Rabu, 23 September 2020

Nasaruddin Umar: Al-Ta'lim al-Muta'allim (8) Antara Epistemologi Sains dan Agama

Al-Ta'lim al-Muta'allim (8):

Antara Epistemologi Sains dan Agama

Oleh: Nasaruddin Umar

 

Seolah-olah dua kutub yang berbeda jika kita berbicara tentang epistemologi sais dan epistemologi agama. Dalam mengungkapkan kebenaran, epestemologi sains berangkat dari keraguan (skeptis) lalu mengumpulkan fakta dan data yang berhubungan dengan ontologi yang dijadikan obyek. Fakta, data, dan postulat yang telah dikumpulkan dianalisis, diverifikasi, dan diklasifikasi, lalu disusun asumsi-asumsi yang berhubungan dengan hipotesis yang telah telah ditetapkan sebelumnya. Jika hipotesis itu sesuai dengan pembuktian biasanya dilanjutkan dengan check dan recheck sampai betul-betul pengujiannya tidak memiliki jarak dan ketidaksesuaian antara asumsi dan pembuktian. Jika kesimpulan sudah matang maka proses selanjutnya ialah peneliti mendeklarasikan atau memublikasikan temuan itu media atau jurnal ilmiah untuk mendapatkan umpan balik dari kalangan ilmuan, apakah setuju atau membantah asumsi itu.

 

Jika publikasi sudah dilakukan dan tidak mendapatkan sanggahan, apalagi mendapatkan pengakuan dan penguatan, maka jadilah asumsi itu sebagai sebuah teori kebenaran. Sepanjang belum ada yang membantah atau menyangkal teori itu maka sepanjang itu pula berlaku sebagai teori kebenaran ilmiah. Namun perlu diingat bahwa, kebenaran ilmiah adalah kebenaran akumulatif, yakni bahan-bahan yang dijadikan dasar asumsi merupakan akumulasi berbagai sub-sistem kebenaran yang sudah tersedia dan merupakan ditemukan orang lain sebelumnya. Jika ternyata di kemudian hari ada diantara sub-sistem kebenaran itu mengandung kelemahan, apalagi terbukti ada analisis yang keliru di dalam penetapan bangunan teori tadi, maka dengan sendirinya kredibilitas teori itu menjadi absurd. Dengan demikian, kebenaran ilmiah pada akhirnya juga adalah kebenaran relatif.

 

Sebagai contoh, ada asumsi bahwa segala benda yang diberi padas akan menuai. Ada sebuah baut besi dibuka dan diberi panas tertentu lalu dipasang lagi ke tempatnya semula, ternyata baut itu tidak bisa masuk karena sudah membesar. Benda lain dicoba lagi dengan percobaan serupa ternyata hasilnya semuanya sama. Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa semua benda yang dipanasi akan mengembang adalah benar secara sains.

 

Sebaliknya epistemologi agama berangkat dari sebuah keyakinan yang kokoh. Dari keyakinan itu dikumpulkanlah bahan-bahan dan postulat untuk membuktikan keyakinan itu. Jika bahan-bahan dan postulat itu sesuai dengan keyakinan yang dideklarasikan agama maka kepuasan dan kelegaan spiritual dan intelektual dicapai. Ujian dan check dan recheck juga dilakukan tidak untuk menggugurkan keyakinan tetapi lebih untuk menambah keyakinan dari yang tadinya 'ilmul yaqin menjadi 'ainul yaqin, dan seterusnya menjadi haqqul yaqin.

 

Sebagai contoh, agama mendeklarasikan adanya Tuhan, lalu diadakanlah analisis terhadap berbagai bukti adanya Tuhan. Akhirnya setelah dilakukan berbagai pembuktian maka dicapai kesimpulan bahwa memang Tuhan benar-benar ada. Dengan demikian, keyakinan bahwa Tuhan itu ada membuat penganutnya semakin yakin akan kebenaran agama.

 

Pertanyaan muncul, apakah konsep kebenaran sains selalu seirama dengan konsep kebenaran agama? Atau sebaliknya, apakah konsep kebenaran agama selalu seirama dengan konsep kebenaran sains. Dalam masa positivisme segala sesuatu harus diukur dengan epistemologi logika dan hasilnya ada sejumlah postulat keagamaan yang tidak klop dengan teori ilmiah. Akibatnya kalangan positivisme banyak menolak agama. Hal kebalikannya juga pernah terjadi, penolakan sains, bahkan pembunuhan saintis, karena temuannya dianggap melecehkan agama, yang dimaknai pelecehan terhadap Tuhan. []

 

DETIK, 27 Juni 2020

Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar