Gempa Keluarga
Oleh: Alissa Wahid
Video tentang antrean orang mengajukan perceraian di Pengadilan Agama Kabupaten Bandung ramai dipercakapkan netizen Indonesia. Video ini melengkapi berita dari berbagai kota di Indonesia yang mengabarkan melonjaknya kasus perceraian di tengah pandemi Covid-19 ini. Lonjakan ini tidak jauh berbeda dengan data dari berbagai negara seperti Perancis, China, dan Korea Selatan.
Banyak dikemukakan sebagai alasan perceraian adalah hilangnya penghasilan dan ketidakpastian yang menciptakan tekanan mental berat bagi pasangan suami-istri. Belum lagi, masuk tahun ajaran baru, anak-anak mesti mengikuti sistem pembelajaran jarak jauh, membuat orangtua harus ikut blingsatan menyediakan gawai dan pulsa yang tidak sedikit merogoh kocek mereka.
Alasan lainnya adalah tekanan psikologis akibat hidup bersama, yang menciptakan ketegangan, bahkan sering kali berujung pada kekerasan. Kekerasan tidak hanya terjadi antara suami dan istri.
Namun juga dilakukan orangtua saat menghadapi anak-anak yang frustrasi dengan perubahan kehidupan mereka. Biasanya sebagian beban pengasuhan dan pendidikan diserahkan ke sekolah, sehingga orangtua punya waktu jeda saat anak-anaknya pergi ke sekolah. Di masa pandemi ini orangtua bertindak penuh sebagai pengasuh dan pendidik.
Cuplikan data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menunjukkan, pada periode 10-22 Mei 2020 saja, layanan Kesehatan Jiwa dibanjiri aduan kekerasan sebanyak 453 kasus dalam bentuk kekerasan ekonomi, kekerasan fisik, dan kekerasan psikis.
Sebelum masa pandemi, orang mengeluhkan kurangnya waktu bersama orang-orang yang dicintainya. Tahun 2017, Badilag mencatat setidaknya terjadi 1.000 perceraian per hari di Indonesia, dan penyebab utama yang dilaporkan adalah cekcok berkepanjangan. Orang menuduh karier, terutama karier perempuan, sebagai penyebab kehancuran keluarga karena terlalu sibuk di luar rumah.
Orang juga menuduh ketidakhadiran ayah, lagi-lagi karena kesibukan mencari nafkah dan berkarier, menyebabkan rusaknya mental generasi muda yang kurang mendapatkan panduan nilai-nilai kehidupan secara langsung.
Ironis, pandemi Covid-19 menyediakan beberapa hal yang diributkan tersebut. Karier tak lagi menghalangi, karena suami-istri tidak harus menghabiskan belasan jam di luar rumah. Secara leluasa, ayah dan ibu sama-sama hadir bagi anak-anaknya.
Mengurus rumah yang sebelumnya lebih banyak dibebankan kepada ibu kini dapat ditangani bersama. Waktu yang dulunya menjadi barang begitu langka sekarang tersedia 24 jam dalam sehari, 7 hari dalam seminggu.
Namun, alih-alih menjadi kesempatan untuk memperkuat kualitas keluarga, justru waktu penuh selama beberapa bulan saja berbuah bencana. Ketegangan yang biasanya membuat pasangan suami-istri hanya merasa perlu break atau me-time, saat ini mendorong mereka memutuskan untuk keluar sepenuhnya dari ikatan perkawinan mereka.
Pandemi ini membuktikan, ternyata bukan waktu dan kebersamaan fisik yang menjadi persoalan keluarga selama ini. Bukan juga soal anak-anak yang menguji kesabaran karena 24 jam orangtua harus menjadi orangtua, bahkan mendadak juga harus menjadi guru.
Kehancuran keluarga juga ternyata bukan soal karier dan segala efek turunannya, termasuk beban ganda istri yang bekerja dan mengurus rumah tangga tanpa uluran setara dari suami. Bahkan, sejatinya kemiskinan, kondisi ekonomi, atau ketidakpastian masa depan juga bukan penyebab.
Sebagian besar generasi yang lahir di tahun 1970-an tumbuh dalam kondisi ekonomi keluarga yang kurang sejahtera, namun faktanya sebagian besar orangtua mereka juga tidak bercerai.
Pengalaman keluarga-keluarga Indonesia di masa pandemi ini semakin menebalkan keyakinan dasar penulis sebagai psikolog bahwa ketangguhan keluarga menjadi faktor paling penting dalam menentukan seberapa besar daya lenting keluarga menghadapi dinamika kehidupan keluarga.
Bagaikan bangunan, konstruksi yang kokoh akan tahan terhadap gempa, hujan badai, dan gangguan lainnya. Sementara gempa ringan bisa langsung merobohkan konstruksi bangunan yang lemah karena fondasi yang kurang kuat atau pilar yang hampir patah.
Fondasi keluarga yang kuat adalah berupa prinsip-prinsip luhur yang menghidupi keluarga. Misalnya prinsip keadilan dan keseimbangan. Faqihudin Abdul Kadir (2018) menambahkan prinsip kesalingan. Apabila ketiga prinsip ini dijadikan sebagai pijakan dalam setiap tindakan keluarga, niscaya setiap tantangan akan lebih mudah dikelola.
Di ujung lain, prinsip kemaslahatan menjadi perspektif payung yang akan mengayomi keluarga. Dengan prinsip ini sebagai atap, kehidupan keluarga diarahkan untuk dapat memberikan kebaikan bersama bagi setiap anggotanya. Kekerasan dalam rumah tangga dan semua praktik keluarga berisiko seperti perkawinan anak dan poligami akan dihindarkan dengan prinsip ini.
Komitmen merupakan salah satu pilar bangunan keluarga, diikuti dengan keyakinan bahwa perkawinan dikelola berpasangan bagaikan sepasang sayap. Demikian juga sikap baku-baik dan dialog (musyawarah). Pilar-pilar ini menjadi panduan bersikap, berperilaku di dalam keluarga. Anggota keluarga saling berlaku baik, mampu mendialogkan ketegangan, bahkan mampu berkonflik dengan baik dan benar.
Dengan fondasi, pilar, dan atap bangunan keluarga yang terpelihara baik, masa pandemi ini dapat menjadi masa yang lebih nyaman. Bahkan, hidup #dirumahaja menjadi sebuah pengalaman yang memperkuat keluarga.
Pandemi ini adalah sebuah gempa berskala sedang bagi semua keluarga. Seberapa besar dampaknya akan sangat tergantung dari kekuatan dan kekokohan bangunan keluarga itu sendiri.
Bangunan keluarga yang tangguh membuat keluarga tetap aman di tengah ayunan gempa. Namun, bangunan keluarga yang rapuh membuat anggota keluarga berhamburan, karena ayunan gempa memorakporandakan bangunan keluarga. Bukan Covid-19 yang menyebabkannya.
Semoga kita dapat belajar dari masa-masa ini dan memperkokoh bangunan keluarga kita. []
KOMPAS, 6 September 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar