Jumat, 18 September 2020

(Ngaji of the Day) Tafsir Isti‘adzah atau Ta‘awudz

Tafsir Isti‘adzah atau Ta‘awudz

 

Kita dianjurkan untuk membaca ta’awudz atau isti’adzah, terutama sebelum membaca Al-Qur’an. Ta’awudz atau isti’adzah merupakan lafal berbunyi “A‘udzu billahi minas syaythanir rajim.” Ulama mengemukakan sejumlah dalil baik Al-Quran maupun hadits mengenai perintah untuk membaca ta’awudz atau isti’adzah, perlindungan dari gangguan setan.


Berikut ini adalah perintah ta’awudz atau isti’adzah dalam Surat Al-Araf ayat 199-200.


خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ * وَإِمَّا يَنزغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نزغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ


Artinya, “Jadilah pemaaf dan mintalah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh. Jika kamu ditimpa godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah. Sungguh Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (Surat Al-Araf ayat 199-200).

 

Adapun berikut ini adalah perintah ta’awudz atau isti’adzah pada Surat Al-Mukminun ayat 96-98.


ادفع بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ السَّيِّئَةَ نَحْنُ أَعْلَمُ بِمَا يَصِفُونَ * وَقُلْ رَبِّ أَعُوذُ بِكَ مِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِينِ * وَأَعُوذُ بِكَ رَبِّ أَنْ يَحْضُرُونِ 


Artinya, “Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik. Kami lebih mengetahui apa yang mereka sifatkan. Katakan, ‘Ya Tuhanku, aku berlindung kepada-Mu dari bisikan-bisikan setan. Aku berlindung (pula) kepada-Mu ya Tuhanku, dari kehadiran mereka padaku,’” (Surat Al-Mukminun ayat 96-98).


Pada Surat Fushshilat ayat 36, kita juga menemukan perintah ta’awudz atau isti’adzah sebagai berikut:


وقال تعالى وَإِمَّا يَنزغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نزغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ 


Artinya, “Dan jika syetan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Surat Fushshilat ayat 36).

 

Adapun dalil berupa hadits diangkat oleh Imam At-Thabari (838 M/224 H-923 M/310 H) dalam tafsirnya sebagai berikut: 


وقد رُوي عن ابن عباس، أن أول ما نزل جبريلُ على النبي صلى الله عليه وسلم عَلَّمه الاستعاذة.حدثنا أبو كريب، قال: حدثنا عثمان بن سَعيد، قال: حدثنا بشر بن عُمَارة، قال: حدثنا أبو رَوْق، عن الضحّاك، عن عبد الله بن عباس، قال: أول ما نزل جبريلُ على محمد قال: "يا محمد استعذ، قل: أستعيذ بالسميع العليم من الشيطان الرجيم"، ثم قال: قل: "بسم الله الرحمن الرحيم"، ثم قال: { اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ } [العلق: 1]. قال عبد الله: وهي أول سورة أنزلها الله على محمد بلسان جبريل (1) . فأمره أن يتعوذ بالله دون خلقه


Artinya, “Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Pertama kali Jibril saat turun membawa wahyu kepada Rasulullah mengajarkannya lafal isti’adzah atau ta‘awudz. Abu Kuraib menceritakan kepada kami, ia berkata, Utsman bin Sa’id menceritakan kepada kami, ia berkata, Bisyr bin Umarah menceritakan kepada kami, ia berkata, Abu Rauq menceritakan kepada kami, dari Dhahhak, dari Ibnu Abbas, ia berkata, pertama kali Jibril turun kepada Nabi Muhammad, ia berkata, ‘Wahai Muhammad, ta’awudzlah. Katakan, ‘Asta’idzu bis sami’il ‘alim minas syaythanir rajim,’ lalu ia berkata, ‘Bacalah ‘bismillahir rahmanir rahim,’ lalu ia membaca ‘Iqra bismi rabbikalladzi khalaq,’ Abdullah bin Abbas mengatakan, Ini surat pertama yang Allah turunkan kepada Nabi Muhammad melalui lisan Jibril.’’ Lalu ia memerintahkannya untuk berlindung kepada Allah, bukan makhluk-Nya,” (Imam At-Thabari, Jami’ul Bayan ‘an Ta’wili Ayil Qaur’an, [tanpa kota, Daru Hijr: tanpa catatan tahun], juz I, halaman 111).


Namun demikian, riwayat yang disampaikan oleh At-Thabari ini, menurut Ibnu Katsir (1301 M-1372 M), cenderung gharib. Riwayat ini disebutkan hanya untuk diketahui, tetapi sanadnya lemah dan terputus. Wallahu a’lam. (Ibnu Katsir, Tafsirul Qur’anil Azhim, [Mesir, tanpa keterangan penerbit dan tahun], juz I, halaman 174).

 

Secara umum, Imam At-Thabari menjelaskan lafal dan maksud ta’awudz atau isti’adzah yang dimaksud dalam tiga surat di atas. Menurutnya, ta’awudz atau isti’adzah adalah permohonan perlindungan kepada Allah semata, bukan kepada yang lain, dari tipu daya setan dalam menghalangi kewajiban manusia kepada-Nya. Sementara sebelum Islam datang, bangsa Arab kerap memohon perlindungan kepada penghuni sebuah lembah dari kejahatan setan.


تأويل قوله: أَعُوذُ .قال أبو جعفر: والاستعاذة: الاستجارة. وتأويل قول القائل أَعُوذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ أستجيرُ بالله - دون غيره من سائر خلقه - من الشيطان أن يضرَّني في ديني، أو يصدَّني عن حق يلزَمُني لرَبي.


Artinya, “Ta’wil kata ‘A‘udzu.’ Abu Ja’far  berkata, al-isti’adzah adalah meminta perlindungan. Kalimat ‘A‘udzu billahi minas syaythanir rajim,’ berarti ‘Aku berlindung kepada Allah–bukan kepada makhluk-Nya–dari setan agar tidak mencelakaiku dalam urusan agama dan tidak menghalangiku dari kewajiban terhadap-Nya,” (Imam At-Thabari, Jami’ul Bayan ‘an Ta’wili Ayil Qaur’an, [tanpa kota, Daru Hijr: tanpa catatan tahun], juz I, halaman 109).


Menurut At-Thabari, kata “syaythan” dalam kalimat Arab mengacu pada setiap person yang durhaka baik kalangan jin, manusia, hewan melata, maupun apa saja. Oleh karena itu, Allah berfirman, “Demikian, kami jadikan musuh berupa setan dari kalangan jin dan manusia untuk setiap nabi.” Sayyidina Umar pernah mengendarai seekor kuda yang banyak tingkah. Makin dipukul, tingkahnya makin banyak karena sulit dikendalikan. Sayyidina Umar karena jengkel menyebut kudanya dengan “setan”. Karenanya, segala sesuatu yang durhaka disebut setan karena akhlak dan perilakunya berbeda dari akhlak dan perilaku jenisnya secara umum dan karena jauhnya dari kebaikan. (Imam At-Thabari, Jami’ul Bayan ‘an Ta’wili Ayil Qaur’an, [tanpa kota, Daru Hijr: tanpa catatan tahun], juz I, halaman 109).


Kata “ar-rajim” berpola faīl tetapi bermakna maf’ul. Kata ini berarti “yang terlempar/tercampak,” maksudnya terlaknat dan tercela. Segala yang tercela dengan ucapan buruk dan cacian adalah marjum. Asalnya ar-rajmu adalah lemparan dengan ucapan dan perbuatan. Salah satu rajam dengan ucapan adalah ucapan ayah Ibrahim (pamannya) kepada Ibrahim, “Jika Kau tiak berhenti, maka kurajam (caci dan kutuk) kau,” (Surat Maryam ayat 46), (Imam At-Thabari, Jami’ul Bayan ‘an Ta’wili Ayil Qur’an, [tanpa kota, Daru Hijr: tanpa catatan tahun], juz I, halaman 110).


Faidah dan Keutamaan Pelafalan Ta‘awudz atau Isti’adzah

 

Ibnu Katsir (1301 M-1372 M) berpendapat, Allah memerintahkan ta’awudz dari setan jin (karena ada setan dari kalangan manusia) karena ia tidak dapat disuap untuk terhindar dari kejahatannya dan tidak terpengaruh oleh kebaikan (berbeda dari setan manusia yang menerima suap). Secara tabiat, setan jin sangat buruk. Yang dapat menahan kejahatan setan jin terhadap manusia tidak lain hanya Penciptanya sendiri. Setan dalam kosakata Arab merupakan turunan dari kata “syathana,” yaitu jauh. Maksudnya, setan jauh dari tabiat manusia dan dengan kefasikannya menjadi jauh dari kebaikan. (Ibnu Katsir, Tafsirul Qur’anil Azhim, [Mesir, tanpa keterangan penerbit dan tahun], juz I, halaman 174-175).


والمشهور الذي عليه الجمهور أن الاستعاذة لدفع الوسواس فيها، إنما تكون قبل التلاوة، ومعنى الآية عندهم: { فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ } [النحل: 98] أي: إذا أردت القراءة كقوله: { إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ } الآية [المائدة: 6] أي: إذا أردتم القيام.


Artinya, “Yang masyhur di kalangan masyoritas ulama, isti’adzah atau ta’awudz bertujuan untuk menolak was-was dalam bacaan dan itu dilakukan sebelum membaca Al-Qur’an. Ini berangkat dari pengertian ayat berikut menurut mayoritas ulama, ‘Jika Anda membaca Al-Qur’an, berlindunglah kepada Allah dari setan terkutuk,’ (An-Nahl ayat 98). Maksudnya tidak lain, ‘Jika Anda ingin membaca’ sebagaimana pengertian pada ‘Jika kalian melakukan shalat, basuhlah wajah dan tangan kalian,’ (Al-Maidah ayat 6), maksudnya ‘Jika kalian ingin shalat,’” (Ibnu Katsir, Tafsirul Qur’anil Azhim, [Mesir, tanpa keterangan penerbit dan tahun], juz I, halaman 169).


Menurut Ibnu Katsir, pelafalan ta‘awudz atau isti’adzah berfaidah untuk membersihkan mulut dari ucapan sia-sia dan kotor. Pelafalan ta‘awudz merupakan persiapan mulut untuk membaca Kalam Ilahi. Ta‘awudz adalah bentuk pengakuan atas kuasa Allah dan kelemahan manusia dalam melawan gangguan musuh yang bersifat batin. Setan dapat melihat manusia. Sedangkan sebaliknya, manusia tidak dapat melihat setan. Namun secara umum, ta‘awudz adalah bentuk permohonan kepada Allah untuk melindungi kita dari segala bentuk kejahatan dan keburukan,” (Ibnu Katsir, Tafsirul Qur’anil Azhim, [Mesir, tanpa keterangan penerbit dan tahun], juz I, halaman 174-175).


Ibnu Katsir mengatakan bahwa salah satu manfaat pelafalan ta’awudz adalah dapat meredakan kemarahan di dalam hati yang sedang dialami seseorang. Ia membawa riwayat hadits Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan An-Nasai.


قال البخاري: حدثنا عثمان بن أبي شيبة، حدثنا جرير، عن الأعمش، عن عدي بن ثابت، قال: قال سليمان بن صُرَد: استب رجلان عند النبي صلى الله عليه وسلم، ونحن عنده جلوس، فأحدهما يسب صاحبه مغضَبًا قد احمر وجهه، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: " إني لأعلم كلمة لو قالها لذهب عنه ما يجد،

و قال: أعوذ بالله من الشيطان الرجيم " فقالوا للرجل: ألا تسمع ما يقول رسول الله (1) صلى الله عليه وسلم قال: إني لست بمجنون (2) .وقد رواه -أيضًا-مع مسلم، وأبي داود، والنسائي، من طرق متعددة، عن الأعمش، به


Artinya, “Imam Al-Bukhari meriwayatkan hadits dari Sulaiman bin Shurad bahwa dua orang saling mencaci di hadapan Rasulullah. Sementara kami duduk di dekatnya. Salah seorang dari keduanya mencaci yang lain dan ia tampak marah dengan wajah memerah. Rasulullah bersabda, ‘Sungguh, aku mengetahui kalimat yang bila diucapkan, niscaya kemarahan di hatinya akan reda.’ Rasulullah lalu membaca, ‘A‘udzu billahi minas syaythanir rajim.’ Para sahabat lalu berkata kepada orang tersebut, ‘Apakah kau mendengar ucapan Rasulullah SAW tadi?’ ia menjawab, ‘Aku tidak gila.’ Hadits ini juga diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, dan An-Nasai dari banyak jalan, dari A’masy,” (Ibnu Katsir, Tafsirul Qur’anil Azhim, [Mesir, tanpa keterangan penerbit dan tahun], juz I, halaman 173).


Pelafalan Ta‘awudz atau Isti’adzah


Ulama berbeda pendapat perihal waktu bacaan ta‘awudz atau isti’adzah. Sebagian ulama mengatakan bahwa ta’awudz dibaca sebelum membaca Al-Qur’an. Sebagian lagi mengatakan bahwa ta’awudz dibaca setelah selesai membaca Al-Qur’an.

 

Dalil atas pembacaan ta’awudz sebelum membaca Al-Qur’an adalah riwayat Ahmad bin Hanbal bahwa Rasulullah SAW bila melakukan shalat malam mengawali shalatnya dan bertakbir, lalu membaca, “Subhānakallāhumma wa bi hamdika, wa tabaraksmuka, wa ta‘alā jadduka, wa lā ilaha ghayruka,” lalu membaca tahlil 3 kali, lalu membaca, “A’ūdzu billahis sami’il ‘alim, minas syaythanir rajim min hamazihi, wa nafkhihi, wa nafatsihi,” (Ibnu Katsir, Tafsirul Qur’anil Azhim, [Mesir, tanpa keterangan penerbit dan tahun], juz I, halaman 169).


Al-Qurthubi meriwayatkan dari Abu Bakr Ibnul Arabi, dari Imam Malik bahwa ta’awudz dibaca setelah selesai Surat Al-Fatihah. Sedangkan pendapat lain menggabungkan dua dalil dengan mengatakan bahwa ta’awudz dibaca sebelum dan setelah selesai Surat Al-Fatihah.

 

Hukum Pelafalan Ta‘awudz atau Isti’adzah

 

Mayoritas ulama mengatakan bahwa bacaan ta’awudz bersifat sunnah, bukan wajib yang membuat seseorang berdosa ketika tidak membacanya. Fakhruddin Ar-Razi menghikayatkan kewajiban bacaan ta’awudz di dalam dan di luar shalat ketika hendak shalat dari Atha bin Abi Rabah. Ibnu Sirin mengatakan, bacaan ta’awudz cukup dibaca sekali seumur hidup untuk menggugurkan kewajiban.

 

Fakhruddin mengemukakan argumentasi kewajiban Atha dari perintah “fasta’idz” secara tekstual. Menurutnya, ini perintah untuk kewajiban dan juga mempertimbangkan kebiasaan Rasulullah atas bacaan ta’awudz. Di samping itu, bacaan ta’awudz dapat menolak godaan setan dengan menimbang kaidah ma la yatimmul wajib illa bihi fa huwa wajib. Bacaan ta’awudz lebih diutamakan sebagai satu jalan wajib.

 

Ulama lain mengatakan, kewajiban bacaan ta’awudz hanya berlaku bagi Nabi Muhammad SAW, bukan umatnya. Dari Imam Malik dihikayatkan bahwa, ia tidak membaca ta’awudz pada shalat wajib, tetapi membacanya pada shalat malam pertama bulan Ramadhan.

 

Menurut Imam As-Syafi’i dalam Al-Imla, lafal ta’awudz dibaca lantang/jahar. Tetapi jika dibaca perlahan/sirr, itu tidak masalah. Dalam Al-Umm, ia mengatakan bahwa kita boleh memilih untuk membaca jahar atau sir. Ibnu Umar membaca ta’awudz dengan perlahan. Sedangkan Abu Hurairah membacanya secara lantang.

 

Imam As-Syafi’i pernah mengemukakan dua pendapat berbeda perihal kesunnahan pembacaan lafal ta’awudz pada selain rakaat pertama. Pendapat pertama menyatakan bacaan ta’awudz sunnah dibaca pada selain rakaat pertama. Tetapi pendapat paling kuat menyatakan bahwa bacaan ta’awudz tidak sunnah dibaca pada selain rakaat pertama.


Adapun Syekh Wahbah Az-Zuhayli menyatakan bahwa pelafalan isti‘adzah atau ta’awudz dianjurkan untuk dibaca setiap kali kita mengawali tadarus Al-Qur’an. Kita juga dianjurkan untuk melafalkan isti‘adzah atau ta’awudz pada awal shalat.


والاستعاذة مستحبة في بداية تلاوة القرآن وفي بداية الصلاة، قال الله تعالى:

فَإِذا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطانِ الرَّجِيمِ (98) [النّحل: 16/ 98] و كان رسول اللّه صلّى اللّه عليه وسلم إذا قام من الليل، فاستفتح صلاته وكبّر، قال «سبحانك اللهم وبحمدك، وتبارك اسمك، وتعالى جدّك، ولا إله غيرك، ثم يقول: لا إله إلا اللّه- ثلاثا-، ثم يقول: أعوذ بالله السّميع العليم من الشّيطان الرّجيم من همزه ونفخه ونفثه»

 

Artinya, “Isti‘adzah atau ta’awudz dianjurkan di awal pembacaan Al-Qur’an dan di awal shalat. Allah berfirman, ‘Jika Anda ingin membaca Al-Qur’an, berlindunglah kepada Allah dari setan terkutuk,’ (An-Nahl ayat 98). Rasulullah SAW bila melakukan shalat malam mengawali shalatnya dan bertakbir, lalu membaca, ‘Subhānakallāhumma wa bi hamdika, wa tabaraksmuka, wa ta‘alā jadduka, wa lā ilaha ghayruka,’ lalu membaca tahlil 3 kali, lalu membaca, ‘A’ūdzu billahis sami’il ‘alim, minas syaythanir rajim min hamazihi, wa nafkhihi, wa nafatsihi,’” (Syekh Wahbah Az-Zuhayli, At-Tafsirul Wasith, [Beirut, Darul Fikr: 1442 H], cetakan pertama, halaman 4).

 

Jenis Pelafalan Ta‘awudz atau Isti’adzah

 

Adapun bacaan ta’awudz menurut Abu Hanifah dan Imam As-Syafi’i, lafal “A’udzu billahi minas syaythanir rajim” itu sudah cukup. Sebagian ulama menambahkannya, “A’udzu billahis sami’il ‘alim.” Yang lain, seperti At-Tsauri dan Al-Awza’i, menambahkan, “A’udzu billahi minas syaythanir rajim, innallaha huwas sami’ul ‘alim.” Sebagian ulama lainnya menyatakan, “Asta‘idzu billahi minas syaythanir rajim” karena sesuai perintah ayat. (Ibnu Katsir, Tafsirul Qur’anil Azhim, [Mesir, tanpa keterangan penerbit dan tahun], juz I, halaman 174). Wallahu a’lam. []

 

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar