Rabu, 30 September 2020

Satrawi: Pesantren Bebas Covid-19

Pesantren Bebas Covid-19

Oleh: Hasibullah Satrawi


ADANYA santri aktif di beberapa pondok pesantren (seperti di Jawa Timur) yang dinyatakan positif Covid-19 harus diperhatikan secara serius oleh para pihak, baik oleh pihak pemerintah maupun pihak pesantren itu sendiri. Bagi pemerintah, klaster pesantren menjadi bukti terbaru betapa upaya-upaya untuk menghentikan penularan Covid-19 masih jauh panggang dari api. Sedangkan bagi pihak pesantren, keberadaan santri aktif yang positif Covid-19 menunjukkan betapa rentan pesantren dari serangan virus ini.


Pada tahap tertentu dapat dikatakan, ancaman penyebaran Covid-19 di kalangan pesantren ibarat penyakit yang bergerak di area “saluran pernafasan”. Setidak-tidaknya karena dua hal berikut ini.


Pertama, pesantren selama ini identik dengan tradisi berjamaah yang meniscayakan adanya perkumpulan, perjumpaan bahkan persentuhan secara fisik. Tradisi berjamaah ini berlangsung hampir di semua lini kehidupan pesantren, mulai dari ibadah (seperti shalat berjamaah), belajar-mengajar (baik di kelas maupun di aula) hingga dalam urusan makan-minum. Bahkan tempat-tempat yang sejatinya privat seperti toilet ataupun kamar mandi masih berpotensi menimbulkan kerumunan akibat keterbatasan fasilitas yang ada (tidak sebanding dengan banyaknya jumlah santri yang bisa mencapai ribuan). Tentu kondisi terakhir ini tidak sama di semua pesantren.


Kedua, tradisi penghormatan dan pemuliaan (at-ta’dzim wal ikrom) yang sampai pada tahap mencium tangan, khususnya kepada para guru dan lebih khusus lagi kepada pak kiai sebagai sosok teladan di lingkungan pesantren. Tradisi penghormatan ini tidak hanya berlangsung dalam hubungan santri dengan guru maupun kiai, melainkan juga dalam hubungan kiai dengan masyarakat sekitar, khususnya keluarga besar para santri.


Padahal, upaya pencegahan penyebaran Covid-19 justru mensyaratkan adanya hal-hal yang bersifat menjaga jarak atau social distancing dan tidak adanya persentuhan secara fisik, khususnya tangan dan area wajah. Di sinilah terlihat jelas apa yang penulis sampaikan di atas; bahwa ancaman Covid-19 bergerak di wilayah “pernafasan pesantren”.


Walaupun sangat berat, sebagian pesantren mengatur ulang tradisi “kejamaahan” yang ada, sesuai dengan protokol kesehatan untuk menekan penyebaran Covid-19. Tapi rasanya tidak mungkin para santri “dijauhkan dan dipisahkan” dari gurunya, khususnya pak kiai. Karena guru dan kiai merupakan mata air pengetahuan sekaligus keteladanan (manba’ul ma’rifah wal uswah), mata air keilmuan sekaligus kebijaksanaan (manba’ul ‘ilmi wal hikmah).


Dalam konteks seperti ini, penyebaran Covid-19 menjadi ujian yang sangat berat bagi semua pihak, tak terkecuali dunia pesantren. Sejauh ini dunia pesantren cukup beragam dalam menyikapi penyebaran Covid-19. Sebagian pesantren memilih sikap ketat sekaligus hati-hati (dengan menerapkan protokol kesehatan). Sedangkan sebagian pesantren mungkin cenderung acuh terhadap ancaman penyebaran Covid-19. Terlebih lagi Covid-19 tak selalu mematikan (bagi sebagian orang).


Hal yang harus diperhatikan adalah pesantren tak hanya berfungsi sebagai tempat mencari ilmu, melainkan juga sebagai kiblat masyarakat sekitar, khususnya dalam hal-hal yang bersifat sosial keagamaan dan sosial kemasyarakatan. Dengan demikian, apabila pesantren bersikap acuh terhadap ancaman seperti penyebaran Covid-19 sesungguhnya hal tersebut tak hanya membahayakan warga pesantren, melainkan juga membahayakan masyarakat sekitar. Mengingat masyarakat sekitar bisa meniru sikap pesantren. Padahal ancaman dari Covid-19 bisa sangat fatal, bahkan tak jarang berakhir dengan kematian.


Bebas Covid-19


Oleh karenanya, dalam konteks ancaman seperti penyebaran Covid-19, menurut hemat penulis, lebih baik salah karena terlalu berhati-hati daripada salah karena terlalu melonggarkan, terlebih lagi mengabaikan. Meminjam kandungan salah satu Hadis Nabi Muhammad Saw yang dijadikan sebagai salah satu prinsip kehati-hatian dalam penerapan hukum kisas, lebih baik salah karena memaafkan daripada salah dalam menjatuhkan hukuman. Dalam hukum kisas, salah karena memaafkan masih bisa diperbaiki mengingat orang yang dihukum masih hidup. Tapi salah dalam memberikan hukuman (mati) tak akan pernah bisa diperbaiki karena yang bersangkutan sudah meninggal.


Semangat ini sangat penting untuk dikembangkan dalam konteks menyikapi ancaman Covid-19. Daripada salah karena mengabaikan (ancaman Covid-19) lebih baik salah karena terlalu hati-hati. Salah karena mengabaikan bisa berakibat fatal terhadap hidup seseorang yang bisa berujung dengan kematian. Tapi salah karena terlalu hati-hati masih bisa diperbaiki. Hal terpenting semuanya selamat dan sehat.


Oleh karenanya, dalam hemat penulis, dunia pesantren sejatinya memilih sikap hati-hati terkait ancaman Covid-19, termasuk bila harus melangsungkan aktivitas belajar-mengajar. Tentu pilihannya sangat berat mengingat keterbatasan fasilitas yang ada, khususnya di wilayah pelosok yang mungkin justru belum terpasang listrik atau keberadaan jaringan komunikasi yang masih sangat terbatas. Namun dibanding kematian, kondisi sesulit apa pun tetap menjadi pilihan yang lebih baik.


Sikap kehati-hatian dari pesantren seperti di atas akan sangat membantu masyarakat luas dalam menghadapi ancaman penyebaran Covid-19, tak hanya dalam konteks Indonesia melainkan juga dalam konteks global. Mengingat Covid-19 sudah menjadi masalah global. Hingga masyarakat lebih bersikap hati-hati daripada mengabaikan ancaman penyebaran Covid-19.


Dengan demikian, peran pesantren tidak hanya terbatas dengan warga pesantren ataupun masyarakat sekitar, melainkan juga mencakup wilayah lebih luas bahkan berskala global; bahwa pesantren bisa memastikan dirinya bebas dari penyebaran Covid-19. Bahkan pesantren juga bisa turut serta dalam mengedukasi masyarakat untuk mewaspadai ancaman penyebaran Covid-19. Hingga pesantren bersama masyarakat masyarakat global sama-sama berjuang untuk menghadapi ancaman penyebaran Covid-19 sekaligus menyelamatkan masyarakat luas dari ancaman virus paling mematikan ini. []

 

KORAN SINDO, 18 September 2020

Hasibullah Satrawi | Alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir; Pengamat politik Timur Tengah dan dunia Islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar