KH. Abdul Halim Shiddiq Pelopor Ansor dan
Muslimat NU Jember
Tidak banyak yang tahu siapa di balik
pembentukan Gerakan Pemuda Ansor dan Muslimat NU di Jember. Dialah KH Abdul
Halim Shiddiq. Kakak kandung Rais Aam PBNU 1984-1991 KH Ahmad Shiddiq ini
mensponsori kelahiran dua badan otonom NU tersebut.
Semasa hidupnya, Kiai Halim dikenal sebagai ulama yang suka berorgnisasi dan pencetak muballigh. Ketika itu, kekuasaan Belanda masih kuat mencengkeram negeri ini, Kiai Halim mengadakan perlawanan dengan melakukan kaderisasi pemuda dan calon muballigh. Untuk itu, ia mendirikan Persatuan Pemuda Indonesia (PPI) guna mewadahi kumpulan pemuda tersebut. Dan ternyata cukup banyak muballigh yang tercetak dari PPI. Lembaga inilah yang ternyata kemudian menjadi embrio Ansor di Kabaputen Jember.
Tidak hanya itu, Kiai Halim juga menggarap potensi kaum perempuan dengan membentuk “Himayatus Syarafil Muslimat wal Banat”. Artinya, pelindung kemulian wanita Islam. Dalam waktu yang tak terlalu lama, organisasi ini diubah namanya menjadi “Islahul Muslimat” di bawah binaan Ustadzah Solihah dan istrinya, Nyi Hayat Muzayyanah. Belakangan, Islahul Muslimat berganti nama menjadi Muslimat NU.
Sebagai muballigh, Pendiri pesantren ASHRI Talangsari, Jember ini sangat disukai karena sifatnya yang merakyat. Ia menggunakan sepeda onthel untuk menghadiri undangan tabligh meski di pelosok desa. Bahkan saat sudah mempunyai mobil jeep pun, ia masih kerap kali keleling tabligh dengan sepeda onthelnya. Selain melakukan tabligh di “darat”, ia juga menggelar tabligh di udara melalui radio amatir ASHRI. Itu karena ia memandang bahwa dakwah melalui radio jangkauannya lebih luas.
Kiai Halim tergolong berani dan teguh pendirian. Untuk urusan fiqh, ia sangat keras. Contohnya, saat itu ia mendapati orang berjualan dedeh (daging yang terbuat dari darah). Kiai yang lahir pada 20 Mei 1912 ini kemudian menyampaikan hukum keharaman mengonsumsi dedeh saat pengajian di radio ASHRI. Bahkan, ia menuntut Bupati Jember Soejarwo bertanggung jawab. Sang bupati pun merespon dengan cepat, dengan melakukan razia di pasar dan membuat aturan larangan menjual daging haram tersebut.
Sikap yang sama, Kiai Halim tunjukkan dalam soal keberadaan patung di dekat alun-alun, yang juga berseberangan dengan halaman masjid jamik Jember, al-Baitul Amien. Melalui radio ASHRI, ia menyatakan ketidak setujuannya terhadap pendirian patung tersebut. Bahkan ia mengancam tidak akan berkhotbah di masjid jamik jika patung itu masih ada di sana. Bahkan ia bepesan jika meninggal dunia, mayatnya tak rela dilewatkan di depan patung yang juga berdekatan dengan masjid tersebut.
Kiai Halim meninggal dunia di rumah sakit Patrang, pada malam Selasa, 23 Maret 1970. Ribuan orang turut berduka, mengantarkan jenazahnya ke tempat peristirahatannya yang terakhir di pemakaman Turbah Condro, Kaliwates, Jember. Ia meninggalkan dua orang istri; Nyai Muzayyanah dan Nyai Najmu Laili yang asli Belanda. Sekarang putra-putrinya menjadi tokoh dan sebagian mengasuh pesantren. []
(Aryudi A Razaq/Mahbib)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar