Kesenyapan Gairah Merdeka
Oleh: Yudi Latif
Peringatan kemerdekaan tahun ini terasa lebih senyap. Renungan
reflektif, kibaran bendera dan umbul-umbul, kerlip lampu hias, aneka lomba, pentas
seni, dan histeria panjat pinang masih tersisa. Namun, ritus tahunan pesta
patriotik kerakyatan ini seperti tertelan luberan gairah perebutan kekuasaan
yang meredupkan api semangat proklamasi.
Kesenyapan ini pantas dirisaukan. Meskipun kelihatannya sekadar
ritus biasa, kandungan maknanya tak bisa disepelekan. Dalam momen ini,
sekat-sekat kelas, etnis, dan agama lebur melahirkan horizontal comradeship dan
nasionalisme kerakyatan. Di sinilah kekuatan khas Indonesia tampak. Peringatan
kemerdekaan dirayakan sejumlah bangsa di dunia, tetapi (biasanya) tingkat
kemeriahan dan keluasan partisipasinya nyaris tak ada yang menandingi
Indonesia. Ini terjadi karena perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak hanya
melibatkan elite lewat gelanggang politik dan diplomasi, tetapi juga
menyertakan tembang, puisi, bambu runcing, dan air mata rakyat semesta.
Konsekuensi tak terduga dari kebijakan penjajahan Jepang yang
memobilisasi dukungan rakyat hingga ke pedesaan dalam rangka Perang Asia Timur
Raya telah memberi kesempatan dalam pembentukan bangsa ini untuk
bertransformasi dari kesadaran kebangsaan elitis menuju kebangsaan kerakyatan
(volksnation). Inilah yang membuat kebanyakan rakyat negeri ini, betapapun
terus-menerus dikhianati dan dikorbankan oleh para pemimpinnya, tetap saja
mencintai bangsanya.
Upacara seperti ini pun sangat penting untuk merajut kembali
bangun retak kebangsaan. Sebuah bangsa terbentuk karena jaringan memori
kolektif yang menimbulkan bayangan imajiner tentang kerabat sebangsa. Dalam hal
ini, ingatan dan pengetahuan ke belakang merupakan jangkar penemuan jati diri
bangsa. Kenyataan dan perilaku kita hari ini sangat ditentukan oleh pengenalan
sejarah masa lampau. Adapun bayangan kesilaman dan pengetahuan kesejarahan
dibawa dan dijaga oleh upacara peringatan (commemorative ceremonies).
”Upacara peringatan,” kata Paul Connerton (1989), ”akan
benar-benar bersifat komemoratif jika berbentuk pergelaran (performative); dan
pergelaran ini tak terbayangkan tanpa konsep kebiasaan (habit); adapun
kebiasaan tak terbayangkan tanpa praktik olah tubuh (tampilan fisik), seperti
cara berbusana, dekorasi, dan cara bertingkah.” Dengan demikian, kemeriahan
pesta rakyat dalam memperingati kemerdekaan, dengan segala pergelarannya itu,
bersifat konstruktif untuk menambatkan kembali bangsa pada jangkar jati
dirinya.
Namun, segala bentuk peringatan akan memperoleh kepenuhan maknanya
jika mengandung dimensi korektif: menyelami (tradisi) masa lalu untuk menemukan
(visi) masa depan. Dalam konteks ini, upacara peringatan merupakan ruang
liminal yang memberi kita kesempatan untuk jeda dari rutinitas demi melahirkan
energi baru.
Istilah liminal sendiri berasal dari kata limen, yang berarti
’ambang batas’ atau ’ruang antara’. Dalam studi-studi antropologi, istilah itu
dimunculkan Arnold van Gennep (1960) untuk merujuk pada ritus-ritus transisi
antara ritus-ritus perpisahan dari dunia lama dan upacara-upacara penasbihan
memasuki dunia baru. Dalam studi-studi setelah masa kolonial, istilah ini
sering kali digunakan untuk merujuk pada ruang transkultural tempat
berlangsungnya proses pergerakan dan peralihan secara terus-menerus di antara
kondisi-kondisi yang berbeda.
Upacara peringatan sebagai titik liminal ini diharapkan menjadi
momen reflektif bagi segenap bangsa; dari mana kita bermula, di mana kita
sekarang, dan hendak ke mana kita menuju, dengan menginsafi kesalahan dan
penyimpangan yang dilakukan untuk kembali ke fitrah kemuliaannya sebagai
bangsa. Selepas peringatan, diharapkan terjadi proses restorasi etos dan etika
kebangsaan dengan komitmen luhur untuk menggelorakan api semangat proklamasi.
”Semangat proklamasi,” ujar Bung Karno, ”adalah semangat rela
berjoang, berjoang mati-matian dengan penuh idealisme. Semangat proklamasi
adalah semangat persatuan, persatuan yang bulat-mutlak dengan tiada
mengecualikan sesuatu golongan dan lapisan. Semangat proklamasi adalah semangat
membangun negara.... Dan manakala sekarang ada tanda-tanda kelunturan dan
degenerasi, kikislah bersih semua kuman kelunturan dan degenerasi itu, hidupkanlah
kembali semangat proklamasi!”
Untuk menghidupkan kembali semangat proklamasi, diperlukan para
pahlawan. Mereka yang terus-menerus memproduksi pahala dengan menyemai kebaikan
bagi kemaslahatan hidup bersama. Mereka yang lebih suka berbicara dengan ”kata
kerja” demi merealisasikan tujuan bernegara (yang juga diungkapkan dalam kata
kerja): melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan ketertiban
dunia.
Kenyataan bahwa peringatan kemerdekaan tahun ini seperti
dihambarkan oleh pergelaran pertarungan kuasa yang tidak tahu kapan berhenti
mengindikasikan adanya ketercerabutan pilihan-pilihan elitis dari realitas
aspirasi dan jati diri bangsa. Politik yang sejatinya merupakan seni mulia
untuk meraih harapan dan memelihara kemaslahatan umum bergeser menjadi seni
meraih kekuasaan dengan memanipulasi rakyat yang dapat mengorbankan
impian-impian bersama.
Peringatan kemerdekaan harus menjadi wahana untuk menguatkan
kembali komitmen kebangsaan. Segala pertengkaran harus menemukan jalan kembali
ke semangat rela berjuang, semangat persatuan, dan semangat membangun negara
demi meraih cita-cita proklamasi: merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan
makmur. []
KOMPAS, 19 Agustus 2014
Yudi Latif ; Pemikir Kebangsaan dan
Kenegaraan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar