Bagaimana Sikap Ulama Terhadap Kalimat Sufistik yang Melewati Batas?
Pertanyaan:
Assalamu alaikum wr. wb. Redaksi NU Online, dalam khazanah tasawuf kita sering
mendengar ucapan para sufi yang tampak melewati batas dan kadang bertentangan
dengan kaidah umum keislaman seperti yang terkenal Abu Yazid Al-Busthami,
Al-Hallaj, Ibnu Arabi, atau Al-Jili. Bagaimana pandangan ulama perihal ini?
Terima kasih. Wassalamu alaikum wr. wb.
Hamba Allah – Martapura
Jawaban:
Penanya yang budiman, semoga dirahmati Allah SWT. Kalam-kalam yang tampak melewati batas itu bukan hanya dilontarkan oleh sufi, tetapi juga pernah oleh sahabat rasul seperti Sayyidina Umar, Sayyidah Aisyah, dan sahabat lainnya yang sebagian dikutip di sini.
Sayyidina Umar pernah mengatakan, “Banjir Nuh dalam ratapanku seperti aliran air mata//Kobaran api Ibrahim seperti kepedihan hatiku yang terbakar oleh cinta.
Kalau bukan embusan panjang napasku, niscaya aku tenggelam oleh air mata//tetapi sekiranya tanpa air mata, niscaya aku terbakar oleh napasku yang panas.
Dukaku apa yang diungkap Yakub itu baru minimal//semua bala yang menimpa Ayub hanya sebagian musibahku. (Lihat Syekh Abdul Wahhab As-Sya’rani, Al-Anwarul Qudsiyyah, [Beirut, Daru Shadir: 2010 M], halaman 229).
Abu Yazid Al-Busthami mengatakan, “Ketaatan Allah kepadaku lebih banyak dibandingkan ketaatanku kepada-Nya.” Ia juga mengatakan, “Siksaku lebih keras daripada siksa Allah terhadapku.” “Memandang wajahku sekali lebih baik daripada kau memandang Allah 1000 kali,” kata Abu Yazid kepada salah seorang sahabatnya. (Lihat Syekh Abdul Wahhab As-Sya’rani, Al-Minanul Kubra/Lathaiful Minan fil Akhlaq fi Wujubit Tahadduts bi Nikmatillah alal Ithlaq, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 2010 M], halaman 204-205).
Al-Hallaj mengatakan, “Tidak ada di jubah ini kecuali Allah.” Al-Ghazali juga pernah mengatakan, “Tidak ada sesuatu hal mungkin yang lebih indah dari dunia ini.” Ibnul Arabi pun pernah mengatakan, “Hatiku menceritakan kepadaku tentang Tuhanku,” “Tuhanku mengabarkanku tentang hatiku,” atau “Tuhanku mengabarkanku tentang diri-Nya.” (Lihat As-Sya’rani, 2010 M: 206).
Kita juga pernah mengenal kalam serupa dari Rabi’ah Al-Adawiyah, Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, Umar Ibnul Faridh, Jalaluddin Rumi, Hamzah Fanshuri, Siti Jenar, dan lainnya. Dalam menyikapi itu semua, kita dituntuk untuk bijaksana sebagaimana pandangan As-Sya’rani berikut ini:
قال واعلم أن من صفات المحبين أنهم يتكلمون بلسان المحبة والعشق والسكر لا بلسان العلم والعقل والتحقيق
Artinya, “Ketahuilah, bahwa salah satu sifat muhibbin itu adalah di mana mereka berbicara dengan bahasa mahabbah, isyq, dan mabuk cinta, bukan bahasa ilmu, akal, dan kenyataan.” (Lihat As-Sya’rani, 2010 M: 228).
Menurut As-Sya’rani, kalam mereka adalah lughatul asyiqin atau bahasa orang yang sedang tenggelam dalam cinta mabuk sebagaimana kalam burung-layang-layang jantan yang sedang asyik-ma’syuk lalu melewati batas terhadap kekuasaan Nabi Sulaiman AS, tetapi kemudian dimaafkan.
قلت وفي هذه القصة عذر عظيم لأهل المحبة في أشعارهم
Artinya, “Menurut saya, kisah ini mengandung uzur besar bagi ahli mahabbah dalam syair mereka.” (Lihat As-Sya’rani, 2010 M: 228).
As-Sya’rani menambahkan bahwa mereka yang sedang tenggelam dalam asyik-ma’syuk atau mahabbah dapat berbicara dengan bahasa ketuhanan, bahasa kerasulan, atau bahasa kewalian. Tidak heran kalau kalam mereka mendapat resistensi dan penolakan.
وربما تكلم العارف في نظمه أو غيره على لسان الحق تبارك وتعالى، وربما تكلم على لسان رسوله صلى الله عليه وسلم، وربما تكلم على لسان القطب. فيظن بعضهم على لسانه هو فيبادر إلى الإنكار
Artinya, “Terkadang, ahli makrifat dalam nazham atau bentuk ekspresi lainnya berbicara dengan bahasa ilahi. Terkadang ia berbicara dengan bahasa rasul-Nya SAW. Ia juga terkadang berbicara dengan bahasa wali quthub. Tetapi sebagian orang mengira ahli makrifat itu berbicara dengan bahasanya sendiri sehingga segera mendapat pengingkaran.” (Lihat As-Sya’rani, 2010 M: 203).
Namun demikian, penolakan para ulama atas kalam-kalam sufi tersebut dimaksudkan untuk menjaga keyakinan orang awam dan mereka yang terhijab agar tidak mengikuti kalam-kalam sufi tersebut secara jahil.
فافهم وربما أنكر العالم على بعض الصوفية في بعض الأوقات رحمة بالعوام والمحجوبين خوفا أن يتبعوه في ذلك الأمر بالجهل فيهلكون لا ردا على ذلك الصوفي بالكلية
Artinya, “Ketahuilah, ulama juga terkadang ikut mengingkari bahasa para sufi sebagai bentuk kasih saying terhadap orang awam dan mereka yang terhijab secara spiritual karena khawatir mereka mengikuti kalimat tersebut secara jahil sehingga mereka binasa, bukan karena penolakan secara keseluruhan terhadap kalimat sufi tersebut,” (Lihat As-Sya’rani, 2010 M: 203).
Demikian jawaban singkat kami. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran dari para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwathih thariq, Wassalamu ’alaikum wr. wb. []
Alhafiz Kurniawan
Tim Bahtsul Masail NU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar