Kader NU di Kabinet
Sejak menang dalam Pemilu 1955, sebagai
partai politik, NU tidak hanya mendapatkan 45 kursi di Parlemen, tapi juga di
Kabinet. Bahkan, selama gonta-ganti perdana menteri, NU tetap mendapat jatah.
Ketika PM Juanda membentuk Zaken cabinet (cabinet para ahli) misalnya, para
kader NU tetapi mampu mengikuti seleksi sebagai para ahli dalam menangani
pemerintahan. Bahkan tidak hanya menjadi menteri sosial atau menteri agama
sebagai langganannya. Saat itu Mr Burhanuddin dari NU dipercaya memegang
menteri perekonomian. Selain itu, ada juga sejumlah tokoh NU seperti Rahmat
Mulyomiseno yang diangkat sebagai menteri perdagangan,dan Mr. Sunarjo sebagai
menteri dalam negeri.
Memasuki tahun 1960-an, di mana NU menjadi kekuatan penyeimbang antara PNI-PKI, posisi NU di kabinet Bung Karno juga semakin kuat. Hal itu mencerminkan besarnya pengaruh NU sebagai kekuatan politik nasional, mengingat Kabinet pada saat itu dibentuk berdasarkan representasi partai. Hanya saja karena desakan yang kuat dari partai yang ada, maka kekuatan PKI untuk masuk kabinet sedikit bisa diminimalisir.
Tetapi, ketika Presiden digulingkan pada tahun 1966, representasi NU dalam panggung politik nasional yang tercermin dalam penguasaan kabinet juga ikut mengamani kemerosotan. Ketika Orde Baru dengan kekuatan militernya mengambil alih kekuasaan, maka pembentukan kabinet tidak lagi berdasarkan kekuatan politik yang diwakili partai-partai politik. Sejumlah partai politik yang ada mulai dari PKI, PNI secara perlahan disingkirkan. Saat itu, NU masih menjadi parpol yang kuat, namun ia sama sekali tidak diberi peran.
Maka yang berkuasa hanyalah tentara, selebihnya diserahkan pada para ahli yang kemudian disebut dengan teknokrat. Dalam kondisi seperti ini, wajar kekuatan partai yang ada mulai mengeluh, sebagaimana yang terjadi dalam NU.
Sementara, dalam Muktamarnya yang ke 24 di Bandung tahun 1967, para Muktamirin mendesak pada PBNU agar Presiden Soeharto melakukan reshuffle kabinet Ampera bikinan Orde Baru. Sebab dalam kabiet itu dianggap sangat tidak mencerminkan kekuatan politik yang hidup di masyarakat, dan NU khususnya. Sementara mereka menuntut agar representasi NU diwujudkan secara adil dalam kabinet Ampera. Tetapi usulan semacam itu tidak pernah ditanggapi.
Ketika NU berhasil mendesak Orde Baru untuk segera menyelenggarakan pemilu agar presentasi di pemerintahan berdasarkan atas pemilihan secara fair, Pemilu memang terpaksa diselenggarakan tahun 1971 di mana NU keluar sebagai pemenang nomor 2, sebagi pesaing utama Golkar. Sementara partai besar seperti PNI mendapat sangat sedikit suara. Namun kemenangan NU yang spektakuler itu sama sekali tidak dihargai. Penyusunan kabinet tetap tidak memperhatikan kekuatan partai, akhirnya kabinet hanya diisi oleh tentara dan para ahli. Bahkan, kementeriaan agama yang biasanya dipegang oleh NU, selama Orde Baru pos tersebut diberikan kepada tentara dan para teknokrat Orde Baru. Dengan alasan keahlian padahal mereka sama sekali tidak ahli.
Baru setelah reformasi, di mana tercipta sistem politik multipartai, baru NU mendapatkan kursi di kabinet, itupun setelah menunggu lebih dari 30 tahun distigma sebagai tidak terpelajar dan tidak mampu serta didiskriminasi sebagai kaum tradisional yang tidak mengikuti perkembangan. Perkembanagan politik yang spektakuler mengantar kader NU Abdurrahman Wahid menjadi Presiden RI tahun 1999 kemudian disusul kader yang lain seperti Hamzah Haz menjadi wakil presiden. []
(Abdul Mun’im DZ)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar