Selasa, 22 September 2020

Azyumardi: Otsus Papua Jilid II?

Otsus Papua Jilid II?

Oleh: Azyumardi Azra

 

Kelanjutan otonomi khusus Papua (berlaku sejak 2001) dan Papua Barat (sejak 2008) belakangan menjadi kontroversi panas, terutama di kalangan pemimpin formal dan informal kedua provinsi itu. Tensi politik terkait otsus seolah membelah warga kedua provinsi: antara mereka yang pro-otsus berlanjut dan yang anti-otsus.

 

Meningginya suhu politik masih banyak terkait dengan dampak insiden bendera Merah Putih di asrama mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur, (17/8/2019). Dianggap melecehkan simbol negara, beberapa kalangan yang terlalu bersemangat di Surabaya mengepung asrama mahasiswa Papua itu. Aksi ini memicu gelombang kemarahan di beberapa tempat di Papua dan Papua Barat.

 

Memang tak terjadi insiden terkait warga Papua dan Papua Barat sepanjang peringatan 75 tahun kemerdekaan RI, 17 Agustus 2020. Dengan pengamanan ketat, upacara peringatan Hari Kemerdekaan berlangsung aman. Akan tetapi, psike kemarahan masih mengendap di hati warga Papua dan Papua Barat.

 

Persepsi Papua dan Papua Barat damai-damai saja boleh jadi menyebabkan pemerintah pusat di Jakarta merasa tak perlu banyak membahas masalah semacam otsus Papua. Mereka seolah tak melihat urgensi membicarakan masalah ini secara terbuka dan komprehensif.

 

Boleh jadi pula relatif sepinya pembicaraan tentang otsus Papua di tingkat nasional karena Presiden Joko Widodo dan menteri terkait menghabiskan banyak pikiran, waktu, dan tenaga untuk mengatasi pandemi Covid-19. Atau lebih berfokus pada upaya penyelamatan dan pemulihan ekonomi Indonesia.

Namun, di Papua dan Papua Barat, soal otsus menjadi ”bola panas” yang terus membesar. Penyebaran pandemi yang juga cukup tinggi di dua provinsi itu tidak menghilangkan isu otsus.

 

Keadaan ini tidak bisa dibiarkan berlanjut. Diperlukan perhatian serius dan penanganan sungguh-sungguh. Setidaknya ada dua masalah pokok yang jadi perdebatan. Pertama, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua. Di UU ini disebutkan, otsus berlaku 20 tahun, sampai November 2021.

 

Ada kalangan berpendapat, UU No 21/2001 dapat berlanjut. Selama tidak ada UU baru menggantikannya, ia tetap memiliki kekuatan hukum untuk menjamin kekhususan Provinsi Papua dan Papua Barat. Jadi, tidak harus ada UU baru untuk kelanjutan pelaksanaan otsus.

 

Di pihak lain, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD sesuai rapat terbatas di Kantor Presiden (11/3/2020) menyatakan perlunya UU baru. Mahfud menjelaskan, masa berlaku UU No 21/2001 tentang Otsus Papua akan habis November 2021.

 

Masalah pokok kedua, keberlanjutan dana otsus. Sejak penerapan otsus, dana yang disalurkan dari APBN 2002-2020 sebanyak Rp 95,24 triliun—sumber lain menyebut Rp 126,99 triliun. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan, dana otsus berakhir Desember 2021.

 

Terkait dana otsus, ada kalangan di Papua dan Papua Barat yang menyatakan tak perlu dilanjutkan. Menurut mereka, dana otsus gagal meningkatkan kesejahteraan warga. Bagi mereka, otsus jilid II tak akan bisa menyelesaikan pokok dan cabang masalah Papua dan Papua Barat.

 

Dalam beberapa webinar yang penulis ikuti dengan sejumlah pembicara dari Papua dan Papua Barat, suara kritis dan penolakan keberlanjutan otsus cenderung meningkat. Eskalasinya sampai pada tuntutan penghentian otsus dan pelaksanaan referendum kemauan warga.

 

Eskalasi datang tidak hanya dari aktivis LSM HAM dan demokrasi serta LSM pemberdayaan sosial-budaya lokal dan nasional. Pengerasan sikap juga datang dari hampir semua sektor kumpulan warga: masyarakat sipil, komunitas adat, kelompok lintas agama, dan akademisi.

 

Tampaknya pemerintah bukan tak tahu dinamika politik tak kondusif itu. Pemerintah pusat melalui Menko Polhukam menyatakan akan melanjutkan alokasi dana otsus Papua dan Papua Barat. Menurut dia, penyaluran dana otsus diperpanjang dengan sejumlah perbaikan, menggunakan sistem dana alokasi khusus afirmasi bersumber dari APBN.

 

Menko Polhukam memerinci, pengelolaan dana otsus harus terpadu dan terpandu. ”Tidak bisa diserahkan seperti dulu, jalan sendiri. Sekarang terpadu dan terpandu oleh pusat sehingga baik pusat maupun daerah sama-sama bertanggung jawab atas pengelolaan. Pusat jangan hanya menggelontorkan. Yang daerah jangan sekadar belanja.”

 

Pernyataan Menko Polhukam memperlihatkan sedikit banyak cara pandang pemerintah tentang otsus Papua dan Papua Barat selama ini, khususnya dalam pengelolaan dana otsus. Meski banyak kalangan di Papua, Papua Barat, dan juga Jakarta bersikap kritis, pemerintah tampak memiliki kemauan politik melanjutkan otsus Papua menjadi otsus Papua dan Papua Barat jilid II.

 

Namun, apakah otsus dilanjutkan atau tidak, apakah ada dana otsus jilid II atau tidak, sepatutnya pemerintah tak mengambil keputusan sepihak. Tidak memadai jika hanya mendengar dukungan pejabat pemerintah formal dan pemimpin informal di dua provinsi itu.

 

Pemerintah sepatutnya mendengar semua pemangku kepentingan di Papua dan Papua Barat, juga mereka di luar kedua provinsi ini yang mempunyai kepedulian terhadap penyelesaian masalah secara damai. Pemerintah perlu berdialog intensif dengan berbagai pihak.

 

Agar dialog produktif, baik pemerintah pusat maupun daerah terkait perlu mengevaluasi menyeluruh perkembangan kedua provinsi ini dari berbagai segi. Penilaian itu mencakup keadaan sebelum dan sesudah pemberlakuan otsus.

 

Tampak tidak banyak efikasi otsus yang sudah berlangsung hampir 20 tahun dalam menyelesaikan berbagai masalah politik, ekonomi, dan sosial-budaya di Papua dan Papua Barat. Akselerasi pembangunan infrastruktur oleh pemerintahan Presiden Jokowi juga tak mampu menenteramkan kegelisahan warga.

 

Menjelang berakhirnya otsus Papua, inilah saat bagi pemerintah pusat, pemerintah daerah, serta warga Papua dan Papua Barat membicarakan masa depan lebih baik. Ini dapat menjadi momentum membangun arah dan jalan untuk penciptaan kedamaian dan harmoni. []

 

KOMPAS, 10 September 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar