Ego Setinggi Langit
Oleh: Mohamad Sobary
Kalah secara terhormat memang tetap kalah, tapi kita tak
kehilangan kehormatan. Ketika seorang cowboy terkemuka, “raja” di prairie
disergap dengan begitu mudah. Ia menjadi tak berdaya di tangan seorang yang
dianggapnya “pelonco” tak berarti di dalam kehidupan wild-wild west di Benua
Amerika.
Dia luka hati, dilecehkan, dan merasa dihina sehina-hinanya oleh
keadaan sehingga dia berpendapat lebih baik mati. Apalagi gunanya kebesaran,
jika dunia yang kejam ini membiarkannya dikalahkan seorang “pelancong” tak
bernama?
Ditilik dari bedilnya yang begitu mengilap, yang mengesankan baru
saja dipamerkan dalam parade senjata, mustahil dia orang penting dalam
percaturan hidup di daerah Barat yang “liar” itu.
Tak diragukan lagi. Dia bukan “jagoan” prairie, padang rumput
Benua Amerika yang menjunjung tinggi kekuatan otot dan kecepatan menarik
pelatuk senjata itu.
“Bunuh sajalah aku, malu rasanya Sens-ear dikalahkan oleh seorang
pelancong,” keluhnya dengan perasaan terhina. Tokoh yang dikiranya seorang
pelancong itu pun kaget bahwa orang yang dikalahkannya ini ternyata orang
dengan nama besar, yang membuat semua orang Indian merasa lebih baik
menghindari orang yang seolah bukan apa-apa ini. Namun, si tua ini Sens-er.
Karena itu, si “pelancong” pun merasa iba. Dia menghibur musuhnya
dengan lemah lembut dan meyakinkan bahwa dia bukan sedang terhina dan dunia tak
sedang bersikap kejam kepadanya.
“Bagaimana tidak terhina kalau seorang Sens-er disergap begitu
mudahnya oleh orang yang bukan penduduk prairie?” jawabnya galak.
“Siapa bilang aku bukan penduduk prairie? Aku ini Old-Shatterhand”
“Apa? Kau mau memperbodoh aku? Mana bisa Old-Shatterhand semuda
ini?”
“Apa kau lupa bahwa sebutan 'old' tak selalu berarti tua dalam
usia?”
Begitu inti dialog dua tokoh besar dunia prairie, yang baru
bertemu secara tak terduga untuk pertama kalinya. Sebagaimana dikisahkan Karl
May dalam seri Winnetow Ketua Suku Apache.
Si tua yang namanya menggetarkan itu tertunduk, tapi bersyukur
yang mengalahkannya bukan sembarang orang. Old-Shatterhand pun tokoh besar,
bahkan sangat besar. Si Tua lalu mengaku kalah dengan rasa damai. Dia tak lagi
merasa malu karena kalah.
Mengakui kekalahan tak begitu mudah, meskipun kita juga sudah tahu
bahwa kita kalah. Ego kita sering setinggi langit, yang membuat kita enggan
merendah di depan orang lain. Lebih-lebih orang itu telah kita nilai lebih
rendah dan jelas lebih tak berarti daripada kita.
Buat orang yang hidupnya ibarat “menyembah” keangkuhan dan segenap
kekerasan, kata mengalah belum tercipta di dalam kamus hidupnya. Bagi
orang-orang yang mengesankan kesalehan yang tak terbantah pun hal itu masih
menjadi masalah besar, tak peduli bahwa kerjanya puasa, mengaji, dan rajin ke
tanah suci.
Kesalehan jenis ini rupanya tak menjadi jaminan. Ketika “ujian”
yang dihadapinya lebih dalam, lebih menukik ke perkara hati, yang tak mudah
diajar untuk menunduk, karena sudah terlanjur ditaruh begitu tinggi, hingga
“menyundul” langit yang tak terbatas itu.
Hati sering lebih suka congkak. Kita diajaknya berjalan tengadah,
sambil meremehkan isi dunia lainnya, selain kita. Hati kita, sekali lagi,
sering setinggi langit. Manusia lain tak tampak. Apalagi semut dan
cacing-cacing di balik sampah.
Dalam banyak hal kita merasa unggul. Dalam banyak hal kita juga
mengira pihak lain tak berarti. Kita bisa menargetkan untuk menang
menghadapinya. Kita bahkan wajib menang dengan segala cara. Menang baginya
banyak sekali caranya.
Dia tidak tahu bahwa kemenangan sejati, yang paling sejati, hanya
satu: menang dengan jujur. Hanya satu cara. Menang demi menang yang lainnya,
batil belaka, tidak sah, tidak bisa diterima, dan tak memberi kehormatan apa
pun.
Hati yang setinggi langit tak sudi melihat fenomena psikologis dan
keluhuran etis macam ini. Bisa saja—dan sangat mungkin—bahwa dia pun
mengetahuinya. Namun, ini bukan suatu kapital dan tak mungkin dijadikannya
kapital dalam hidup. Ini malah dianggap keliru dan mengganggu.
Sifat saleh, luhur budi, dan kemuliaan nilai “rendah hati”,
baginya hanya berlaku di gereja, di masjid, dan di willayah-wilayah rohani dan
keagamaan lainnya; bukan di dalam pertempuran hidup nyata yang keras, yang jauh
dari rohani. Dalam kejamnya hidup sehari-hari, aturan etis dan ajaran utama
macam itu sekali lagi, hanya gangguan.
Di sini, ada kata strategi, ada taktik, yang bisa saja diolah
dengan ramuan keculasan, sikap licik, dan segala macam corak perilaku yang
“menyucikan” kedurjanaan. Karena itu, tak mengherankan bila target harus menang
dan menang dengan segala cara itu akhirnya berhadapan dengan kegetiran realitas
bahwa ternyata dia kalah.
Wah, kalah? Tak mungkin dia mampu menerimanya? Apalagi menerimanya
dengan damai, seperti Sens-er, yang notabene hidup di alam liar. Ajaran tentang
kasih dan menyayangi pihak lain, seperti menyayangi diri sendiri tidak ada dan
tak pernah terdengar
Sekali lagi, kata kalah itu belum tertulis di dalam kamus
hidupnya. Apa yang tak ada, setidaknya tak dikenal, tak usah dipercaya. Buat
apa memercayai barang yang tak pernah atau berlum pernah ada?
“Loh, bukankah itu bagian penting dari ajaran tentang kemuliaan
langit, yang harus diwujudkan di bumi?”
Ego yang tinggi menganggap itu bukan bagian dari strategi. Ego
yang setinggi langit tak mudah diajak menunduk serendah bumi. []
SINAR HARAPAN, 13 Agustus 2014
Mohamad Sobary ; Budayawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar