Penjelasan Imam Al-Ghazali tentang Tasawuf dan Sufi
Mungkin sekali waktu kita sedikit mengalami kesulitan untuk menjelaskan tasawuf dan sufi kepada orang lain dengan kalimat singkat dan sederhana. Mungkin juga kita menjelaskan tasawuf dan sufi dengan penjelasan panjang yang tidak definitif.
Mungkin juga kita menjelaskan tasawuf dan sufi dengan pengertian rumit yang
justru menjauhkan tasawuf dari pengertian aslinya. Pasalnya, tasawuf memiliki
pokok utama yang tidak bisa dilepaskan. Sementara banyak penjelasan lainnya
hanya merupakan cabang, ekspresi, dan bentuk penerjemahan dari pokok-pokok
tasawuf.
Imam Al-Ghazali memberikan penjelasan pendek yang menjadi pokok-pokok dalam
tasawuf. Penjelasan pendek ini cukup memadai. Ia menyebutkan hablum minallah
dan hablum minan nas sebagai ajaran pokok dalam tasawuf.
Dua pilar utama tasawuf ini disebutkan oleh Imam Al-Ghazali dalam kitab Ayyuhal
Walad untuk mengenalkan dunia tasawuf dan sufi kepada anak-anak. Dua ajaran
pokok dalam tasawuf ini disampaikan dengan bahasa singkat dan sederhana agar
mudah dimengerti kalangan anak-anak.
Meski demikian, bobot penjelasan singkat ini cukup bermanfaat juga bagi orang dewasa. Pasalnya penjelasan singkat dan sederhana ini tidak mengurangi substansi tasawuf. Penjelasan sederhana itu berbunyi sebagai berikut:
ثم
اعلم أن التصوف له خصلتان الاستقامة مع الله تعالى والسكون عن الخلق٬ فمن استقام
مع الله عز وجل وأحسن خلقه بالناس وعاملهم بالحلم فهو صوفي
Artinya, “Ketahuilah tasawuf memiliki dua pilar, yaitu istiqamah bersama Allah
dan harmonis dengan makhluk-Nya. Dengan demikian siapa saja yang istiqamah
bersama Allah SWT, berakhlak baik terhadap orang lain, dan bergaul dengan
mereka dengan santun, maka ia adalah seorang sufi,” (Imam Al-Ghazali, Ayyuhal
Walad, [Singapura-Jeddah-Indonesia, Al-Haramain: 2005], halaman 15).
Bagi Imam Al-Ghazali, upaya menemukan inti dari tasawuf tidak sulit baginya.
Pasalnya, ia memahami benar apa yang dia bicarakan berpanjang-panjang selama
ini dalam karyanya terutama Ihya Ulumiddin.
Istiqamah bersama Allah baik secara lahir dan batin menuntut kebulatan hati dan
kesatuan perbuatan yang sesuai garis agama Islam. Sedangkan interaksi secara
baik dengan empati terhadap makhluk-Nya merupakan sisi lain tasawuf yang sulit
dipisahkan dari yang pertama, yaitu istiqamah.
Tasawuf bukan semata persoalan lahiriah yaitu soal jubah, serban, biji tasbih,
rida hijau yang diselempangkan di bahu, berjenggot, bertongkat, menunjukkan
lafal tauhid, memotong celana hingga di atas mata kaki, mengubah ejaan menjadi
lebih islami dalam media sosial, atau soal kekuatan ghaib akrobatik dengan
pelbagai kecenderungan khariqul adat.
Tasawuf, bagi Imam Al-Ghazali, juga bukan fenomena hijrah lalu dipahami secara sempit sebagai tindakan meninggalkan aktivitas yang dianggap tidak islami atau uzlah menjauhi manusia dan pelbagai aktivitas yang dipersangkakan haram.
Adapun sufi dalam bahasa sederhana Imam Al-Ghazali adalah orang yang menjaga
perilakunya untuk senantiasa taat kepada Allah lahir dan batin, serta
bermasyarakat dengan kepedulian terhadap sesama dan alam sekitar.
Dengan pengertian sederhana ini, setiap orang dapat menjadi atau menyandang
status sufi tanpa harus mengubah penampilan dan meninggalkan aktivitas
keseharian yang telah dijalani selama ini selagi tidak melanggar syariat.
Pelajar, mahasiswa, santri, guru, dosen, pekerja pabrik, karyawan bank, buruh,
pekerja swasta, ASN, desainer, fotografer, pemusik, dapat menjadi sufi tanpa
harus mengubah tampilan lahiriah dan meninggalkan aktivitas kesehariannya.
Dalam bahasa singkat, setiap dari kita dapat menjadi sufi dengan dua pilar tasawuf
tersebut tanpa harus ikut-ikutan dalam ‘fenomena hijrah.’ Wallahu a‘lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar