Selasa, 29 September 2020

Zuhairi: Mengapa Negara-Negara Arab Mengkhianati Palestina

Mengapa Negara-Negara Arab Mengkhianati Palestina

Oleh: Zuhairi Misrawi

 

Tadi pagi saya diundang oleh Metro TV untuk menganalisis perihal fenomena negara-negara Arab Teluk berdamai dengan Israel. Publik di dunia Arab dan dunia Islam, termasuk di negeri ini banyak yang bertanya-tanya: apa yang sebenarnya terjadi di balik perubahan besar dalam politik luar negeri negara-negara Arab? Kenapa mereka begitu mudah bertekuk lutut pada Israel dan Amerika Serikat? Apakah mereka tidak memikirkan sama sekali masa depan Palestina?

 

Yang teranyar, Bahrain menandatangani kesepakatan damai dengan Israel di Gedung Putih yang disaksikan langsung oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Maknanya, makin banyak negara Arab Teluk yang berbondong-bondong membuka kerja sama diplomatik dengan Israel. Bahkan, Trump sesumbar lima negara Arab bakal menyusul UAE dan Bahrain akan melakukan hubungan diplomatik dengan Israel dalam waktu dekat.

 

Secara khusus, Trump menyampaikan telah melakukan komunikasi intensif dengan Raja Salman bin Abdul Aziz. Banyak hal yang dibicarakan di antara kedua negara tersebut. Trump memberikan sinyalemen akan terjadi sesuatu yang luar biasa di masa mendatang, terutama kemungkinan Arab Saudi bergabung dalam "rombongan besar" negara-negara Arab yang telah membuka hubungan diplomatik dengan Israel.

 

Dunia sedang menunggu sikap yang diambil oleh Arab Saudi perihal godaan maut yang sudah dan sedang dilancarkan Trump untuk secepat mungkin berdamai dengan Israel dan membuka hubungan diplomatik secara terbuka. Sikap Arab Saudi akan menandakan zaman baru perihal peta geopolitik di Timur-Tengah. Akan terbentuk dua poros: poros yang akan bersama dan poros yang akan berseberangan dengan AS dan Israel.

 

Kedua poros tersebut akan semakin telanjang bulat dapat dilihat oleh publik di dunia Arab dan dunia Islam. Selama ini, negara-negara Arab Teluk plus Mesir yang tergabung dalam Liga Arab mencintrakan diri mereka sebagai negara-negara terdepan dalam membela Palestina.

 

Dalam sidang darurat Liga Arab yang membahas tentang proposal "Kesepakatan Abad Ini" di Mesir, para Menteri Luar Negeri negara-negara Arab Teluk masih menunjukkan keberpihakannya terhadap Palestina setelah mendengarkan kemarahan Mahmoud Abbas. Padahal "Kesepakatan Abad Ini" sebelumnya sudah disetujui oleh Arab Saudi dan Uni Emerates Arab.

 

Skenario AS dan Israel bubar di tengah jalan karena mendapatkan penentangan dari negara-negara Arab Teluk plus Mesir yang tergabung dalam Liga Arab. AS dan Israel segera mencari jalan lain untuk memuluskan rencana "Kesepakatan Abad Ini" tersebut. Kedua negara itu memaksa negara-negara Arab Teluk untuk menciptakan suasana kondusif sebelum pesta "Kesepakatan Abad Ini" digelar dengan karpet merah.

 

Trump dan Netanyahu mengambil langkah mendesak sejumlah mitra strategisnya untuk membuka hubungan diplomatik. Dan sejauh ini langkah tersebut berlangsung secara mulus tanpa aral melintang. UAE dan Bahrain mengambil langkah berani terlebih dahulu sebagai "umpan" bagi negara-negara lainnya untuk bergabung dalam rombongan besar AS dan Israel.

 

Ada kepentingan yang saling menyempurnakan (mutual interest) di balik kesepakatan damai antara Israel dan negara-negara Arab Teluk yang dimediasi langsung oleh AS. Pertama, Trump terlibat langsung dalam skenario hubungan diplomatik karena ia ingin dianggap sebagai "desainer" dalam proses kelahiran sejarah dukungan negara-negara Arab terhadap Israel. Maklum, sejak tahun 1979 hanya ada dua negara yang membuka hubungan diplomatik dengan Israel, yaitu Mesir dan Jordania.

 

Trump ingin membuktikan kepada para pendukungannya, terutama kaum konservatif bahwa ia telah memancangkan tonggak sejarah baru bagi pengakuan negara-negara Arab terhadap Israel. Trump yang mengalami krisis donasi atas biaya kampanye menjelang Pilpres akhir November mulai meraih kepercayaan kembali dari para lobi Israel di AS.

 

Tidak hanya itu, Trump ingin meraih kembali dukungan dan kepercayaan dari kubu liberal dan warga Arab Muslim yang sangat kecewa terhadap kebijakan luar negeri, terkait dengan Palestina dan Dunia Islam. Selama empat tahun memimpin AS, Trump telah menunjukkan sebuah sikap yang memihak terhadap Israel dan kerap melukai beberapa negara Arab akibat kebijakan imigrasi yang sangat diskriminatif.

 

Kedua, negara-negara Arab Teluk yang mengambil langkah berani membuka hubungan diplomatik dengan Israel atas desakan Trump juga mempunyai kepentingan bagi stabilitas kekuasaan mereka. Mereka membutuhkan AS dan Israel untuk mengamankan dari berbagai gempuran media sosial dan ancaman dari negara-negara lain di kawasan. Turki, Qatar, dan Iran menjadi kekuatan besar yang tidak bisa diabaikan. Mereka mempunyai media, militer, intelijen, dan teknologi informasi yang canggih.

 

Jika mereka tidak hati-hati dan waspada, maka mereka juga akan disapu oleh angin revolusi, sebagaimana menimpa rezim otoriter di Tunisia, Mesir, Yaman, dan Libya. Sikap negara-negara Teluk terlihat sangat pragmatis dalam menerima proposal yang diajukan oleh AS dan Israel. Mereka sedang memikirkan masa depan rezim monarki di Arab Teluk. AS dan Israel diyakini dapat memperpanjang napas mereka.

 

Perubahan-perubahan besar yang terjadi, terkait dengan digitalisasi politik dan semakin kuatnya Turki, Qatar, dan Iran akan sangat mengganggu stabilitas politik di negara-negara Arab Teluk.

 

Ketiga, Israel juga mempunyai kepentingan yang tidak kalah daruratnya dari AS dan negara-negara Arab Teluk. Israel dalam beberapa dekade hidup di tengah ancaman dan tekanan negara-negara Arab. Israel dapat memicu dan memacu persatuan dan perlawanan dunia Arab, bahkan dunia Islam. Sebab itu, Netanyahu menyetujui proposal yang diprakarsai Trump. Apalagi dirinya sedang menghadapi krisis kepercayaan di dalam negeri akibat skandal korupsi yang dilakukan dirinya dan keluarganya.

 

Dukungan negara-negara Arab akan menjadi vaksin dan amunisi yang ampuh untuk mengembalikan kepercayaan publik untuk mempertahankan dan mengamankan posisinya dari tekanan publik dan proses hukum yang sedang berlangsung.

 

Beberapa uraian di atas dapat menjelaskan latar-latar historis dan politis kenapa negara-negara Arab mengkhianati Palestina. Yang ditunggu-tunggu adalah sikap Arab Saudi, akankah jadi ikut bergabung dalam rombongan besar yang diinisiasi AS dan Israel tersebut? Sikap Arab Saudi akan sangat menentukan bagi peta geopolitik di Timur-Tengah. Secara gamblang akan terlihat secara kasat mata antara mereka yang berada dalam rombongan Israel dan mereka yang berada dalam rombongan Palestina.

 

Dalam konteks tersebut, publik akan bisa melihat siapa yang sebenarnya bersama-sama dengan perjuangan Palestina dalam mewujudkan kemerdekaan dan mereka yang berada dalam barisan Israel dalam memapankan penjajahan terhadap Palestina. Saat UAE-Bahrain menandatangani kesepakatan damai dengan Israel, saat itu pula kita melihat rudal-rudal Israel menghujani Jalur Gaza dan aneksasi Israel di Tepi Barat tetap berlangsung.

 

Dan, kita pun terus menyoal, kenapa negara-negara Arab tega sekali mengkhianati Palestina. []

 

DETIK, 17 September 2020

Zuhairi Misrawi | Cendekiawan Nahdlatul Ulama, analis pemikiran dan politik Timur-Tengah di The Middle East Institute, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar