Efektivitas PSBB bagi Pemulihan Ekonomi
Oleh: Bambang Soesatyo
KETIKA setiap pemerintah
daerah (Pemda) juga mulai menyadari urgensi pemulihan ekonomi di tengah pandemi
Covid-19 sekarang, penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang total
menjadi kebijakan yang tidak produktif. PSBB dan protokol kesehatan jelas masih
sangat diperlukan, namun Pemda pun dituntut kreatif dalam merumuskan kebijakan,
sehingga upaya memutus rantai penularan Covid-19 dan kerja pemulihan ekonomi
bisa dilakukan diwaktu yang sama.
Untuk mendorong pemulihan ekonomi, Pemda harus mulai
membangun suasana kondusif, agar semua elemen pelaku bisnis bisa memulai
kegiatan produktif. Data terbuka tentang peningkatan kasus Covid-19 bisa
disimak siapa saja, dan setiap orang pun bisa menafsirkan data-data itu. Tentu
saja sebagian besar masyarakat prihatin dengan peningkatan jumlah kasus
Covid-19 itu. Pemerintah, termasuk Pemda, pun wajar menyuarakan keprihatinan.
Namun, pemerintah tidak patut menunjukan rasa takut atau khawatir secara
berlebihan. Sebab, pemerintah atau Pemda yang takut berlebihan akan menularkan
rasa takut itu kepada masyarakat yang dipimpinnya.
Sebaliknya, pemerintah justru harus dan wajib
membangun optimisme masyarakat di tengah Pandemi Covid-19. Sebagaimana telah
dipahami bersama, pandemi ini telah merusak pondasi perekonomian. Maka, tanpa
harus mengurangi upaya memutus rantai penularan Covid-19, pemerintah pun
dituntut tampil sebagai pemimpin sekaligus motor penggerak yang mengupayakan
dan menginisiasi perbaikan pondasi perekonomian. Demi kepentingan semua elemen
masyarakat, harus ada keberanian dan kemauan untuk menangani dua pekerjaan itu
di waktu yang bersamaan.
Sebab, di tengah Pandemi Covid-19, pemerintah tidak
hanya wajib merawat ratusan ribu pasien yang terinfeksi Covid-19, tetapi juga
wajib merespons dengan bijak ragam kebutuhan bagi lebih dari 200 juta rakyat
Indonesia yang sudah ikut menanggung risiko dari pandemi ini. Semua Pemda harus
juga menunjukan kepedulian pada sektor lain yang nyaris mati suri, dan juga
dinamika kehidupan masyarakat pada umumnya. Tidak sedikit yang kecewa, karena
setelah berbulan-bulan PSBB, jumlah kasus Covid-19 justru terus bertambah.
Karena itu, semua pemerintah daerah hendaknya
merumuskan kebijakan dengan pertimbangan holistik, termasuk kebijakan publik
yang diberlakukan selama pandemi Covid-19. Dengan pertimbangan holistik,
kebijakan yang berorientasi pada sektor kesehatan jangan sampai menimbulkan
atau menjadi penyebab kerusakan parah pada sektor-sektor lainnya. Orientasi
sektoral dari setiap kebijakan hendaknya tidak boleh terlalu ekstrim. Dalam
merumuskan dan memutuskan setiap kebijakan, sangat penting bagi pembuat
kebijakan untuk mempertimbangkan atau mengkalkulasi dampak sebuah kebijakan
sektoral terhadap sektor-sektor lainnya.
Dengan begitu, ketika Pemda berupaya memutus rantai
penularan Covid-19 dengan kebijakan PSBB, kebijakan itu hendaknya tidak
menghadirkan risiko kerusakan bagi sektor lain, utamanya sektor ekonomi. Karena
itu, pertimbangan yang holistik menjadi sangat penting. Di masa pandemi
sekarang, perumus dan pengambil kebijakan harus melihat dan menghayati data
tentang kerusakan pada semua sub-sektor ekonomi, data tentang meningkatnya
jumlah pengangguran, data pekerja harian yang kehilangan sumber pendapatan,
akibat yang akan terjadi pada anak-anak, remaja dan mahasiswa yang hanya bisa
berdiam di rumah, hingga kerugian besar yang harus ditanggung pelaku usaha mikro,
kecil dan menengah (UMKM). Jangan juga hanya melihat dampaknya sekarang, tetapi
perkirakan akibat lainnya dalam jangka menengah dan jangka panjang.
Karena itu, setelah enam bulan menjalani kehidupan
serba suram, harus dimunculkan keberanian untuk melakukan pemulihan, utamanya
pemulihan sektor ekonomi. Tentu dengan penuh kehati-hatian. Untuk meminimalisir
risiko penularan covid-19, penerapan protokol kesehatan mutlak bagi siapa saja.
Agar protokol kesehatan dipatuhi oleh semua orang, harus ada pengawasan dan
pengendalian oleh aparatur Pemda. Pengawasan dan pengendalian diperlukan untuk
memastikan bahwa kebijakan PSBB yang ditempuh oleh Pemda berjalan dengan
efektif.
Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI) mencatat
bahwa pedagang yang positif terpapar Covid-19 berjumlah 1.344 kasus, berasal
dari 239 pasar di 27 provinsi. Jumlah terbanyak di DKI Jakarta dengan 321 kasus
dari 51 pasar. Fakta ini adalah contoh kasus betapa PSBB menjadi tidak efektif
karena tidak adanya pengawasan dan pengendalian oleh aparatur Pemda. Pasar
menjadi tempat pertemuan banyak orang yang berstatus penjual - pembeli. Jelas
bahwa potensi pasar sebagai titik penularan Covid -19 sangat besar jika tidak
diawasi dan dikendalikan.
Kini, ketika banyak Pemda mulai membarui penerapan
PSBB, lemahnya pengawasan dan pengendalian tidak boleh terulang. Pemda tidak
bisa menutup mata tentang adanya kelompok warga yang tidak peduli atau menolak
mematuhi protokol kesehatan. Kelompok-kelompok seperti inilah yang patut
diawasi dan dikendalikan. Apalagi, disiplin penerapan PSBB dan protokol
kesehatan di ruang publik telah didukung oleh TNI-Polri. Dalam konteks ini, ada
catatan khusus yang patut digarisbawahi dan diwaspadai oleh ratusan Pemda,
termasuk Bawaslu daerah maupun KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah), terkait
dengan persiapan Pilkada 2020 yang serentak itu.
Mulai 26 September 2020 nanti, aktivitas persiapan
Pilkada memasuki tahapan kampanye yang berlangsung selama 71 hari, hingga 5
Desember 2020. Aktivitas ini berlangsung di 270 daerah pemilihan, terdiri dari
sembilan provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota di 32 provinsi. Jika tidak ada
pengawasan dan pengendalian oleh aparatur Pemda, potensinya bagi penularan
Covid-19 pasti sangat besar. Pemda harus tegas bahwa pelanggaran protokol
kesehatan sepanjang periode kampanye Pilkada tidak boleh ditolerir.
Selain itu, bahkan Pemda pun seharusnya berani
menetapkan target dari penerapan PSBB yang terus diperbarui durasinya. Misalnya
target menurunkan positivity
rate (perbandingan jumlah orang atau kasus positif dengan jumlah
orang yang dites). Keberanian mematok target akan mendorong Pemda fokus dan
konsisten mengawasi dan mengendalikan penerapan PSBB. Jangan lupa bahwa setelah
enam bulan menerapkan PSBB, termasuk PSBB transisi, jumlah kasus Covid-19 justru
terus bertambah. Karena itu, penerapan PSBB perlu dikaji lagi dengan tujuan
mendapatkan strategi yang efektif. Target penerapan PSBB bisa dibuat
berdasarkan pemetaan wilayah zona hitam, zona merah, zona kuning dan zona
hijau.
Selama enam bulan ini, masyarakat dan semua
pemerintah daerah sudah memiliki pengalaman yang cukup tentang plus-minus
penerapan PSBB, termasuk PSBB total di awal pandemi. Kelemahan paling menonjol
dari penerapan PSBB di awal pandemi adalah maraknya pelanggaran yang ditolerir.
Pelangaran marak karena pemerintah daerah tidak mengawal dengan ketat penerapan
PSBB. Akibatnya, sudah terbukti bahwa penerapan PSBB tidak efektif memutus
rantai penularan Covid-19. Kegagalan itu berdampak pada tertundanya kerja
pemulihan ekonomi.
Memang, belum waktunya PSBB diakhiri, namun
efektivitasnya harus ditingkatkan. Penerapan PSBB yang efektif akan memberi
ruang bagi upaya dan kerja pemulihan ekonomi. Artinya, tidak harus dengan PSBB
total yang hanya memrioritaskan penanganan Covid-19. PSBB total dengan fokus
melindungi kesehatan masyarakat dirasakan terlalu ekstrim karena berkonsekuensi
pada terhentinya kegiatan di sektor-sektor lain, utamanya sektor ekonomi dan
bisnis. Kini, ketika semua elemen masyarakat mulai menyadari urgensi pemulihan
ekonomi, penerapan PSBB total pada daerah atau wilayah yang menjadi pusat
pertumbuhan ekonomi jelas tidak produktif, bahkan kebijakan seperti itu hanya
akan memperparah kerusakan di sektor lain. []
KORAN SINDO, 17 September 2020
Bambang Soesatyo | Ketua MPR RI, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar