Indonesia
Tak Akan Rusuh
Oleh: Eep
Saefulloh Fatah
SEBULAN
terakhir masa kampanye, saya kerap bersua kecemasan bahwa penghitungan suara
Pemilu Presiden 2014 akan berbuah rusuh.
Inilah
respons spontan saya waktu itu: jangan mudah terprovokasi. Bukan orang lain
yang akan menentukan Indonesia rusuh atau damai, melainkan kita.
Jangan
jadikan kecemasan itu sebagai sumber ketakutan yang membuat kita batal datang
ke tempat pemungutan suara atau urung memilih salah satu pasangan kandidat.
Justru buktikan bahwa kita bukan bangsa yang suka rusuh.
Hari
pencoblosan sudah lewat. Jawaban itu tak lagi memadai. Diperlukan jawaban yang
lebih kontekstual dan terperinci. Namun, pokok argumen saya tak berubah:
Indonesia tidak akan rusuh. Untuk itu, izinkan saya menjelaskan pokok argumen
ini, yang bisa dijelaskan lebih lanjut dengan dua ”teori dasar”. Pertama, teori
kepentingan yang menyempit. Kedua, sebagai konsekuensinya, teori kemarahan yang
menyempit.
Kepentingan
menyempit
Bagi
publik luas, yaitu kita para pemilih, hari pencoblosan adalah pemuncak alias
klimaks. Pada hari-H ini, 9 Juli 2014, energi emosi kita mengumpul setelah
menjalani bulan-bulan persiapan dan masa kampanye yang menguras energi dan
melelahkan.
Syukurlah
bahwa dalam konteks demokrasi Indonesia yang berskala besar, kita punya
perlengkapan ilmu statistik canggih bernama ”hitung cepat” (quick qount).
Menjelang petang, hasil hitung cepat itu sudah tersaji.
Sebagaimana
terbukti dalam Pilpres 2004 dan Pilpres 2009, hitung cepat sukses
memproyeksikan dengan baik hasil pemilu, jauh mendahului penghitungan manual
berjenjang oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Maka, berkat hitung cepat, hari-H
pun jadi semakin sakral: kita mencoblos sambil menanti hasilnya nyaris
seketika.
Pada hari
yang sakral itulah terjadi ”ledakan emosi” yang bukan hanya ”menyatukan” kita
dalam identitas pemilih-penentu, melainkan juga ”memecah” kita menjadi beragam
pemangku kepentingan. ”Kita” terpecah menjadi kandidat, tokoh utama partai
pengusung, pendonor utama, tim inti pemenangan di pusat, pendukung kandidat
paling fanatik, pendukung partai paling fanatik, jaringan berjenjang tim
pemenangan di daerah, serta pemilih emosional dan pemilih rasional.
Daftar
para pemangku kepentingan itu adalah sebuah gradasi, dari segmen terkecil
hingga terbesar. Maka, dua kelompok terakhir, yaitu para pemilih emosional dan
rasional, adalah segmen paling besar, meliputi puluhan juta pemilih setiap
kandidat.
Pada hari
pencoblosan, semua pemangku kepentingan, tanpa kecuali, dipersatukan sebagai
warga yang menanti hasil dari proses panjang dan melelahkan yang melibatkan
mereka. Namun, segera sesudah hasil hitung cepat tersaji, kepentingan mereka
memencar.
Kandidat
adalah pihak yang paling berkepentingan dengan hasil Pilpres 2014 dan
keseluruhan proses formal yang berjalan selepas hari-H. Intensi mereka untuk
memperjuangkan kemenangan tak akan surut sampai titik keringat terakhir dari
ikhtiar terakhir yang dimungkinkan oleh sistem demokrasi dan hukum kita. Mereka
adalah pemangku kepentingan paling pokok dan berdaya tahan paling panjang.
Sesudah
mereka, berderet para tokoh utama partai pengusung, para pendonor utama, dan
tim pemenangan di pusat. Ketiganya punya kepentingan sangat langsung berkaitan
dengan pemenangan pilpres karena akan menentukan masa depan mereka. Namun,
intensi mereka untuk memperjuangkan kemenangan tidak akan sekuat dan
sesinambung kandidat.
Sesudah
mereka adalah para pendukung fanatik kandidat dan partai pengusung. Mereka
berkepentingan untuk menang karena punya ikatan emosional kuat dengan kandidat
atau partai. Namun, intensi mereka untuk menjaga kemenangan akan surut sejalan
dengan waktu, apalagi ketika daya tahan kandidat dan partai sudah melemah.
Segmen
paling raksasa adalah para pemilih, baik yang emosional maupun yang rasional.
Pemilih emosional adalah yang melibatkan faktor primordial (ikatan darah, asal
daerah, suku bangsa, atau ras dan agama) dalam pilihan mereka. Sementara
pemilih rasional cenderung meletakkan primordialisme itu di bawah pertimbangan
integritas dan kompetensi figur dan atau rencana kerja kandidat.
Kepentingan
pemilih emosional akan kemenangan kandidat pilihannya akan bertahan lebih lama
dibandingkan dengan pemilih rasional. Namun, pada akhirnya mereka segera
dipersatukan oleh kepentingan yang sama: hidup mereka, keluarga mereka, dan
lingkungan mereka harus lebih baik di bawah kepemimpinan baru kelak: siapa pun
sang pemimpin itu!
Kedua
kelompok pemilih ini sama-sama membutuhkan Indonesia yang damai, baik untuk
memperbaiki hidup maupun untuk memenangi perkelahian melawan segala
keterbatasan mereka.
Para
pemilih sebagai segmen terbesar akan memilih berdamai dengan kenyataan dan
menerima hasil pilpres. Kepentingan mereka akan kemenangan semakin menyempit
dan akhirnya kalah karena terdesak kepentingan lebih besar, yaitu memenangi
masa depan di bawah kepemimpinan baru yang membawa perbaikan kebijakan dan
layanan-layanan publik. Penolakan atas hasil pilpres pun semakin hari semakin
elitis.
Itulah
teori ”kepentingan yang menyempit”. Jumlah massa yang teragitasi oleh ajakan
rusuh semakin hari semakin mengecil dan akhirnya menjadi super minoritas
belaka. Ia akan dikalahkan oleh super mayoritas warga negara yang lebih bijak.
Walhasil, saya percaya, Indonesia tak akan rusuh.
Kemarahan
menyempit
Energi
kekecewaan dan kemarahan publik yang ditabung sepanjang proses pemilu memang
memuncak di hari pencoblosan. Namun, hari-hari sesudahnya adalah cerita tentang
luapan kemarahan yang menyempit.
Kemarahan
kandidat dan para tokoh utama partai pengusung atas kekalahan mereka mungkin
saja berusia panjang. Bagaimanapun, mereka mempertaruhkan nama, harga diri,
pengeluaran besar sumber daya (termasuk dan terutama sumber daya finansial),
masa depan politik mereka, dan bahkan nasib mereka di depan hukum atau
peradilan pemberantasan korupsi.
Namun,
umumnya anasir lain tak punya kemarahan berusia panjang seperti mereka. Pada
hari pencoblosan, kekecewaan dan kemarahan bisa jadi dimiliki banyak pihak.
Namun, semakin lama, jumlah mereka yang kecewa dan marah semakin mengecil.
Pemilik kemarahan semakin sedikit dan pada akhirnya menjadi kelompok yang
kesepian.
Kita,
para pemilih, baik yang emosional maupun rasional, tak punya cadangan kemarahan
berdaya tahan panjang. Umumnya kita tak sudi berlama-lama berkubang dalam
penjara kemarahan atas kekalahan.
Bagi
kita, kekecewaan dan kemarahan adalah reaksi sejenak yang lalu mengantar kita
pada kelapangan, kebijakan, dan kedewasaan. Kita percaya bahwa kemarahan tak
akan mengantarkan kita ke masa depan yang gemilang. Alih-alih marah
berkepanjangan, kita lebih memilih jalan kebaikan dan kemuliaan: siap kalah dan
siap menang sambil menata hidup lebih baik.
Setelah
16 tahun menjalani reformasi, kita tidak lagi diharu biru psikologi politik
marah dan membongkar segala sesuatu. Psikologi politik kita sudah bergerak maju
menjadi bangsa yang sedang ”memasang kembali” segenap hal yang keliru.
Karena
itu, saya percaya, Indonesia tak akan rusuh. Sebab, di atas segalanya, kita
mencintai Indonesia. []
KOMPAS,
22 Juli 2014
Eep Saefulloh Fatah ; Pendiri dan Pimpinan PolMark Indonesia,
Pusat Riset dan Konsultasi Political Marketing
Tidak ada komentar:
Posting Komentar