Fatimah al-Naisaburiyyah, Wali Perempuan Guru Dzun Nun al-Mishri
Fatimah al-Naisaburiyyah berasal dari Khurasan. Ia merupakan ulama perempuan yang telah mencapai tingkat ma’rifat (kânat minal ‘ârifâtil kibâr). Imam Abdurrahman al-Sulami memujinya dengan mengatakan:
لم يكن في زمانها في النساء مثلها
“Tidak ada di eranya perempuan yang sepertinya” (Imam Abdurrahman al-Sulami, Thabaqât al-Shûfiyyah wa yalîhi Dzikr al-Niswah al-Muta’abbidât al-Shûfiyyât, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003, h. 400).
Imam Abu Yazid al-Busthami sangat menghormati keilmuwan dan spiritualitas Fatimah al-Naisaburiyyah. Ia mengatakan:
ما رأيت في عمري إلا رجلا وامرأة، فالمرأة كانت فاطمة النيسابورية، ما أخبرتها عن مقام من المقامات إلا وكان الخبر لها عيانًا
Terjemah bebas: “Aku tidak melihat (atau mengagumi seorang pun) di (sepanjang) umurku kecuali (untuk) seorang laki-laki dan wanita. Wanita (itu) adalah Fatimah al-Naisaburiyyah. Tidak ada maqam dari banyaknya maqam yang telah kusampaikan kepadanya melainkan ia telah mengalaminya (sendiri)” (Imam Abdurrahman al-Sulami, Thabaqât al-Shûfiyyah wa yalîhi Dzikr al-Niswah al-Muta’abbidât al-Shûfiyyât, 2003, h. 400).
Imam Dzun Nun al-Mishri menganggapnya sebagai guru. Hubungan Fatimah al-Naisaburiyyah dan Imam Dzun Nun al-Mishri terbilang unik. Dalam suatu riwayat diceritakan:
ذكر أنها بعثت مرة إلي ذي النون برفق, فرده وقال: في قبول أرفاق النسوان مذلة ونقصان, فقالت فاطمة: ليس في الدنيا صوفي أخس ممن يري السبب
Terjemah bebas: “Diceritakan bahwa Fatimah sekali waktu mengirimkan sebuah hadiah (atau pemberian) kepada Dzun Nun al-Mishri, kemudian ia mengembalikannya sembari berkata: “Menerima pemberian (atau hadiah dari) wanita merupakan bentuk kehinaan dan kekurangan (kelemahan).” Kemudian Fatimah berkata: “Tidak ada di dunia ini seorang sufi yang lebih rendah dari orang yang (hanya) melihat sebab (alasan)” (Imam Abdurrahman al-Sulami, Thabaqât al-Shûfiyyah wa yalîhi Dzikr al-Niswah al-Muta’abbidât al-Shûfiyyât, 2003, h. 400-401).
Dalam riwayat di atas, ada kata “sebab” di ucapan Fatimah al-Naisaburiyyah. “Sebab” di sini berarti “alasan”, yang seakan-akan meragukan motif pemberian Fatimah al-Naisaburiyyah yang seorang wanita, sehingga ia mengatakan, “tidak ada di dunia ini seorang sufi yang lebih rendah dari orang yang melihat alasan di balik pemberian tersebut.” Padahal, ia tidak benar-benar tahu alasan Fatimah al-Naisaburiyyah memberikan sesuatu kepadanya. Ia hanya tahu bahwa pemberian itu berasal dari seorang wanita.
Dzun Nun al-Mishri kemudian menganggap Fatimah al-Naisaburiyyah sebagai gurunya. Ia sering bertanya soal-soal spiritual dan ilmu agama kepadanya (wa sa’alahâ dzûn nûn ‘am masâ’il). Suatu ketika, seorang ulama sepuh (syaikhan kabîran) bertemu dengan Dzun Nun al-Mishri. Ia bertanya pada Dzun Nun:
من أجل ممن رأيت؟ فقال: ما رأيت أحدا أجل من امراة رأيتها بمكة, يقال لها: فاطمة النيسابورية. كانت تتكلم في فهم القرآن، في تعجيب منها. فسألت ذا النون عنها, فقال لي: هي ولية من أولياء الله عز وجل، وهي أستاذي
Terjemah bebas: “Siapa orang paling mulia yang pernah kau temui?” Dzun Nun menjawab: “Aku tidak bertemu seorang pun yang lebih mulia dari wanita yang kutemui di Makkah, ia bernama Fatimah al-Naisaburiyyah. Ia berbicara (dengan sangat) mengagumkan tentang pemahaman (atau isi kandungan) al-Qur’an.” Aku (ulama sepuh) bertanya kepada Dzun Nun tentangnya. Ia berkata kepadaku: “Ia adalah seorang wali perempuan dari (sekian) wali-wali Allah ‘Azza wa Jalla, dan ia adalah guruku” (Imam Abdurrahman al-Sulami, Thabaqât al-Shûfiyyah wa yalîhi Dzikr al-Niswah al-Muta’abbidât al-Shûfiyyât, 2003, h. 401).
Fatimah al-Naisaburiyah merupakan wanita yang gemar berpergian, terutama mengunjungi tempat-tempat suci. Ia berasal dari Khurasan, bermukim cukup lama di Makkah (kânat mujâwirah bi makkata), terkadang mengunjungi Baitul Maqdis di Yerussalem (wa rubbamâ dakhalat ilâ baitil maqdis), kemudian kembali ke Makkah lagi (tsumma raja’at ilâ makkata). (Imam Abdurrahman al-Sulami, Thabaqât al-Shûfiyyah wa yalîhi Dzikr al-Niswah al-Muta’abbidât al-Shûfiyyât, 2003, h. 400).
Fatimah al-Naisaburiyyah wafat di Makkah dalam perjalanan umrah di tahun 223 Hijriah. Ia meninggalkan teladan besar bagi umat manusia setelahnya.
Wallahu a’lam bish-shawwab. []
Muhammad Afiq Zahara, alumni Pondok Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar