Hukum Menghias Masjid menurut Mazhab Maliki
Menghias masjid (dengan emas) versi Mazhab Hanafi, sebagaimana yang sudah
diuraikan sebelumnya, hukumnya adalah tidak apa-apa selagi bukan pada bagian
mihrabnya atau dinding masjid yang berada di arah kiblat. Inipun masih dengan
catatan tambahan, yaitu, selagi ukirannya tidak bersifat takalluf, artinya
memang disengaja secara bersungguh-sungguh untuk memenuhi bagian tersebut
dengan ukiran yang bisa membuat jamaah menjadi terganggu kekhusyuannya.
Pada tulisan ini, kita akan melihat hal tersebut dari sisi madzhab yang berbeda, yaitu dari sudut pandang Mazhab Maliki. Yang perlu dicatat dalam kajian ini adalah bahwa maksud dari menghias atau mengukir adalah bukan dengan model ukiran biasa, melainkan menggunakan hiasan berbahan emas.
Oleh karena itu, ukiran selain berbahan dasar emas adalah bukan termasuk bagian yang dibahas karena secara prinsip sudah dikecualikan oleh keberadaan dalil. Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari menyebutkan:
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ سَعْدٍ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ صَالِحِ بْنِ كَيْسَانَ قَالَ حَدَّثَنَا نَافِعٌ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ أَخْبَرَهُ أَنَّ الْمَسْجِدَ كَانَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَبْنِيًّا بِاللَّبِنِ وَسَقْفُهُ الْجَرِيدُ وَعُمُدُهُ خَشَبُ النَّخْلِ فَلَمْ يَزِدْ فِيهِ أَبُو بَكْرٍ شَيْئًا وَزَادَ فِيهِ عُمَرُ وَبَنَاهُ عَلَى بُنْيَانِهِ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِاللَّبِنِ وَالْجَرِيدِ وَأَعَادَ عُمُدَهُ خَشَبًا ثُمَّ غَيَّرَهُ عُثْمَانُ فَزَادَ فِيهِ زِيَادَةً كَثِيرَةً وَبَنَى جِدَارَهُ بِالْحِجَارَةِ الْمَنْقُوشَةِ وَالْقَصَّةِ وَجَعَلَ عُمُدَهُ مِنْ حِجَارَةٍ مَنْقُوشَةٍ وَسَقَفَهُ بِالسَّاجِ
Artinya, “Telah menceritakan kepada kami ['Ali bin 'Abdullah] berkata, telah menceritakan kepada kami [Ya'qub bin Ibrahim bin Sa'd] berkata, telah menceritakan kepadaku [Bapakku] dari [Shalih bin Kaisan] berkata, telah menceritakan kepada kami [Nafi'] bahwa ['Abdullah bin 'Umar] mengabarkan kepadanya, bahwa pada masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam Masjid dibangun dengan menggunakan tanah liat yang dikeraskan (bata). Atapnya dari dedaunan sedangkan tiangnya dari batang pohon kurma. Pada masanya Abu Bakar tidak memberi tambahan renovasi apapun, kemudian pada masanya Umar bin Al Khaththab ia memberi tambahan renovasi, Umar merenovasi dengan batu bata dan dahan barang kurma sesuai dengan bentuk yang ada di masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Tiang utama ia ganti dengan kayu. Kemudian pada masa Utsman ia banyak melakukan perubahan dan renovasi, dinding masjid ia bangun dari batu yang diukir dan batu kapur. Kemudian tiang dari batu berukir dan atapnya dari batang kayu pilihan." (HR Imam Bukhari dengan Nomor Hadits 427).
Dalam zahir teks di atas, disebutkan bahwa Sayyidina Utsman ibn Affan juga menghias masjid (bahkan Masjid Nabawi), akan tetapi bahan yang dipergunakan adalah batu kapur, tidak dengan emas atau perak.
Mazhab Maliki menyebutkan bahwa hukum mengukir masjid dengan bahan baku yang terbuat dari emas, hukum asalnya adalah makruh. Al-Faqih Al-Hafiz Abu Umar Yusuf bin Abdillah bin Muhammad bin Abdil Bar, atau yang biasa dikenal sebagai Abdul Barr (w. 463 H) rahimahullah, di dalam kitabnya yang berjudul Ikhtilaf Aqwal Malik wa Ashabihi, juz I halaman 111, secara sharih menjelaskan hal ini sebagai berikut:
كره مالك (٢) تزويق المساجد، وذكر أن ذلك يشغل المصلي عن صلاته. وقال في المدونة: (ق ٤٠ ب) يتصدق بثمن ما تجمر به المساجد و [ما] (٣) تخلق أحب إلي. وقال ابن نافع (٤): أما ما قل من التزويق فلا بأس به.
Artinya, “Imam Malik menyatakan makruh hukumnya mengukir masjid. Lebih lanjut ia mengingatkan bahwa mengukir (menghias masjid) itu hanya membuat kesibukan pada hati mushalli lalai khusyu’ dari shlatnya. Di dalam Kitab Al-Mudawwanah, ia berkata: bershadaqah dengan harga senilai menghasilkan ukiran masjid itu dan menggunakannya di jalan kebaikan adaah lebih aku sukai. Ibnu Nafi’ berkata: Adapun ukiran yang sedikit dipergunakan untuk masjid, maka hukumnya tidak apa-apa.” (Ikhtilaf Aqwal Malik wa Ashabihi, juz I halaman 111).
Berdasarkan keterangan di atas, dapat ditarik sebuah simpulan bahwa seolah Imam Malik lebih menyukai dana yang digunakan untuk menghasilkan ukiran emas itu disedekahkan untuk kepentingan sosial. Seolah, ia menyatakan bahwa menghias masjid dengan ukiran emas adalah sebagai bentuk penghamburan dana. Meskipun ia tidak menyatakan statusnya haram, bahkan disebutkannya andaikan bentuk ukiran itu hanya sedikit, maka tidak ada masalah.
Namun, hal ini tidak meninggalkan anjuran agar penggunaan dananya sebaiknya dipergunakan untuk kepentingan selainnya yang lebih maslahah. Sifat kemakruhan menghias masjid degan emas ini berlaku secara mutlak, yaitu mencakup seluruh bagian masjid, antara lain dinding, atap, kayu, kain pemisah jamaah laki-laki dan perempuan. Bahan ukiran yang dimakruhkan juga bersifat mutlak, yaitu mencakup emas dan perak.
Adapun batasan kemakruhan ini diberikan, yaitu:
1. Selagi dapat membuat peziarahnya menjadi terlalaikan shalatnya akibat mengagumi ukiran tersebut (terganggu kekhusyuannya).
2. Sifat kemakruhan akan menjadi makruh tanzih manakala ukiran itu terdapat pada bagian sisi mihrab atau dinding sebelah barat. Alhasil, mazhab ini menyerupai mazhab hanafi dalam illat kemakruhannya.
3. Jenis ukiran yang dimakruhkan juga tercakup di dalamnya adalah hiasan yang berupa kaligrafi.
4. Bahan tulisan atau ukiran terdiri dari emas dan perak. Di dalam Kitab At-Tafri’ fi Fiqhil Imam Malik bin Anas, Al-Faqih Abul Qasim Al-Bashary (w. 378) menjelaskan:
ومن غصب ساحة فبنى فيها بناء فربها بالخيار بين نقضه وبين دفع قيمته نقضا وتركه في أرضه قائما على أصله، ولا قيمة للغاصب فيما لا منفعة لمثله من تجصيص أو تزويق أو ما لا مرجوع له.
Artinya, “Barang siapa menggunakan tanpa hak suatu ruang kosong, lalu membangun di atasnya sebuah bangunan, kemudian sang pemilik tanah tidak menerimanya kemudian mengajukan opsi padanya, antara membongkarnya atau membayar ongkos sewanya, kemudian orang yang mengghasab tersebut memilih meninggalkan bangunan itu serta membiarkannya berdiri di atas lahan yang telah dighashab, maka tidak ada ganti rugi bagi pengghashab tersebut pada sesuatu yang tidak memiliki manfaat, baik bangunan, ukiran atau sesuatu yang tidak bisa ikut serta dibawanya.” (At-Tafri’ fi Fiqhil Imam Malik bin Anas, juz II, halaman 301).
Di dalam keterangan ini, sebenarnya tidak ada sangkut pautnya dengan masjid. Tetapi ada nilai kesamaan pada bagian pekerjaan dan hasil pekerjaan mengukir (tazwiq). Pekerjaan dan hasil pekerjaan mengukir yang sejatinya ada kemungkinan untuk dipindahtempatkan, ternyata tidak dinilai sebagai barang atau jasa manfaat dalam madzhab Maliki, sehingga tidak mendapat hak ganti rugi atau upah mitsil.
Dengan kata lain, pekerjaan tazwiq atau menghias dengan bahan, meskipun terdiri dari emas, maka hasil tazwiq tersebut adalah bersifat mulgha (bisa diabaikan oleh pemilik tanah) sehingga tidak perlu ganti rugi. Lebih lanjut, mengenai uraian ini, bisa dirujuk dalam kitab yang lebih luas dari kalangan Malikiyah. Wallahu a’lam bis shawab. []
Muhammad Syamsudin al-Baweany, Tim Peneliti Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar