KAMI dan KITA
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Sengaja artikel ini diberi judul “KAMI dan KITA”, bukan “KAMI Vs KITA” agar polarisasi masyarakat tak terus dipelihara dan diperparah. Sejak 2016/2017 sebagai ekor Pilkada DKI sampai hari ini, penyakit politik sektarian belum juga sembuh.
Apakah elite Indonesia tak mempertimbangkan beban psikologi rakyat akan semakin berat karena ulah politik adu kekuatan ini?
Klaim membela rakyat, gerakan moral, gerakan independen, dan ungkapan seperti bahasa iklan mudah dibaca dalam konteks persaingan politik kekuasaan. Namun di masyarakat, sekalipun diam, masih banyak yang tulus mengurus bangsa dan negeri ini.
Maka itu, semestinya perang retorika, sebagai bentuk hasrat kuasa yang terpendam dan hanya akan semakin mempertinggi tempat jatuh, dihentikan. Kenyataan empiris menunjukkan negeri ini terlalu lama salah urus harus diakui semua pihak, termasuk oleh pemerintah.
Deklarasi KAMI dan KITA di Tugu Proklamasi dan di Gedung Joang, dua tempat bersejarah, tentu dimaksudkan sebagai simbol pendukungnya akan berbuat sesuatu yang besar dan positif bagi Indonesia, masih harus diamati dalam tempo dekat ini.
Pada beberapa kesempatan, saya mengatakan, dalam perkara rumus merumus, elite Indonesia piawai menyusun kata, tetapi bagaimana menggumulkan rumusan itu agar konkret sebagai perwujudan idealisme kemerdekaan, masalah serius muncul di depan mata.
Artinya, idealisme dibiarkan di ketinggian jauh di sana, sedangkan sisi praksismenya tertatih di muka bumi nusantara. Kita tak bisa membayangkan berapa banyak energi dan dana terkuras akibat tak tersambungnya rencana ideal dan pelaksanaan di lapangan.
Dalam bacaan saya, sampai hari ini belum banyak kemajuan ditunjukkan agar jarak itu dipertautkan, tidak dibiarkan terus saja menganga, sekalipun presiden marah-marah kepada menterinya. Apakah sikap marah itu akan mengubah keadaan?
Saya tidak tahu, apakah pendukung KAMI dan KITA sudah berpikir, bagaimana energi dan dana habis karena kecerobohan pelaksanaan sebuah rencana yang terjadi sejak lama. Bagi saya, kedua gerakan ini sama-sama pragmatisnya.
Belum terbayang ada sisi kenegarawanan dalam gerakan mereka. Apalagi, gerakan KITA terkesan lebih banyak dipicu reaksi instan terhadap gerakan oposisi KAMI yang muatan politiknya terasa kental, sekalipun tokoh-tokohnya berkilah KAMI gerakan moral.
Karena itu, agar tak terlalu ekstrem, artikel ini meminjam ungkapan Bung Hatta saat mengkritik sistem demokrasi terpimpin Presiden Sukarno abad lalu, lebih baik diberikan fair chance (peluang wajar) kepada KAMI dan KITA untuk menunjukkan komitmennya kepada janji-janji, yang telah mereka sampaikan kepada publik.
Rasanya, tak butuh waktu lama melihat, apakah kedua gerakan ini punya daya tahan hidup atau hanya riak politik yang segera menghilang. Sebuah gerakan, apa pun wujud dan wajahnya yang tak punya akar tunggang budaya di masyarakat, tak bernapas panjang.
Dengan segala kemungkinan di atas, pemerintah perlu menunjukkan jiwa besar dan kedewasaannya, dalam menyikapi setiap gerakan oposisi atau pendukung selama mereka bergerak dalam bingkai konstitusi dan parameter demokrasi.
Memang tak mudah bagi pemerintah sekarang menunjukkan prestasi di tengah wabah Covid-19 dan ancaman resesi ekonomi. Idealnya, dalam menghadapi resesi ekonomi, semua elite bangsa menahan diri tak saling menghujat dan menjatuhkan dengan kata-kata kasar.
Dalam situasi tak nyaman ini, semestinya komunikasi antara pihak pada kutub berbeda tak putus. Karena itu, pemerintah harus berlapang dada mengambil prakarsa melancarkan komunikasi.
Sebaliknya, pihak yang dikategorikan oposisi, jangan menunjukkan keangkuhannya untuk menolak saling berbagi dengan pemerintah.
Rahim Indonesia, sekarang benar-benar memerlukan lahirnya negarawan di semua tingkat, di pusat dan di daerah, yang mampu dan mau menjinakkan ego politiknya agar bayangan sebagai negara gagal tidak menjadi kenyataan.
Amat disayangkan, tokoh parpol seperti kurang hirau pada kondisi bangsa dan negara yang diterpa berbagai ancaman akut yang belum pasti ujungnya. Perhatian mereka masih terpusat pada pilkada akhir tahun ini.
Bukan pada upaya menyelamatkan bangsa dan negara dari kemungkinan terburuk. Dalam situasi serba-‘kritikal’ dan menakutkan ini, KAMI dan KITA terkesan masih saja mau berebut pengikut untuk tujuan politik jangka pendeknya masing-masing.
Semestinya, mereka tak terperangkap kelakuan ikan lele: semakin keruh air semakin lahap nafsu makannya! Indonesia terlalu besar untuk dipermainkan mentalitas ikan lele itu.
Akhirnya, saya berharap kita segera sadar tentang kondisi bangsa dan negara yang memerlukan kekuatan akal sehat, semangat persatuan, kejujuran, dan stamina nurani tulus untuk kepentingan Indonesia ke depan yang baru saja merayakan ulang tahunnya ke-75.
Membiarkan polarisasi masyarakat semakin parah dan memanas adalah indikasi perilaku manusia kerdil, tunatanggung jawab. []
REPUBLIKA, 01 September 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar