Kepergian Jakob Oetama, Sang Begawan
Oleh: M Jusuf Kalla
Kepergian seorang hamba adalah yurisdiksi mutlak Sang Ilahi: pasti kendati penuh misteri; kapan, di mana, dan bagaimana kepergian itu terjadi. Lantas, mengapa kita harus bersedih ditinggalkan oleh orang tertentu? Bukankah kepergian itu adalah sebuah keniscayaan yang tak perlu lagi kita ragukan?
Kita bersedih karena torehan jejak abadi yang ditinggalkan oleh orang yang pergi itu. Penuh kenangan, membekas dalam batin, membatu dalam pikiran. Jakob Oetama, salah seorang putra terbaik bangsa, pergi dengan jejak-jejak panjang yang bersemai dalam kalbu kita semua. Ada pelajaran, banyak keteladanan, memberikan inspirasi, dan membangun mimpi buat bangsa ini. Lalu, kita pun bersedih atas kepergian pembuat jejak-jejak tersebut.
Siapa Jakob Oetama
Jakob Oetama adalah Kompas dan Kompas adalah Jakob Oetama. Sebuah pertautan abadi antara orang dan lembaga. Mereka menyatu dalam sebuah tujuan dan misi suci: ”Amanat Hati Nurani Rakyat”. Sebuah misi suci yang tidak sekadar diusung dan dijajakannya, tetapi juga diyakini dalam jiwa dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari: Jakob Oetama. Sebagai seorang wartawan, ia sangat konsisten mewujudkan misi tersebut.
Metode Jakob Oetama dalam menjalankan misinya sangatlah sadar tentang pentingnya pendekatan budaya. Ia marah, tetapi tidak menampar. Ia memprotes, tetapi tidak berpekik yang memekakkan telinga. Ia menolak, tetapi tidak meruntuhkan martabat bagi mereka yang mendesakkan keinginan. Ia mengkritik dengan kelembutan dan kesantunan. Tidak mengiris yang membuat kepedihan. Beginilah paradigma Jakob Oetama dalam memimpin Kompas dan grupnya yang lain. Karena itu, Kompas masih tegak, melewati lintasan sejarah, lebih dari setengah abad.
Apakah dengan itu kita harus mengatakan Jakob Oetama menegakkan praktik jurnalisme penyelamatan diri? Sama sekali tidak. Harian Kompas pernah juga dibredel oleh rezim Soeharto. Artinya, dalam hal tertentu, Jakob Oetama tidak berkompromi dengan prinsip. Ia tidak berselancar di atas idealisme yang digadaikannya. Ia juga adalah sebuah batu karang dalam memegang prinsip dan idealisme.
Jakob Oetama tidak sekadar seorang jurnalis andal. Ia seorang pengusaha yang memiliki naluri bisnis yang luar biasa. Naluri bisnis luar biasa itu dilengkapi dengan keterampilan manajerial yang sangat mumpuni. Dapat kita bayangkan, Grup Kompas Gramedia yang begitu besar dengan bisnis yang rupa-rupa tentu saja mengharuskan adanya kecanggihan manajemen. Jakob Oetama memiliki itu. Kompas Gramedia memiliki koran, dengan berbagai versi dan pangsa pasar, hotel, bisnis percetakan, toko buku, televisi, dan sebagainya. Hal ini semua adalah penegas betapa mumpuninya seorang Jakob Oetama dalam bisnis dan manajemen.
Saya yakin, Jakob Oetama merambah bidang bisnis lain karena ia memiliki naluri yang tajam, bahwa pada suatu ketika, dengan berbagai faktor, termasuk perubahan teknologi, bisnis koran dan majalah akan surut. Maka, lalu dilakukan transformasi ke bidang digital dengan tetap mempertahankan nilai-nilai Kompas.
Kita juga mengenal Jakob Oetama sebagai seorang budayawan yang sangat sensitif terhadap masalah kultural, termasuk pendekatan kultur dalam kehidupan sehari-hari. Jakob Oetama, misalnya, tak segan-segan mengeluarkan biaya untuk membangun institusi yang bernama Bentara Budaya, sebuah pedepokan untuk pertunjukan dan pameran budaya.
Dalam konteks pendekatan budaya, Jenderal M Jusuf suatu ketika bercerita kepada saya bahwa dirinya pernah mendatangi Jakob Oetama tatkala dirinya masih menjabat Menhankam/Pangab. Jenderal Jusuf menumpahkan isi hatinya bahwa dirinya seolah tidak memperoleh apresiasi dari Presiden Soeharto tentang apa yang dilakukannya, misalnya membangkitkan spirit para prajurit. Jakob Oetama memberi nasihat bahwa Jenderal Jusuf harus memahami kultur Jawa: tidak boleh ada matahari kembar. Maklum, popularitas Jenderal Jusuf ketika itu, dengan agenda kemanunggalan rakyat dan ABRI serta ABRI Masuk Desa, sangat melambung.
Jenderal Jusuf pun maklum atas makna nasihat itu. Ke mana pun ia pergi, setiap memulai pidato, selalu mengawalinya dengan kalimat, ”Salam hangat dari Bapak Presiden. Beliau memerintahkan saya untuk….” Begitulah cara Jakob Oetama memberi arahan. Dalam konteks ini, Jakob Oetama kelihatan sekali bahwa ia seorang guru yang tak mendesakkan keinginan. Ia memberi arah, tetapi tidak menjejalkan keinginan. Sejatinya, Jakob Oetama memang pernah menjadi seorang guru ketika masih muda.
Saya mulai berinteraksi dengan harian Kompas sejak kali awal terbit. Harian Kompas adalah panduan kami sebagai aktivis pada 1960-an, tentang obyektivitas data dan penunjuk arah kami tentang arah perkembangan sosial politik ketika itu. Sebelumnya, saya sudah berlangganan majalah Intisari.
Kedekatan saya secara pribadi dengan Jakob Oetama bermula pada tahun 1980-an. Ketika itu saya adalah Ketua Kadin Sulawesi Selatan. Setiap ada diskusi panel ekonomi yang diselenggarakan Kompas, saya selalu diundang sebagai pembicara dan Jakob Oetama selalu yang membuka acara diskusi itu. Dari pertemuan demi pertemuan itulah, kedekatan personal kami semakin erat.
Kedekatan tersebut semakin mengental sejak saya pindah domisili dari Makassar ke Jakarta karena saya diangkat menjadi menteri oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tahun 2000. Setiap tiga bulan, secara rutin, saya dengan Jakob Oetama selalu sarapan pagi bersama sejumlah wartawan senior Kompas. Bisa di kediaman saya atau di Hotel Santika.
Sejalan dengan kondisi fisik Jakob Oetama, beberapa tahun terakhir, acara sarapan bisa tetap diadakan, tetapi Jakob Oetama tak lagi ikut makan. Setiap acara sarapan berlangsung, rupa-rupa topik masalah kebangsaan dan kenegaraan dibahas.
Melalui interaksi personal saya seperti itu, jelas sekali bahwa Jakob Oetama selalu gelisah dengan suasana stagnan dan tak bisa diam dengan perubahan yang terjadi di sekitarnya. Semua agenda kebangsaan masih saja selalu menjejali pikirannya. Setiap masalah kebangsaan juga selalu mengusik nuraninya. Ia tidak pernah terpaku pada sebuah sudut henti, apalagi berdiam diri tanpa berbuat apa pun. Selemah apa pun fisiknya, pikirannya tetap mengalir jernih, kontemplasinya tetap dalam, kalkulasinya tetap jalan.
Bagi saya, pengetahuan Jakob Oetama sangatlah luas dan komprehensif. Kendati begitu, Jakob Oetama adalah figur yang memiliki kemampuan untuk mendengarkan orang lain. Sedalam apa pun pengetahuannya tentang sesuatu, Jakob Oetama tidak pernah lepas dari kendali diri untuk menampakkan apa yang diketahuinya. Ia lebih acap dan mahir menunjukkan diri bahwa ia ingin mengetahui sesuatu, bukan memberi tahu sesuatu. Di sinilah keunggulan komunikasi Jakob Oetama dengan siapa pun.
Dalam hal kemampuan berartikulasi dan bernarasi, Jakob Oetama terbilang sangat langka. Sepelik apa pun masalah, di tangan Jakob Oetama, semua bisa cair dengan argumen yang sangat sederhana. Keunggulan ini dilengkapi dengan kemampuan retorika yang menawan, membuat siapa pun yang jadi lawan bicaranya pasti tertarik berdiskusi panjang dengan dirinya.
Tidak ada kata dan niat untuk bosan dalam berbicara dengan Jakob Oetama. Ia selalu berbicara dengan runtut, logis, dan acap kali penuh metafora. Apa pun yang diucapkannya selalu terkesan sebagai ekspresi dari hasil perenungan panjang dan dalam. Semua ini menjadi daya tarik tersendiri bagi siapa pun yang berdiskusi dengan Jakob Oetama.
Kini, ia terbaring damai dalam keabadiannya di sana. Namun, narasi dan artikulasinya tetap saja menyala, menjadi panduan kehidupan bangsa kita. Ia, Jakob Oetama, bukan sekadar guru di depan kelas, melainkan seorang guru dan begawan bangsa. Jejak-jejaknya akan abadi, seabadi dengan keharuman namanya. Selamat beristirahat, Pak Jakob Oetama. []
KOMPAS, 10 September 2020
Jusuf Kalla | Wakil Presiden RI periode 2004-2009 dan 2014-2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar