Beda Pendapat Ulama soal Tertib dalam Wudhu
Beberapa waktu lalu, jagat dunia maya dihebohkan oleh video berisi seorang calon presiden yang dinilai salah dalam urutan wudhu. Video itu menjadi viral, dan saling caci maki pun semakin liar antara pendukung calon presiden tersebut, dengan pendukung calon presiden yang lain. Untuk mendinginkan situasi dan menjernihkan persoalan, perlu kiranya kita mengetahui pendapat ulama tentang tertib dalam wudhu.
Tertib berarti melaksanakan wudhu sesuai dengan urutan yang dijelaskan oleh Al-Qur’an, Surat Al-Maidah ayat 6:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan usaplah kepalamu serta (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.”
Para ulama berbeda pendapat soal hukum tertib dalam wudhu. Pertama, menurut Imam Abu Hanifah, Imam Daud Adz-Dzahiri, Imam Malik, dan sebagian ulama mazhab Syafi’i, tertib hukumnya sunnah. Artinya, jika seseorang berwudhu tidak sesuai dengan urutan wudhu pada umumnya, maka wudhunya tetap sah.
Mereka berpedoman pada Surat Al-Ma’idah ayat 6 di atas. Pada ayat tersebut, Allah subhanahu wata’ala menyambungkan (meng-athaf-kan) antara satu anggota wudhu dengan anggota wudhu yang lain menggunakan huruf “wawu”. Sementara huruf wawu tidak berfaedah at-tartib (urutan). Karenanya, dengan cara apa pun seseorang berwudhu; tertib atau tidak, wudhunya tetap sah.
Selain itu, mereka berpegangan pada hadits riwayat Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu:
أَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَسَلَ رِجْلَيْهِ ثَلَاثًا ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ
Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membasuh kedua kakinya tiga kali, lalu mengusap kepalanya. (Imam Daruquthni, Sunan Ad-Daruquthni, juz I, halaman 85).
Pada hadits di atas, nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam membasuh kedua kakinya terlebih dahulu, baru kemudian mengusap kepalanya. Ini menunjukkan bahwa tertib bukan merupakan kewajiban ataupun rukun wudhu, melainkan hanya sebatas kesunnahan saja.
Kedua, menurut Imam Syafi’i, Imam Ibnu Hazm Adz-Dzahiri, dan Imam Ahmad bin Hambal, tertib merupakan rukun wudhu. Artinya, seseorang yang berwudhu tidak sesuai dengan urutannya, wudhunya tidak sah.
Mereka juga berpedoman pada Surat Al-Ma’idah ayat 6 di atas. Pada ayat dimaksud, Allah subhanahu wata’ala menyebut anggota wudhu yang diusap (kepala) berada di antara anggota-anggota wudhu yang dibasuh (muka, tangan, dan kaki). Sedangkan dalam tradisi bahasa Arab, hal-hal yang sejenis selalu disebutkan berbarengan. Tradisi ini tidak akan diubah kecuali karena ada maksud tertentu, yaitu melaksanakan wudhu sesuai dengan urutan tersebut.
Di samping itu, mereka juga berpegangan pada kebiasaan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, para sahabat, dan para tabi’in, bahwa mereka selalu berwudhu sesuai dengan urutan wudhu pada umumnya. Ini merupakan penjelasan akan kewajiban tertib dalam wudhu. (Imam Nawawi, Al-Majmu’, juz I, halaman 484).
Dari kedua pendapat tersebut, tampaknya pendapat kedua yang menyatakan kewajiban tertib merupakan pendapat yang kuat. Sebab, setiap orang yang menceritakan sifat wudhu Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam, selalu menyebutkan bahwa wudhunya tertib, tidak sekalipun Rasul berwudhu secara tidak tertib. Sehingga disimpulkan bahwa wudhu secara tertib inilah wudhu yang diajarkan Rasul kepada umatnya.
Adapun hadits riwayat Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu di atas, yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membasuh kedua kakinya terlebih dahulu, baru kemudian mengusap kepalanya, hadits ini bertentangan dengan hadits yang lebih kuat, yaitu hadits riwayat Imam Daruquthni dari jalur Imam Ahmad, yang menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengusap kepala terlebih dahulu, baru membasuh kedua kakinya. Dengan demikian, hadits Utsman tidak layak dijadikan sebagai dalil.
Kemudian, permasalahan lain yang muncul adalah hukum mendahulukan anggota tubuh yang kanan atas anggota tubuh yang kiri. Menurut ulama Dzahiriyyah, hukumnya wajib. Sedangkan menurut ulama mazhab empat, hukumnya sunnah. Artinya, seseorang yang membasuh anggota tubuh sebelah kiri dahulu, baru anggota tubuh sebelah kanan, menurut mazhab Dzahiri, wudhunya tidak sah. Sedangkan menurut mazhab empat, wudhunya tetap sah, tetapi kurang afdhal, karena tidak mengikuti kebiasaan Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا، قَالَتْ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ، فِي تَنَعُّلِهِ، وَتَرَجُّلِهِ، وَطُهُورِهِ، وَفِي شَأْنِهِ كُلِّهِ.
“Dari Aisyah radhiyallahu anha, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam suka mendahulukan bagian yang kanan ketika mengenakan sandal, menyisir rambut, bersuci dan dalam segala urusannya.” (Lihat: Hasyim Jamil, Masa’il Minal Fiqhil Muqaran, Damaskus: Darus Salam, 2007, halaman 123-128). []
Ustadz Husnul Haq, Dosen IAIN Tulungagung dan Wakil Ketua Forum Kandidat Doktor NU Malaysia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar