Saya adalah Wartawan
Oleh: Sindhunata
Jurnalisme dan kepribadian adalah dua hal yang tak terpisahkan pada diri Jakob Oetama. Maka membicarakan jurnalisme Pak Jakob, tak mungkin bila kita tidak menyinggung kepribadiannya. Kisah berikut kiranya bisa menjadi sekilas gambaran siapa Pak Jakob itu.
Bila ke Yogyakarta, Pak Jakob hampir selalu minta dijemput Hermanu, rekan yang bekerja di Bentara Budaya. Beberapa kali saya ikut menjemputnya dari Bandara Adisucipto. Kendaraan Bentara Budaya hanyalah sebuah jip Taft tua. Pak Jakob duduk di jok depan di mobil yang tak ber-AC itu.
Setelah mampir di soto Kadipiro, makanan kegemarannya, kami mengantarnya ke Hotel Santika. Pintu mobil sebelah kiri sudah beberapa lama rusak, sehingga tidak dapat dibuka dari dalam. Hermanu membuka dari luar. Pak Jakob turun tanpa ada petugas yang menyambutnya. Maklum, siapa yang mengira seorang bos atau atau tamu terhormat rela hanya diantar mobil butut dan tua?
Jurnalisme yang "nguwongke"
Pak Jakob memang pribadi yang amat sederhana. Sehari-hari pakaiannya selalu sama, kemeja lengan panjang keabu-abuan dan celana hitam semu abu-abu. Rambutnya dibiarkan sedikit memanjang seperti seniman. Di hari tuanya, ia sering teringat dan bercerita tentang desa kelahirannya, Jowahan di dekat candi Borobudur. Kesederhanaan desa melekat di bawah sadarnya, lebih daripada fasilitas berlebih yang seharusnya boleh dirasakannya.
Pada Pak Jakob, kekayaan seakan adalah kesia-siaan, karena ia tak pernah bisa sungguh menikmatinya. Sementara kesederhanaan adalah harta, yang selalu memberinya inspirasi, semangat dan kreasi. Memang kekayaan yang sekarang menjadi miliknya bukanlah target hidupnya, tapi buah yang mengalir dari kesederhanaannya.
Kesederhanaan pribadi itulah fundamen jurnalistiknya. “Jurnalisme itu harus sederhana, jangan neko-neko,” pesannya. Pak Jakob terus berusaha membangun harian Kompas dengan jurnalisme kesederhanaan itu. Seperti dalam hidup, demikian pula dalam jurnalisme: menjadi sederhana itu tidaklah mudah. Tapi bila mau melakukannya, orang akan menemukan banyak mutiara jurnalistik yang amat berharga.
Pesan “jangan neko-neko” di atas jelas melarang jangan sampai jurnalisme menjadi kenes. Kenes memang menarik dan memikat. Tapi bila menjadi kenes, jurnalisme akan mudah tergoda untuk menyukai gosip, dan menyampaikan berita dengan bahasa yang berbunga-bunga. Pak Jakob sering mengingatkan akan bahaya tersebut. Ia ingin jurnalisme Kompas untuk selalu bergulat dengan bobot dan isi berita.
Sederhana memang memesona bukan karena penampilan luarnya, tapi karena kedalamannya. Maka Kompas diminta untuk selalu menggali kedalaman, dan bukan merawat penampilan luaran. Bahasa jurnalistik yang digunakannya janganlah neko-neko, tapi bahasa yang lugas, padat, hemat, sederhana, serta memudahkan pembaca untuk segera mencernanya. Semangat sederhana dan tidak neko-neko itu sangat menjiwai Kompas, sehingga menjadi identitasnya. Karena itu, begitu kelihatan kenes sedikit saja, langsung pembaca tidak rela lalu mencela, bukanlah identitas Kompas bahwa ia genit dalam jurnalistiknya.
Jiwa kesederhanaan Pak Jakob membuat ia mudah berempati terhadap mereka yang papa dan miskin. Tak heran bila jurnalismenya juga bersemboyan, menghibur yang papa dan menegur yang kaya. Kata Pak Jakob, Kompas jangan hanya berisi tentang berita orang-orang besar dan ternama. Orang-orang miskin dan terpinggirkan harus juga menjadi isi pemberitaannya.
Visi humanisme Kompas akan terwujud bila jurnalismenya bersentuhan dengan orang miskin, dan mau membela nasib mereka. Sebaliknya upaya humanisme untuk ikut menegakkan keadilan hanya akan menjadi abstrak, bila jurnalisme Kompas tidak memihak pada kaum papa dan miskin.
Pak Jakob sering menganjurkan, janganlah orang miskin dilihat hanya sebagai obyek berita. Tapi, hadapilah orang miskin sebagai manusia. Sebagai manusia, mereka yang miskin juga punya nilai, hak dan martabat. Malah dalam kekurangan dan penderitaan mereka sering terkuak ketahanan dan harapan yang tak dipunyai mereka yang berada. Maka orang miskin atau kemiskinan adalah lokasi, di mana humanisme menjadi transendental. Artinya, di seberang realitas kemiskinan dan penderitaan terdapat daya dan pesona yang melebihi daya dan pesona manusiawi belaka.
Daya itu menguatkan, dan pesona itu menggugah harapan. Itulah wilayah yang seharusnya dijelajahi juga oleh para wartawan. Bila itu dijalankan, jurnalisme akan bisa menghibur yang papa dan menegur yang kaya dalam dimensi kemanusiaannya yang terdalam.
Bagi Pak Jakob, modal bagi jurnalisme yang humanistis dan transendental itu adalah compassion. Ia mengejawantahkan compassion itu dengan praktik sederhana, yakni nguwongke. Dulu sering pada sore hari ia datang ke redaksi. Ia menyapa kami semua, dan menanyakan apa saja yang telah kami buat selama seharian di lapangan. Tak jarang ia meminta sebatang rokok dari kami, lalu mengisapnya.
Nguwongke adalah menyapa orang sebagai manusia, apapun derajatnya. Makin orang mau nguwongke, makin ia mengasah compassion-nya. Compassion itu bukan mengenai akal tapi mengenai hati. Maka kata Pak Jakob sendiri, orang yang mau ber-compassion pasti akan menjadi tulus dalam hatinya. Ketulusan hati itulah mata air jurnalistik Jakob Oetama. Jurnalisme harus dijalankan dengan tulus, justru karena pers di Indonesia sedang berhadapan dengan masyarakat yang tidak tulus. Tugas jurnalistik demikian tidak mungkin dijalankan, bila wartawannya sendiri tidak hidup dengan tulus dan jujur.
Ketulusan itu tidak hanya dipraktikkan dalam berkomunikasi tapi juga dalam kesetiaan untuk terjun ke lapangan. Jurnalisme tidak boleh malas ke lapangan. Pernah kami berdiri di pos satpam redaksi Palmerah karena hujan. “Kok belum berangkat,” tanya Pak Jakob yang kebetulan lewat. “Menunggu terang, Pak,” jawab kami. “Kan kalian punya jas hujan,” tegurnya.
Pernah juga saya dan St. Sularto kecolongan berita demonstrasi mahasiswa yang membela awak bis kota. “Koran lain memuat, mengapa kalian tidak?” tanyanya. Kami beralasan, kemarin kami sudah sibuk menggarap berita lain. “Itu bukan alasan wartawan,” semprotnya dengan pedas. Keesokan hari kami tidak ingin kecolongan lagi. Jam 4 pagi kami sudah di lapangan, siap-siap di garasi bis kota, yang awaknya hendak berdemo lagi.
Totalisme Jakob
Lapangan memang segalanya bagi jurnalisme Pak Jakob. Katanya, hanya dengan rajin turun ke lapangan, dan menghayati apa yang terjadi di lapangan, wartawan akan menghasilkan reportase dalam sosoknya yang nyata, hidup, berdenyut, berdesak, berkeringat, berairmata dan berpengharapan.
Pelbagai predikat layak disematkan pada Pak Jakob. Tapi di mana-mana dan kepada siapa pun, ia selalu mengatakan, “Saya adalah wartawan.” Hidup wartawan memang dihayatinya dan dicintainya dengan total. Baginya, wartawan bukan sekadar profesi tapi roeping, panggilan. Profesi adalah karir, yang bisa diraih dari diri sendiri. Sedangkan panggilan datang dari luar, semacam anugerah yang diberikan. Lain dengan profesi yang bisa dibanggakan sebagai martabat, panggilan diberikan untuk melayani dan mengabdi. Pada diri seorang Jakob Oetama, wartawan adalah panggilan untuk melayani masyarakat lewat pengabdian jurnalismenya.
Pak Jakob, demikian besar jasamu untuk kami semua, para wartawan ini. Selamat jalan dan terima kasih. []
KOMPAS, 10 September 2020
Sindhunata | Wartawan Kompas 1977-2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar