Senin, 14 September 2020

Nasaruddin Umar: Al-Ta'lim al-Muta'allim (1) Antara Ilmu dan Makrifah

Al-Ta'lim al-Muta'allim (1)

Antara Ilmu dan Makrifah

Oleh: Nasaruddin Umar

 

Dunia pendidikan kita sedang memasuki babak baru. Kurikulum baru tahun 2013 mulai diterapkan. Kita percaya orang-orang yang terlibat di dalam rekonstruksi kurikulum itu bukan orang sembarangan. Pasti mereka memiliki kompetensi yang istimewa, setidaknya menurut pemerintah.Siapapun boleh apriori dan bahkan skeptis, tetapi tidak bijaksana jika tidak memberikan solusi dan kontribusi, sebab pembenahan kurikulum itu harus dianggap sebagai on-going process¸sesuatu yang tidak pernah selesai.

 

Dalam perspektif Islam, ontologi dan epistimologi keilmuan dapat dibedakan ke dalam dua macam obyek, yaitu ilmu dan makrifah. Pengetahuan yang diperoleh melalui olah nalar disebut dengan ilmu ('ilm) dan pengetahuan yang diperoleh melalui olah batin disebut makrifat (ma'rifah). Secara kebahasaan kata 'ilm berasal dari akar kata alima-ya'lamu berarti mengetahui, seakar kata dengan 'alam berarti tanda, petunjuk, bendera; 'alamah berarti alamat atau suatu tanda yang melalui dirinya dapat diketahui sesuatu yang lain (ma bihi ya'lamu al-syai). Dalam pembahasan terdahulu tentang alam dijelaskan segala sesuatu selain Allah adalah alam. Alam adalah tanda menunjuk kepada (adanya) Allah SWT. Alam juga sekaligus memberikan kesadaran dan pengetahuan tentang Allah SWT. Dari segi kebahasaan dapat ditangkap makna 'ilm dan 'alam memiliki konotsi fisik dan mekanik dengan metodologi yang lebih bersifat rasional.


Makrifah berasal dari kata 'arafa-yu'rif memiliki berbagai makna yang lahir dari padanya, antara lain mengetahui dan mengenal lebih dalam (i'rfah), pengakuan dosa (i'tiraf), wuquf di Arafah ('arrafah al-hujjaj), padang Arafah ('arafat), tempat antara syurga dan neraka (a'raf), bersetubuh ('arafah al-ma'ah), saling mengenal satu sama lain (ta'aruf), warisan tradisi lama yang positif ('urf), terkenal, masyhur (ma'ruf), ilmu pengetahuan luas (ma'arif), dan pengetahuan yang mendalam dan komperhensif ('irfan/ma'rifah). Dari segi kebahasaan dapat difahami makna ma'rifah memiliki konotasi lebih tinggi dan agung, dan metodologinya lebih bersifat keyakinan. Dengan perbedaan tersebut maka dengan sendirinya antara ilmu dan makrifat memiliki ontologi, epistimologi, dan aksiologi yang berbeda satu sama lain. Perbedaan ini bisa difahami melalui perbedaan antara ilmu-ilmy hushuli dan ilmu-ilmu hudhuri, sebagaimana akan diuraikan dalam artikel mendatang.

 

Secara ontologis, ilmu masih lebih banyak berkutat pada wilayah logika manusia. Referensi yang digunakan untuk memahami ilmu juga masih bersifat fisik dan fisual, meskipun dalam tingkatannya yang lebih tinggi, khususnya dalam level filsafat makna, sudah ada yang mulai bertumpang tindih dengan level awal ontologi makrifah. Ontologi makrifah, sebagaimana arti dasarnya lebih mengacu kepada wilayah-wilayah yang dapat dikatakan asing bagi para saintis.

 

Para saintis tidak bisa serta merta menafikan keberadaan ontologi keilmuan makrifah karena secara de facto banyak peristiwa yang diungkap oleh pengetahuan makrifah sulit dibantah oleh para saintis. Sebutlah contoh tentang efek keberadaan Tuhan yang dulu dinafikan oleh para saintis positifisme tetapi di dalam era post-modernisme mulai diberi ruang. Terakhir para saintis dalam era new age tidak bisa menyembunyikan adanya Godspot di dalam diri manusia. Kini para ilmuan modern, sesekuler apapun mereka, tidak dapat lagi terus-menerus menyerang kaum agamawan (baca: agnostic), karena mereka sendiri meragukan dirinya. []

 

DETIK, 19 Juni 2020

Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar