaian keji terhadap ratusan ribu orang yang dianggap
sebagai anggota PKI yang disusul dengan diskriminasi dan isolasi secara kejam
dalam waktu yang panjang terhadap mereka dan keturunannya.
Pada 1984 terjadi peristiwa Tanjung Priok, pada 1989 terjadi
peristiwa Talangsari, pada 1991 terjadi peristiwa Santa Cruz (Dili), dan pada
1997-1999 terjadi pelaksanaan Daerah Operasi Militer (DOM), peristiwa Mei 1998,
dan peristiwa Dili. Di era Habibie ada peristiwa Ambon, di era Gus Dur ada
peristiwa Sampit. Semuanya tergolong peristiwa pelanggaran HAM berat yang
terjadi karena paksaan situasi politik.
Jadi, tidaklah fair kalau pelanggaran HAM hanya dikaitkan dengan
orang-orang tertentu sebab ia terjadi dalam semua rezim pemerintahan yang
pernah ada. Itulah sebabnya, akan lebih bermanfaat dan produktif kalau bangsa
ini segera mengagendakan rekonsiliasi nasional atas pelanggaran HAM masa lalu.
Melalui rekonsiliasi kita bisa saling membuka kisah secara jujur,
mengurai bahwa situasi politik pada saat itu memang mendorong terjadinya hal
itu, kemudian saling memaafkan secara tulus dan akhirnya bersatu lagi secara
rukun untuk membangun bangsa agar maju dan jaya.
Kita harus mengakhiri masalah ini secara terhormat melalui rekonsiliasi
nasional. Indonesia mempunyai semua modal yang diperlukan untuk menjadi maju
dan jaya. Salah satu syarat penting untuk meraih itu adalah kebersatuan dalam
keberbedaan kita dengan berpegang teguh pada ideologi dan konstitusi yang telah
kita sepakati. []
KORAN SINDO, 16 Agustus 2014
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum
Konstitusi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar