Untuk Mengatasi Pandemi, Kita Butuh Demokrasi
Oleh: Fadli Zon
HARI ini, 15 September 2020,
kita memperingati Hari Demokrasi Internasional (International Day of Democracy). Ini adalah
peringatan ke-13 sejak PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) pertama kali
menetapkannya pada Sidang Umum tahun 2007. Tanggal ini dipilih PBB sebagai
momen mempromosikan gagasan demokrasi ke seluruh dunia sekaligus mengajak semua
orang terlibat membela prinsip-prinsip demokrasi.
Saat ini dunia sedang bertempur dengan pandemi
Covid-19. Krisis ini telah menyerang semua negara, baik negara demokrasi,
otoriter, monarki, diktator, maupun berbagai spektrum pemerintahan lainnya.
Namun, kita sama-sama bisa melihat negara-negara demokratis relatif bisa
mengatasi krisis ini lebih baik dibanding negara lainnya. Ini menunjukkan di
tengah-tengah pandemi, gagasan demokrasi tetap relevansi.
Hanya di negara-negara demokratislah, misalnya,
pemerintah akan berusaha mengutamakan keselamatan rakyat di atas
segala-galanya. Sementara, di negara-negara otoritarian, atau yang defisit demokrasi,
pemerintahnya biasanya cenderung sibuk menyelamatkan kekuasaan sendiri. Di
tangan pemerintahan yang culas, krisis ini memang bisa dimanfaatkan untuk
menciptakan keadaan darurat, membatasi proses demokrasi, serta mengekang
kebebasan sipil.
Itu sebabnya tidaklah salah tahun ini peringatan Hari
Demokrasi Internasional mengambil tema “COVID-19: Sebuah Sorotan tentang
Demokrasi”. Di tengah-tengah pandemi ini, kita memang bisa menguji seberapa
jauh gagasan demokrasi telah dipraktikkan sebuah negara.
Saat menghadapi wabah, gagasan demokrasi sangatlah
diperlukan, terutama untuk memastikan terjaminnya sejumlah hal mendasar,
seperti arus informasi yang bebas, partisipasi publik dalam proses pengambilan
keputusan, akuntabilitas dari para pengambil kebijakan, transparansi penggunaan
anggaran publik, serta responsivitas pemerintah terhadap suara publik.
Di sisi lain, krisis ini juga sekaligus membuka wajah
sistem jaminan kesehatan oleh pemerintah. Seberapa jauh pemerintah mampu
menjamin kesehatan serta keselamatan warganya, misalnya, atau ke mana saja
larinya anggaran kesehatan, jadi terbuka lebar oleh adanya pandemi ini.
Lantas, bagaimana wajah demokrasi kita di
tengah-tengah pandemi Covid-19?
Pada awal Agustus kemarin, Badan Pusat Statistik
(BPS) merilis data skor Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) saat ini mencapai
74,92. Angka ini mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya yang
berada di angka 72,39. Namun, dengan skor akhir tersebut, kinerja demokrasi
kita sebenarnya masih cukup memprihatinkan, karena masih berada di level
sedang. Apalagi, selama di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo, inilah
untuk pertama kalinya skor IDI akhirnya bisa lebih tinggi dibandingkan capaian
terakhir pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yaitu 73,04 (2014).
Jadi, dalam enam tahun terakhir, baru tahun ini skor
IDI lebih tinggi dari tahun 2014. Ini bukanlah prestasi membanggakan. Apalagi,
meski secara umumnya skor kita naik, namun aspek kebebasan sipil skornya justru
turun.
Penurunan ini dipengaruhi dua indikator, yakni ancaman/penggunaan kekerasan oleh aparat pemerintah yang menghambat kebebasan berpendapat, dan ancaman/penggunaan kekerasan oleh masyarakat yang menghambat kebebasan berpendapat. Dari indikator ancaman/penggunaan kekerasan oleh masyarakat, sebenarnya terjadi kenaikan dari 45,96 ke 57,35. Artinya, kondisinya membaik.
Namun, yang memprihatinkan adalah indikator ancaman
/penggunaan kekerasan oleh aparat pemerintah yang menghambat kebebasan
berpendapat, di mana skornya anjlok dari 70,22 pada 2018 menjadi 65,69 pada
2019. Indikator ini hampir menyentuh angka 60, atau batas suatu indikator
dinilai buruk.
Penilaian oleh BPS ini sama dan sebangun dengan
penilaian Economist
Intelligence Unit (EIU), yang juga menilai bahwa Indonesia termasuk
sebagai negara “demokrasi cacat” (flawed
democracy). Dalam Democracy
Index yang mereka susun, pada tahun 2019 lalu Indonesia memperoleh
skor 6,48. Nilai ini adalah yang terendah kedua sejak satu dekade terakhir.
Sebagai pembanding tambahan, pada 19 Agustus 2020
lalu, LP3ES juga merilis hasil survei yang menyatakan 44,7% responden melihat
bahwa demokrasi di Indonesia berada dalam situasi suram. Sementara, 23,7%
lainnya memberikan penilaian kita berada dalam stagnasi. Dan terakhir, 28,9%
bahkan menyatakan kita telah berada di tengah otoriterisme. Hanya 2,7% saja
responden yang menilai demokrasi kita mengalami kemajuan.
Terus terang saya pribadi tak terlalu terkejut dengan
penilaian tersebut. Survei dan penilaian oleh lembaga-lembaga riset independen
itu hanya mengkonfirmasi penilaian yang sudah sering saya lontarkan selama ini.
Di tengah pandemi ini, demokrasi kita sedang berjalan
ke arah yang kurang baik. Sejak awal kita melihat Pemerintah telah menggunakan
krisis ini sebagai dalih untuk memperbesar kekuasaan dan melangkahi kewenangan
parlemen. Melalui Perppu, misalnya, kini bisa lahir ‘omnibus law’ secara
sepihak. Dengan dalih keadaan luar biasa, lembaga penegak hukum juga tak lagi
bisa menuntut pengambil kebijakan. Bisa dikatakan, secara substantif kini tak
ada lagi ‘trias politica’
di Indonesia.
Inilah yang membuat kenapa penanganan pandemi di
negara kita hingga hari ini tak kunjung membaik, yang membuat kita akhirnya
dikucilkan banyak negara. Tanpa demokrasi, krisis ini tak akan segera bisa
diatasi. []
KORAN SINDO, 15 September 2020
Fadli Zon | Anggota DPR RI, CEO Institute for Policy Studies, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar