Koreksi Subsidi
Oleh: Bambang Soesatyo
Koreksi atas salah kelola distribusi bahan bakar minyak (BBM)
bersubsidi sudah dimulai. Tujuan besar dari koreksi ini tentu saja bukan
sekadar potret Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang sehat.
Koreksi ini harus memulihkan kekuatan negara untuk membangun di
segala bidang dan aspek kehidupan rakyat. Bertindak atas nama pemerintah, Badan
Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) dan PT Pertamina mulai
mengendalikan konsumsi BBM bersubsidi. Sejak 1 Agustus 2014, Pertamina
menghentikan penyaluran solar bersubsidi di 26 stasiun pengisian bahan bakar
untuk umum (SPBU) di wilayah Jakarta Pusat.
Berlanjut pada 4 Agustus, ketika Pertamina minta semua SPBU di
Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Bali hanya menjual solar bersubsidi sejak pukul
08.00 hingga pukul 18.00 di kluster-kluster tertentu. Lalu, 29 unit SPBU di
jalan tol mulai 6 Agustus 2014 diperintahkan tidak lagi menjual premium
bersubsidi. Bisa dipastikan bahwa pengendalian konsumsi BBM bersubsidi ini akan
menimbulkan beberapa ekses yang temporer. Untuk mengantisipasi ekses itu, semua
pemerintah daerah (Pemda) dan Pertamina di setiap wilayah harus koordinatif.
Kalau perlu, diperkuat dengan satuan kerja bersama yang responsif.
Pengendalian solar bersubsidi di Jakarta pusat misalnya, bukan tidak mungkin
akan mengganggu lalu lintas manusia, terutama mereka yang menggunakan angkutan
umum. Apalagi, dampak pengendalian ini akan dirasakan masyarakat yang baru
mulai kembali beraktivitas setelah libur Lebaran. Jangan sampai armada angkutan
umum, utamanya bus, tidak bisa beroperasi karena alasan langkanya solar
bersubsidi. Aspek lain yang juga harus dijaga adalah kelancaran distribusi
barang dengan moda angkutan darat.
Kelancaran arus distribusi barang bisa terganggu jika sosialisasi
pembatasan penjualan solar bersubsidi tidak maksimal dan tidak merata. Mau tak
mau, Pertamina dan semua pemda harus all out menyebarluaskan informasi tentang
pembatasan jam penjualan itu. Pengendalian konsumsi BBM bersubsidi ini bukan
lagi sekadar corporate action Pertamina. Di dalamnya terkandung keberanian dan
kebijakan politik pemerintah mengoreksi kesalahan distribusi BBM bersubsidi
yang telah berlangsung puluhan tahun. Pembiaran atas salah distribusi BBM
bersubsidi itu adalah potret ketidakadilan yang dipraktikkan semua rezim
pemerintahan di negara ini.
Tidak adil karena lebih dari 80% barang bersubsidi itu justru
dinikmati oleh elemen-elemen masyarakat yang sesungguhnya tidak berhak. Selain
menyajikan potret ketidakadilan, salah kelola BBM bersubsidi yang sudah
berlangsung sangat lama jelas-jelas telah memperlemah kemampuan negara untuk
membangun, baik infrastruktur maupun pembangunan manusia. Setiap rezim
pemerintahan di negara ini rela menghambur-hamburkan ratusan triliun rupiah
uang negara melalui kebijakan politik subsidi BBM. Biasanya untuk dua alasan
ini; stabilitas atau popularitas. Dan, sudah berkali-kali instrumen subsidi BBM
dijadikan alat politik pencitraan.
Dilihat dari perkembangan dan aspek besarannya, subsidi BBM
menjadi masalah yang sudah tidak masuk akal. Tahun 2009 volume subsidi BBM
sudah mencapai jumlah Rp100,6 triliun. Tahun ini dipatok pada angka Rp210,7
triliun. Jumlah ini tidak menyisakan apa pun, kecuali asap kendaraan penyebab
polusi. Kalau tidak ada pengendalian, realisasi subsidi BBM per 2014 dipastikan
lebih besar dari pagu APBN.
Bahkan, Bank Dunia memperkirakan realisasi subsidi BBM akan
mencapai Rp267 triliun. Sebab, hingga 31 Juli 2014 realisasi konsumsi solar
bersubsidi sudah mencapai 9,12 juta kiloliter atau 60% dari kuota 15,16 juta
kiloliter. Sedangkan, realisasi konsumsi premium bersubsidi mencapai 17,08 juta
kiloliter atau 58% dari kuota 29,29 juta kiloliter.
Pemerintah Baru
Subsidi BBM masih sangat dibutuhkan untuk beberapa program yang
masuk akal dan produktif. Misalnya, sebagai penopang jasa angkutan umum yang
murah sehingga masyarakat tidak lagi mengandalkan kendaraan pribadi. Atau,
menjadi pendukung revitalisasi kekuatan komunitas nelayan. Namun, demi
keadilan, salah kelola BBM bersubsidi harus dihentikan. BBM bersubsidi harus
dikelola sebagaimana mestinya agar tepat sasaran.
Harus ada semangat bersama untuk terus menekan volume BBM
bersubsidi sampai ke level yang masuk akal. Misalnya, kota-kota besar yang
sudah dipadati kendaraan bermotor pribadi sebaiknya menolak BBM bersubsidi,
kecuali kebutuhan untuk melayani angkutan umum. Kesediaan bersama menekan
volume BBM bersubsidi akan memulihkan kemampuan negara mengakselerasi
pembangunan di segala sektor.
Dari percepatan pembangunan infrastruktur, pengembangan ekonomi
daerah hingga revitalisasi sektor pertanian untuk mewujudkan ketahanan pangan.
Semua target pembangunan itu membutuhkan dukungan pendanaan, teknologi,
penyediaan lahan dan infrastruktur pendukung. Selain itu, keberhasilan menekan
volume BBM bersubsidi juga akan berkontribusi bagi stabilitas nilai tukar
rupiah. Karena itu, keberanian untuk menerapkan pembatasan dan pengendalian
konsumsi BBM bersubsidi hendaknya tidak dibatasi tahun ini saja.
Langkah ini layak berkelanjutan dengan target penyehatan APBN dan
pemulihan kekuatan negara di tahun-tahun mendatang. Apa yang sudah dimulai
tahun ini patut diapresiasi. Target pengendalian itu harus tercapai sasarannya
alias sukses, sehingga negara memiliki keberanian untuk mematok target yang lebih
besar di APBN 2015. Jadi, kalau tahun ini volume BBM bersubsidi dipatok Rp210,7
triliun, harus ada keberanian untuk menurunkan jumlah itu pada 2015, misalnya
menjadi Rp100 triliun dan terus mengecil di tahun-tahun berikutnya.
Karena itu, bagi pemerintah baru yang akan menerima tanggung jawab
pada 20 Oktober 2014, dimulainya koreksi atas salah kelola distribusi BBM
bersubsidi sekarang ini setidaknya menjadi modal dasar atau pijakan untuk
menormalkan postur APBN tahun-tahun mendatang. Dari pemerintah baru diharapkan
muncul kreasi baru yang bisa mempertajam kebijakan pengendalian dan pembatasan
konsumsi BBM bersubsidi, sekaligus menjaga konsistensi kebijakan ini.
Sejak diterapkan awal Agustus 2014 di Jakarta, tidak ada gejolak atau
aksi-aksi yang menentang kebijakan pembatasan dan pengendalian ini. Suasana
seperti itu bisa diterjemahkan sebagai sikap publik yang mau memahami dan
menerima kebijakan itu. Ini pun bisa dilihat sebagai sentimen positif dari
publik dalam menyikapi kebijakan pengendalian dan pembatasan konsumsi BBM
bersubsidi. Persepsi publik seperti itu akan memberi keleluasaan bagi
pemerintah baru untuk mengurangi subsidi BBM.
Idealnya, pemerintah baru berani memperbesar skala kebijakan
pengendalian dan pembatasan ini. Kalau sekarang ini pembatasan penjualan solar
bersubsidi hanya diterapkan Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Bali, bisa saja
dalam beberapa bulan ke depan diperluas menjadi berskala nasional. Target ini
tidak sulit jika presiden bisa mendorong kerja sama antara gubernur-bupati
dengan Pertamina di setiap daerah. []
KORAN SINDO, 08 Agustus 2014
Bambang Soesatyo ; Anggota Komisi
III DPR RI, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Internasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar