Pesantren Bebas Covid-19
Oleh: Hasibullah Satrawi
ADANYA santri aktif di
beberapa pondok pesantren (seperti di Jawa Timur) yang dinyatakan positif
Covid-19 harus diperhatikan secara serius oleh para pihak, baik oleh pihak
pemerintah maupun pihak pesantren itu sendiri. Bagi pemerintah, klaster
pesantren menjadi bukti terbaru betapa upaya-upaya untuk menghentikan penularan
Covid-19 masih jauh panggang dari api. Sedangkan bagi pihak pesantren,
keberadaan santri aktif yang positif Covid-19 menunjukkan betapa rentan
pesantren dari serangan virus ini.
Pada tahap tertentu dapat dikatakan, ancaman
penyebaran Covid-19 di kalangan pesantren ibarat penyakit yang bergerak di area
“saluran pernafasan”. Setidak-tidaknya karena dua hal berikut ini.
Pertama, pesantren selama ini identik dengan tradisi berjamaah
yang meniscayakan adanya perkumpulan, perjumpaan bahkan persentuhan secara fisik.
Tradisi berjamaah ini berlangsung hampir di semua lini kehidupan pesantren,
mulai dari ibadah (seperti shalat berjamaah), belajar-mengajar (baik di kelas
maupun di aula) hingga dalam urusan makan-minum. Bahkan tempat-tempat yang
sejatinya privat seperti toilet ataupun kamar mandi masih berpotensi
menimbulkan kerumunan akibat keterbatasan fasilitas yang ada (tidak sebanding
dengan banyaknya jumlah santri yang bisa mencapai ribuan). Tentu kondisi
terakhir ini tidak sama di semua pesantren.
Kedua, tradisi penghormatan dan pemuliaan (at-ta’dzim wal ikrom)
yang sampai pada tahap mencium tangan, khususnya kepada para guru dan lebih
khusus lagi kepada pak kiai sebagai sosok teladan di lingkungan pesantren.
Tradisi penghormatan ini tidak hanya berlangsung dalam hubungan santri dengan
guru maupun kiai, melainkan juga dalam hubungan kiai dengan masyarakat sekitar,
khususnya keluarga besar para santri.
Padahal, upaya pencegahan penyebaran Covid-19 justru
mensyaratkan adanya hal-hal yang bersifat menjaga jarak atau social distancing dan
tidak adanya persentuhan secara fisik, khususnya tangan dan area wajah. Di
sinilah terlihat jelas apa yang penulis sampaikan di atas; bahwa ancaman
Covid-19 bergerak di wilayah “pernafasan pesantren”.
Walaupun sangat berat, sebagian pesantren mengatur
ulang tradisi “kejamaahan” yang ada, sesuai dengan protokol kesehatan untuk
menekan penyebaran Covid-19. Tapi rasanya tidak mungkin para santri “dijauhkan
dan dipisahkan” dari gurunya, khususnya pak kiai. Karena guru dan kiai merupakan
mata air pengetahuan sekaligus keteladanan (manba’ul ma’rifah wal uswah), mata
air keilmuan sekaligus kebijaksanaan (manba’ul ‘ilmi wal hikmah).
Dalam konteks seperti ini, penyebaran Covid-19
menjadi ujian yang sangat berat bagi semua pihak, tak terkecuali dunia
pesantren. Sejauh ini dunia pesantren cukup beragam dalam menyikapi penyebaran
Covid-19. Sebagian pesantren memilih sikap ketat sekaligus hati-hati (dengan
menerapkan protokol kesehatan). Sedangkan sebagian pesantren mungkin cenderung
acuh terhadap ancaman penyebaran Covid-19. Terlebih lagi Covid-19 tak selalu
mematikan (bagi sebagian orang).
Hal yang harus diperhatikan adalah pesantren tak
hanya berfungsi sebagai tempat mencari ilmu, melainkan juga sebagai kiblat
masyarakat sekitar, khususnya dalam hal-hal yang bersifat sosial keagamaan dan
sosial kemasyarakatan. Dengan demikian, apabila pesantren bersikap acuh
terhadap ancaman seperti penyebaran Covid-19 sesungguhnya hal tersebut tak
hanya membahayakan warga pesantren, melainkan juga membahayakan masyarakat
sekitar. Mengingat masyarakat sekitar bisa meniru sikap pesantren. Padahal
ancaman dari Covid-19 bisa sangat fatal, bahkan tak jarang berakhir dengan
kematian.
Bebas Covid-19
Oleh karenanya, dalam konteks ancaman seperti
penyebaran Covid-19, menurut hemat penulis, lebih baik salah karena terlalu
berhati-hati daripada salah karena terlalu melonggarkan, terlebih lagi
mengabaikan. Meminjam kandungan salah satu Hadis Nabi Muhammad Saw yang
dijadikan sebagai salah satu prinsip kehati-hatian dalam penerapan hukum kisas,
lebih baik salah karena memaafkan daripada salah dalam menjatuhkan hukuman.
Dalam hukum kisas, salah karena memaafkan masih bisa diperbaiki mengingat orang
yang dihukum masih hidup. Tapi salah dalam memberikan hukuman (mati) tak akan pernah
bisa diperbaiki karena yang bersangkutan sudah meninggal.
Semangat ini sangat penting untuk dikembangkan dalam
konteks menyikapi ancaman Covid-19. Daripada salah karena mengabaikan (ancaman
Covid-19) lebih baik salah karena terlalu hati-hati. Salah karena mengabaikan
bisa berakibat fatal terhadap hidup seseorang yang bisa berujung dengan
kematian. Tapi salah karena terlalu hati-hati masih bisa diperbaiki. Hal
terpenting semuanya selamat dan sehat.
Oleh karenanya, dalam hemat penulis, dunia pesantren
sejatinya memilih sikap hati-hati terkait ancaman Covid-19, termasuk bila harus
melangsungkan aktivitas belajar-mengajar. Tentu pilihannya sangat berat
mengingat keterbatasan fasilitas yang ada, khususnya di wilayah pelosok yang
mungkin justru belum terpasang listrik atau keberadaan jaringan komunikasi yang
masih sangat terbatas. Namun dibanding kematian, kondisi sesulit apa pun tetap
menjadi pilihan yang lebih baik.
Sikap kehati-hatian dari pesantren seperti di atas
akan sangat membantu masyarakat luas dalam menghadapi ancaman penyebaran
Covid-19, tak hanya dalam konteks Indonesia melainkan juga dalam konteks
global. Mengingat Covid-19 sudah menjadi masalah global. Hingga masyarakat
lebih bersikap hati-hati daripada mengabaikan ancaman penyebaran Covid-19.
Dengan demikian, peran pesantren tidak hanya terbatas
dengan warga pesantren ataupun masyarakat sekitar, melainkan juga mencakup
wilayah lebih luas bahkan berskala global; bahwa pesantren bisa memastikan
dirinya bebas dari penyebaran Covid-19. Bahkan pesantren juga bisa turut serta
dalam mengedukasi masyarakat untuk mewaspadai ancaman penyebaran Covid-19.
Hingga pesantren bersama masyarakat masyarakat global sama-sama berjuang untuk
menghadapi ancaman penyebaran Covid-19 sekaligus menyelamatkan masyarakat luas
dari ancaman virus paling mematikan ini. []
KORAN SINDO, 18 September 2020
Hasibullah Satrawi | Alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir; Pengamat politik Timur Tengah dan dunia Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar