Tata Cara Mengiringi Jenazah
Setiap Muslim yang meninggal mendapatkan empat hak yang layak ia terima dan sekaligus wajib dilakukan oleh Muslim di sekitarnya yang masih hidup. Keempat kewajiban tersebut adalah memandikan, mengafani, menyalati, dan menguburkan.
Syekh Qalyubi dan Syekh Umairah menjelaskan beberapa tata cara mengiring jenazah sebagai berikut:
Sebaiknya pelayat mengiring jenazah dengan berjalan di depan (mendahului) jenazah dengan perkiraan seumpama pelayat ini menoleh ke belakang, jenazahnya masih kelihatan. Artinya, meski di depan, sebaiknya jarak antara pelayat dengan jenazah tidak terlalu jauh sehingga terhalang pandangan antara pengiring dengan jenazah dengan ketutup pelayat yang lain.
Mengiring jenazah dengan mendahului mayit lebih utama daripada berada di belakang janazah. Hal ini berlaku baik bagi pejalan kaki maupun berkendara.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Syihab:
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَأَبَا بَكْرٍ وعُمَرَ، كَانُوا يَمْشُونَ أَمَامَ الْجَنَازَةِ. وَالْخُلَفَاءُ هَلُمَّ جَرّاً وَعَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ
Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah ﷺ, Abu Bakar, dan Umar berjalan di depan jenazah. Para khalifah setelahnya berjalan seperti demikian, serta Abdullah bin Umar juga sama” (Al-Muwatha’: 256)
Dalam mengiring jenazah, sebaiknya tidak menggunakan kendaraan kecuali ada uzur seperti sakit atau tidak mampu. Di sebagian tempat, terutama di perkotaan, jarak antara makam dan rumah duka seringkali sangat jauh sehingga pengiring kesulitan atau kecapekan jika dipaksa berjalan kaki. Bila yang terjadi seperti ini, anjuran untuk berjalan kaki menjadi gugur. Munurut Syekh Ibrahim as-Syirazi, kalau tidak ada alasan mendesak, misalnya sang pelayat dalam keadaan sehat atau tak ada kendala jarak, kemudian ia mengiring jenazah dengan berkendara, maka hukumnya makruh.
Dari perincian di atas, Syekh Qalyubi dan Umairah menyimpulkan sebagai berikut:
وَالْحَاصِلُ الَّذِي يَنْبَغِي أَنْ يُقَالَ: إنَّ الْمَشْيَ أَفْضَلُ وَلَوْ خَلْفَهَا، أَوْ بَعِيدًا مِنْ الرُّكُوبِ وَلَوْ أَمَامَهَا، أَوْ قَرِيبًا وَأَنَّهُ أَمَامَهَا أَفْضَلُ مِنْهُ خَلْفَهَا، وَلَوْ مَشَى بِالْقُرْبِ
Artinya: “Kesimpulannya, sebaiknya redaksi yang ditampilkan adalah mengiring jenazah dengan berjalan itu lebih utama walaupun di belakangnya atau bahkan sangat jauh jarak antara pelayat dan jenazah dibanding dengan naik kendaraan walaupun posisinya di depan mayit dengan jarak dekat sekalipun. Mengiring jenazah di depannya lebih utama daripada di belakangnya walaupun jaraknya sangat dekat dengan jenazah. (Qalyubi dan Umairah, Hasyiyata Qalyubi wa Umairah, [Beirut: Darul Fikr, 1995], juz 1, hlm. 385)
Sebuah hadits yang menjelaskan keutamaan mengiring dengan berjalan kaki diriwayatkan oleh Tsauban, budak Rasulullah ﷺ sebagai berikut:
رَأَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَاسًا رُكْبَانًا عَلَى دَوَابِّهِمْ فِي جِنَازَةٍ، فَقَالَ: «أَلَا تَسْتَحْيُونَ أَنَّ مَلَائِكَةَ اللهِ يَمْشُونَ عَلَى أَقْدَامِهِمْ، وَأَنْتُمْ رُكْبَانٌ؟»
Artinya: “Rasulullah ﷺ pernah melihat masyarakat mengiring jenazah dengan naik kendaraan, lalu Rasulullah ﷺ bersabda ‘Hendaknya kalian ini malu dengan malaikat Allah yang berjalan kaki sedang kalian malah naik kendaraan!’” (Sunan Ibnu Majah: 1480)
Saat mengiring jenazah, di sebagian tempat di Indonesia terdapat adat para pengiringnya sambil melantunkan dzikir “Lâ ilâha illallâh”. Bagaimana hukumnya?
Perlu diketahui, menurut Syekh Amin al-Kurdi makruh hukumnya mengobrol tentang urusan duniawi dan bicara keras saat mengiring jenazah kecuali untu k membaca Al-Qur’an, dzikir, dan shalawat kepada Nabi ﷺ. Oleh karena itu, dzikir keras itu diperbolehkan, apalagi ada untuk syiar.
Sebuah terobosan penting yang perlu diapresiasi para kiai Indonesia terdahulu menginisiasi membaca “Lâ ilâha illallâh” ketika mengiring jenazah. Menurut Ibnu Ziyad al-Yamani, pelayat yang tidak bisa terkontrol pembicaraannya lebih baik diajak sibuk berdzikir yang bisa mengakibatkan mereka meninggalkan obrolan mereka.
وعمت البلوى بما يشاهد من اشتغال المشيعين بالحديث الدنيوي وربما أداهم الى نحو الغيبة فالمختار اشتغال استماعهم بالذكر المؤدي الى ترك الكلام أو تقليله. اهـ
Artinya: “Sudah menjadi problem yang susah dihindari adalah pemandangan masyarakat yang melayat dengan obrolan duniawi yang menyebabkan mereka jatuh semacam menggunjing. Maka langkah yang dipilih adalah memperdengarkan mereka dengan dzikir yang bisa menjadikan mereka meninggalkan pembacaraan tersebut atau menimalisir pembicaraan mereka” (Amin al-Kurdi, Tanwirul Qulub, [Darul Fikr], hlm. 206).
Selain membaca dzikir, sebaiknya pelayat berjalan cepat bersama jenazah, dan memikirkan kematian serta kehidupan setelahnya.
ويسن المشي أمامها وقربها والاسراع بها والتفكر في الموت وما بعده
Artinya: “Disunnahkan berjalan di depan janazah, dekat dengan jenazah, berjalan cepat bersama jenazah dan memikirkan tentang kematian dan kehiduapan setelahnya. (ibid).
Kesimpulannya: apabila kita mengiring jenazah, jika mampu usahakan dengan berjalan kaki dan sedikit mendahului jenazah di depannya. Selain itu, sebaiknya sibukkan diri untuk memikirkan kematian, memikirkan kematian, dan berdzikir kepada Allah.
Sebagai catatan, jarak dekat dengan jenazah atau iring-iringan secara berkerumun, relevan dijalankan saat kondisi normal. Dalam situasi tertentu—seperti jenazah potensial menularkan penyakit, maraknya wabah, atau semacamnya—cara yang digunakan menyesuaikan keadaan yang menurut para ahli tergolong aman, dengan tetap berusaha menerapkan standar tiga anjuran di atas sejauh memungkinkan.
Wallahu a’lam. []
Ustadz Ahmad Mundzir, pengajar di Pesantren Raudhatul Quran an-Nasimiyyah, Kota Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar