Senin, 28 September 2020

(Ngaji of the Day) Perbedaan Pendapat Ulama seputar Qadha Shalat

Perbedaan Pendapat Ulama seputar Qadha Shalat

 

Shalat adalah kewajiban umat Muslim. Perintah shalat disebutkan berkali-kali dalam Al-Quran, hadits, serta dapat kita simak kalam ulama tentang keutamaan shalat dan hal-hal buruk yang bisa terjadi jika shalat ditinggalkan.

 

Jika shalat terlewat atau bahkan ditinggalkan secara sengaja, kita mengenal bahwa shalat yang terlewat mesti diganti, atau lebih kita kenal dengan qadha shalat.

 

Secara umum, ulama bersepakat bahwa mengganti shalat, lebih-lebih shalat fardhu yang terlewatkan, hukumnya wajib. Kesepakatan ini ada dalam masalah shalat yang tertinggal akibat ketiduran atau terlupa–semisal, karena saking sibuknya.

 

Dalam sebuah riwayat hadits yang dinilai shahih:

 

إِذَا نَامَ أَحَدُكُمْ عَنِ الصَّلَاةِ أَوْ نَسِيَهَا فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا

 

Artinya: “Jika kalian tertidur atau terlupa dari suatu shalat maka hendaknya shalat jika telah teringat/terbangun.” (HR. Abu Dawud)

 

Begitu pula dalam riwayat hadits lain, Nabi menyebutkan bahwa amal manusia dicatat saat tiga hal ini: jika seorang anak telah balig; orang tidur telah terbangun; dan orang lupa yang teringat.

 

Rupanya, ada persoalan yang menarik: apakah meninggalkan shalat secara sengaja, juga meninggalkan shalat akibat kondisi pingsan atau gangguan kesadaran lainnya, juga diwajibkan mengqadha shalat? Mengingat keduanya tidak terjelaskan secara gamblang dalam teks-teks sumber hukum.

 

Jumhur (mayoritas) ulama, sebagaimana dicatat oleh Imam Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid, menyebutkan bahwa orang yang meninggalkan shalat itu “berdosa”. Bahkan dalam pendapat mazhab lain, hukum meninggalkan shalat secara sengaja itu bisa sampai berstatus kafir.

 

Meninggalkan shalat jelas kudu menggantinya. Satu kaul menarik dari mazhab Zhahiri, dalam hal ini Imam Muhammad bin Hazm – yang kini mungkin mazhabnya sudah tidak eksis – menyatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat secara sengaja tidak wajib mengqadhanya.

 

Imam Ibnu Hazm ini, sebagaimana cara ijtihad ulama mazhab Zhahiri lain, tidak menggunakan qiyas dalam usaha menggali hukum. Karena tidak ditemukan keterangan yang sharih (eksplisit) seputar bagaimana hukum meninggalkan shalat, kecuali untuk orang yang tertidur atau terlupa, maka qadha untuk orang yang meninggalkan shalat secara sengaja ini tidak wajib.

 

Jawaban itu mungkin asing bagi kita, tapi demikianlah keragaman pendapat ulama. Sebagai argumen seputar qadha shalat, ulama menggunakan analogi ini: jika syariat sudah memberi aturan qadha shalat untuk orang lupa, apalagi untuk yang sengaja jelas lebih wajib mengganti shalat. Hal ini dikenal dengan qiyas aulawi –menganalogikan dengan hal-hal yang lebih berat atau tinggi kedudukannya. 

 

Kemudian soal pelaksanaannya, bagaiamana qadha shalat itu dilaksanakan? Secara prinsip, “sesuatu yang mengganti” jelas berbeda dengan “yang digantikan”. Shalat qadha, karena merupakan shalat wajib yang menggantikan yang shalat yang terlewat, masuk waktu shalat sebagai salah satu syarat sah menjadi tidak terpenuhi. Karena itulah qadha baiknya mesti segera dilakukan dan tidak berbatas waktu.

 

Sebagian ulama ada yang mensyaratkan tartib dalam qadha shalat. Tertib di sini maksudnya adalah melakukan sesuai urutan shalat yang tertinggal, atau mendahulukannya sebelum shalat fardlu di waktu tersebut. 

 

Mazhab Maliki mensyaratkan shalat yang ditinggal untuk dilakukan secara tartib. Seperti semisal dalam sehari ketinggalan shalat Subuh, Zhuhur dan Ashar, maka meng-qadhanya pun mesti berurutan sesuai waktunya. Namun ulama lainnya, seperti Imam Asy-Syafi’i, tidak mewajibkan berurutan dalam pelaksanaan shalat qadha ini.

 

Selain itu, ada perbedaan pula soal cara mengqadhanya. Imam Syafi’i berpendapat bahwa meski dalam perjalanan yang membolehkan untuk qashar atau jama’, shalat mesti diganti sebagaimana asalnya. Berbeda dengan Imam Malik, yang dalam hal ini qadha shalat boleh menyesuaikan kondisi yang ada – maka shalat boleh di-qadha secara qashar atau jama’ jika syarat kebolehannya terpenuhi.

 

Perbedaan ini disebabkan pandangan yang berbeda seputar status shalat yang ditinggalkan: apakah ia sama dengan shalat yang dikerjakan secara ada’ di waktu normal sehingga bisa menyesuaikan kondisi, ataukah berstatus sebagaimana utang yang mesti dibayar serupa dengan kondisi awal ia ditinggalkan. Sikap lebih hati-hati (ihtiyath) yang diambil adalah shalat yang tertinggal itu, diganti sebagaimana asalnya.

 

Demikian beberapa hal seputar ragam pendapat ulama mengenai qadha shalat, khususnya shalat fardlu. Shalat menjadi sarana wajib untuk mendekatkan diri dengan Allah. Mengganti yang telah terlewat, tentu dapat menjadi bentuk instropeksi diri akan kewajiban-kewajiban kita sebagai muslim. Semoga Allah selalu menjaga shalat kita. Wallahu a’lam. []

 

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar