Cahaya Lilin dalam Gelap
Oleh: Mohamad Sobary
“Makin berbeda, makin jelas di mana titik-titik
persamaan kita (Gus Dur)”
Gus Dur itu ibarat orang yang menyalakan lilin
dalam kegelapan. Banyak aspek kebudayaan kita gelap. Struktur kehidupan sosial-politik
kita juga gelap.
Pertama, penguasa otoriter, dan mereka yang
masih tetap bertangan besi, kelihatan jelas ingin hidup seenaknya seperti di
zaman kegelapan beberapa abad yang lalu. Kedua, kelompok- kelompok sosial
keagamaan— terutama para pembawa misi perjuangan agama, yang membolehkan sikap
dan tingkah laku serbakeras dan memuja kekerasan— tampak makin terbuka untuk
mendominasi kehidupan, seolah hidup ini milik mereka sendiri.
Di tengah proses di mana hidup makin tertata
secara terbuka dan adil serta manusiawi banyak kekuatan budaya, kekuatan
kemasyarakatan, dan politik, yang merasa bersukacita hidup dalam kegelapan etis
maupun kemanusiaan, seolah fajar baru kemanusiaan di zaman ini bukan hanya tak
memengaruhi mereka, melainkan bahwa dengan sengaja mereka musuhi. Pagi ini ada
sebuah media yang mengenang kembali Gus Dur.
Karikaturnya, yang khas Gus Dur, ditampilkan di
bawah penjelasan ”Mengenang Gus Dur”. Ungkapan bijaknya dikutip kembali: ”Agama
melarang ada perpecahan, bukan perbedaan”. Ada penjelasan tambahan: Gus Dur
dikenal sebagai tokoh bangsa yang memberikan tempat lebih layak bagi kaum
minoritas di Indonesia. Kata ”dikenal” di sini sebuah ”kredit” yang diberikan
kepadanya.
Tapi, kelihatannya, ini ”kredit kecil” atau
hanya berskala ”menengah”, yang jelas tak disengaja, malah ”mendegradasikan”
apa yang dapat kita sebut ”life achievement” Gus Dur. Lain soal bila di sana
disebutkan: Gus Dur merupakan tokoh bangsa yang berdiri di garis paling depan,
sejauh menyangkut pembelaannya untuk memberi tempat lebih layak bagi kaum
minoritas di negeri ini.
Komentar ini bukan hanya sekadar berbicara
mengenai ”tata bahasa” dan cara memberinya apresiasi, melainkan mengenai makna
penghormatan yang— sekali lagi jelas tak dimaksudkan— untuk malah mengurangi
arti perjuangannya di bidang keadilan budaya, hukum, dan politik yang kejam
terhadap kaum minoritas. Kita tahu, selain Gus Dur, dalam perjuangan itu ada
juga Cak Nur, orang saleh, militan, dan tulus berbicara mengenai keadilan,
demokrasi, dan kemanusiaan.
Platform Cak Nur membela ”nilai-nilai” dan tak
pernah bicara membela teman, golongan, atau kelompok-kelompok dalam masyarakat
yang bisa saja salah. Tapi, perjuangan dan pemihakan terhadap nilai-nilai
tidak. Cak Nur sering terlalu lembut, hati-hati, dan bijaksana yang bisa saja
menyembunyikan suatu rasa takut tertentu. Gus Dur keras, berani sekali, sering
sangat tidak hati-hati, dan lebih sering kelihatan nekat.
Tapi, nekat di sini bukan fenomena psikologi
massa yang menggambarkan sikap kehilangan ”kepala”, tidak rasional, dan
”kalap”. Gus Dur sangat berani dan nekat dengan perhitungan; siapa berani
menangkap ”panglima” umat yang jumlahnya maharaksasa di bumi kita ini? Kalau
sudah sampai di sini, apa yang nekat tadi sebetulnya bukan nekat, apa lagi ”kalap”,
melainkan sikap yang didasarkan pada perhitungan politik yang sangat cermat,
sangat rasional.
Dia menikmati suasana psikologi politik menjadi
orang ”pemberani” yang bisa diberi penghormatan ”dies only once”, dan penuh
keagungan, bukan ”pengecut” yang sebutannya ”dies many times”, dan mungkin
penuh keresahan. Dia bilang, seorang pemberani itu bukan orang yang tak pernah
mengenal takut.
Pemberani itu orang yang juga takut, tapi bisa
mengelola ketakutannya sedemikian rupa dengan perhitungan dan strategi sehingga
ketakutannya kalah. Salah satu keberaniannya yang tak mungkin kita lupakan
karena tak ada seorang pun yang mau melakukannya saat itu dalam suasana
mencekam, penuh teror dan ketakutan, pada Jumat pekan pertama setelah terjadi
apa yang kita kenal sebagai peristiwa Tanjung Priok pada 1985.
Tidak ada khatib pada salat Jumat yang saat itu
berani naik mimbar karena dipelototi tentara dan intel yang ganas. Tapi, Gus
Dur tampil. Mungkin atas persetujuan Pak Benny Moerdhani atau ber-dasarkan
sikap lain. Gus Dur pun naik mimbar dan memberi apresiasi pada sikap dan
perjuangan Amir Biki dan anak buahnya.
Tapi, Gus Dur juga mengkritik mereka
sebagaimana tampak dalam buku Jejak Guru Bangsa: Meneladani Kearifan Gus Dur,
yang saya tulis dan diterbitkan Gramedia pada 2010. Di sana Gus Dur mengatakan,
berjuang tidak cukup hanya dengan keberanian, tapi harus juga mengingat perlu
saling menimbang nasihat yang bijak dan di atas segalanya berjuang itu juga
perlu kesabaran. Pada mulanya Gus Dur juga gentar kalau tiba-tiba ditembak di
atas mimbar. Tapi, itu tak terjadi, kita tahu itu. Turun mimbar dengan selamat
membuatnya lega.
Tokoh-tokoh Islam Tanjung Priok lega, tentara
lega, intel juga lega atas langkah berani yang bijak itu. Kita semua tahu Gus
Dur tak pernah ragu sedikit pun, menaruh dirinya di dalam banyak kemungkinan
risiko tak mengenakkan, yang tempo hari, pada 1990-an, dilempari banyak
tuduhan: agen Yahudi, kadang-kadang ”agen Israel”, yang keduanya kurang lebih
sama. Sikap populisnya yang jelas dan berwarna ”pluralis”, yang memberi tempat
lebih layak pada kaum minoritas seperti disebut tadi.
Sejumlah tokoh Islam sendiri ada yang tak
memahami sikap dan perjuangannya, ada yang curiga, ada yang marah, ada juga
yang memprotes karena terlalu baik hati pada kaum minoritas dan sering sangat
keras kepada anak-anaknya sendiri, golongan Islam. Gus Dur mendengarkan semua
itu bukan untuk menurutinya, melainkan untuk mencari celah di mana kelemahan
argumen mereka.
Gus Dur menikmati perdebatan karena dia tahu perdebatan
itu jalan menemukan titik persamaan. Tapi, yang terpenting, perdebatan itu
proses pendewasaan umat. Dia sangat sadar bahwa di dalam perjuangan keumatan di
dalam NU maupun Islam pada umumnya tak banyak tokoh yang terlalu peduli,
apalagi dengan serius, untuk menjadikan diskursus di bidang ini sebagai kapital
mengembangkan diskursus ”Islam dan demokratisasi”. Ini wilayah ” tak terjamah”
seperti lahan ”tidur” yang tak digarap siapa pun. Para tokoh lain berbeda cara
melihatnya.
Gus Dur suka akan perbedaan macam itu. Baginya,
makin berbeda makin jelas di mana titik-titik persamaan kita seperti dikutip di
atas. Dia pun tak takut akan kegelapan sebab dia bisa menyalakan lilin yang
bisa meneranginya. Bagi negeri ini, dia mungkin ibarat ”cahaya lilin dalam
gelap”. []
KORAN SINDO, 12 Agustus 2014
Mohamad Sobary ; Esais, Anggota Pengurus
Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar