Al-Ta'lim al-Muta'allim (2)
Epistimologi Makrifah
Oleh: Nasaruddin Umar
Epistimologi makrifah atau pengetahuan yang bersifat spiritual semakin tak terbantahkan. Di negara-negara maju sekarang sudah mulai demam kajian spiritual. Kabbalah (mistisisme Yahudi) yang dulu diharamkan oleh para Rabbi karena dianggap bid'ah kini laksana cendawan tumbuh di mana-mana. Di New York, tepatnya The Manhattan Center yang terletak di 155 E/84 St, di jantung kota NY berdiri tegak Kabbalah Center. Jauh sebelumnya Karen Berg pernah mendirikan The National Research Institute of Kabbalah di Los Angeles, yang sampai sekarang ramai dikujungi artis Hollywood dan ilmuan Yahudi di sana.
Di Eropa dan Amerika Latin juga demikian halnya.Lembaga-lembaga meditasi bahkan sudah dibuka di sejumlah university terkemukan.Buku-buku Newage pernah mendominasi sejumlah toko buku diAmerika dan Eropa. Center-center sufi akhir-akhir ini mungkin lebih ramai di Barat dari pada di Timur. The Beshara School, sebuah lembaga spiritual yang bertaraf internasional sudah mulai go-piblic merambah hamper di seluruh negara. Ibn 'Arabi Society yang members-nya semakin besar sebagaimana dapat dilihat di website-nya. Pengikut Kabbani dan Bawa Muhaiyaddeen di AS juga semakin ramai dikunjungi pengikut. Di antara mereka bukan orang awam tetapi orang-orang yang berpendidikan tinggi, bahkan banyak di antaranya para saintis.
Di Indonesia sendiri, kajian-kajian sufistik merebak di berbagai kota menandakan adanya ketidak puasan manusia terhadap capaian ilmu pengetahuan selama ini. Paling tidak kehausan intelektualitas manusia ternyata tidak mampu dipuaskan oleh ilmu pengetahuan ('ilm). Manusia menginginkan lebih dari sekedar ilmu yang hanya mampu memberikan kepuasan logika. Kepuasan sejati hanya dapat dirasakan manakala menyentuh aspek hakiki dari manusia yang namanya kepuasan batin. Justru kepuasan batin inilah yang kemudian mendatangkan kesadaran kemanusiaan yang lebih tinggi. Kecenderungan global seperti ini seharusnya diakomodir oleh para praktisi dunia pendidikan kita, terutama di dalam penyusunan kurikulum yang kini sedang berlangsung.
Epistimologi makrifat lebih dari sekedar menempuh epistimologi keilmuan biasa. Persyaratan yang harus ada di dalam menggapai tingkat makrifat Al-Qusyairi ialah penyucian dari dari berbagai dosa dan maksiyat, bersih dari urusan dan ketergantungan dunia, terus-menerus bermunajat di hadapan Allah dengan cara sirri, selalu memelihara kelembutan jiwa dan budi pekerti, dan penuh pengendalian dan mawas diri. Bagi orang yang mencapai tingkat mukasyafah (penyingkapan) maka ia akan berada pada tingkat musyahadah (penyaksian kepada zat Yang Maha Mulia). Dalam keadaan seperti ini manusia bisa memperoleh kepuasan intelektual hakiki yang tak terlukiskan.
Rawaim ibn Ahmad pernah menggambarkan orang yang mencapai tingkat makrifat bagaikan seorang menyaksikan cermin. Jika ia melihat cermin itu maka akan tampak jelas Tuhannya. Zunnun al-Mishri melukiskan orang-orang yang bergaul dengan penerima makrifah seperti orang-orang yang bergaul dengan Allah Swt. Menurut al-Hallaj, "Jika seorang hamba telah sampai kepada makrifatullah maka Allah akan membisikkan kepadanya dengan melalui hatinya dan menjaga hatinya dari kata hati yang tidak benar".
Abu Yazid al-Busthami pernah ditanya prihal orang yang mencapai makrifat, ia menjawab: Orang arif adalah penerbang dan orang zuhud itu pejalan kaki. Selanjutnya ia menambahkan: "Ketika ia tidur ia tidak melaihat selain Allah, ketika ia terjaga ia tidak melihat selain Allah, ia tidak beribadah selain kepada Allah". Pernyataan-pernyataan seperti ini tidak dikenal di dalam epistimologi keilmuan biasa. Bahkan pernyataan seperti ini di zaman positifisme dianggap igauan yang tidak punya tempat dalam dunia keilmuan. []
DETIK, 21 Juni 2020
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar