Kerusakan Ekologis, Imunitas Anak-Cucu dan Kewajiban Negara
Oleh: Bambang Soesatyo
VAKSINASI seluruh rakyat
Indonesia untuk mencapai kekebalan terhadap virus korona harus menjadi bagian
tak terpisah dari kewajiban dan investasi negara melindungi serta merawat
kesehatan warga negara. Kerusakan ekologis yang menghadirkan ragam virus
menuntut negara untuk terus meningkatkan daya tahan atau imunitas generasi
anak-cucu.
Karena itu, pemerintah perlu didorong untuk bekerja all out agar target
minimal vaksinasi 70% penduduk – atau 170 juta warga-- pada 2021 bisa
direalisasikan demi terwujudnya kekebalan kelompok (herd immunity) dari virus korona. Bahkan,
akan lebih ideal jika lebih dari 260 juta jiwa total penduduk Indonesia saat
ini bisa menerima vaksin korona. Apalagi jumlah kasus Covid-19 di dalam negeri
terus bertambah dengan skala yang terus membesar. Per Rabu (2/9), kasus positif
sudah mencapai jumlah 180.646. Pada tingkat gobal, kecenderungannya juga sama,
karena total kasus Covid-19 pekan ini sudah melampaui jumlah 25,8 juta
penderita dengan total kematian 858.000 pasien.
Beberapa hari lalu, PT Bio Farma menjelaskan bahwa
Sinovac dari Tiongkok hanya akan memasok 260 juta bulk atau bahan baku vaksin ke Indonesia
hingga akhir 2021. Artinya, untuk mencapai target vaksinasi minimal 70%, total
pasokan bahan baku itu jelas masih kurang. Oleh karena per orang harus menerima
dua kali vaksinasi sesuai standar WHO, jumlah itu hanya bisa menjangkau 130
juta penduduk. Sedangkan kekebalan kelompok yang ideal adalah 70% dari total
penduduk. Artinya, minimal jumlah penduduk Indonesia yang harus menerima dua
kali vaksinasi mencapai jumlah minimal 170 juta jiwa.
Kekurangan bahan baku vaksin itu tentu saja harus
segera diatasi. Bahkan pemerintah didorong untuk bergerak cepat mengamankan dan
memastikan ketersediaan bahan baku vaksin korona. Setelah bekerjasama dengan
Sinovac, pemerintah hendaknya segera melakukan pendekatan dengan produsen lain
guna mengamankan dan memastikan ketersediaan bahan baku vaksin korona. Gerak
cepat sangat diperlukan karena produsen vaksin korona di negara lain pun
diperkirakan terus berbelanja bahan baku vaksin korona, sejalan dengan
peningkatan signifikan jumlah kasus Covid-19 di seluruh dunia. Pekan ini,
jumlah kasus Covid-19 di Amerika Serikat (AS) sudah 6,17 juta, Brazil 3,96
juta, India, 3,77 juta dan Rusia satu juta.
Kecenderungan yang diperlihatkan oleh data sementara
ini sudah cukup menggambarkan tingginya permintaan akan bahan baku vaksin. Lagi
pula, tak dapat dipungkiri bahwa durasi pandemi Covid-19 yang berkepanjangan
menyebabkan permintaan dan penawaran akan vaksin korona menjadi tidak
berimbang. Dengan asumsi bahwa 7,8 miliar warga bumi harus divaksinasi, volume
kebutuhannya jelas sangat besar. Namun, saat ini, kapasitas produksi pada
tingkat global pun masih sangat terbatas. Dengan begitu, sangat jelas bahwa
tingginya permintaan dunia akan bahan baku vaksin korona bersifat sangat
mendesak, sehingga pemerintah Indonesia memang perlu bergerak cepat.
Untuk vaksinasi kepada 160 hingga 190 juta penduduk,
pemerintah harus mengalokasikan pembiayaan sekitar Rp66 triliun. Perhitungan
sementara mengindikasikan bahwa untuk dua kali vaksinasi per orang, biayanya
sekitar Rp440.448. Maka, kebijakan sementara yang dirancang pemerintah adalah
tidak semua penduduk mendapatkan vaksin gratis. Menurut Ketua Pelaksana Komite
Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Erick Thohir, hanya 93 juta penduduk
Indonesia yang akan mendapatkan vaksinasi virus korona tanpa bayar. Puluhan juta
warga itu dinilai sangat membutuhkan vaksin, dan kriterianya mengacu pada data
keanggotaan di BPJS Kesehatan.
Diasumsikan saja bahwa rancangan kebijakan itu belum
difinalkan, sehingga pemerintah perlu mempertimbangkan masukan dari pihak lain.
Telah disebutkan sebelumnya bahwa virus korona akan berdampingan dengan
kehidupan manusia, termasuk seluruh masyarakat Indonesia, untuk waktu yang
lama, bahkan durasinya belum bisa dihitung. Karena itu, vaksinasi bagi seluruh
rakyat Indonesia untuk mencapai kekebalan terhadap virus korona mestinya
menjadi bagian tak terpisah dari kewajiban negara melindungi dan merawat
kesehatan warga negara. Kesehatan seluruh elemen masyarakat harus terjamin,
termasuk bebas dari ancaman virus korona. Maka, vaksinasi bagi seluruh rakyat
idealnya dipahami sebagai investasi untuk menghadirkan semua elemen masyarakat
yang sehat dan punya imunitas.
Kalau hanya 93 juta warga yang mendapatkan vaksin
gratis, berarti hampir 60% dari 260 juta jiwa penduduk Indonesia harus membeli
vaksin. Pertanyaannya; apakah semua dari 160 juta lebih warga mampu membeli
vaksin seharga Rp440.448 itu? Faktor lain yang juga patut diperhitungkan adalah
risiko ketika tidak semua penduduk tidak menerima vaksin karena alasan tidak
mampu membeli atau percaya diri berlebihan, serta meremehkan ancaman Covid-19.
Jika di antara mereka akhirnya ada yang tertular Covid-19, sama artinya
kehadiran vaksin corona belum menyelesaikan masalah.
Dalam konteks mereduksi atau mengeliminasi ancaman
Covid-19 terhadap seluruh rakyat, kebutuhan dan pengadaan akan vaksin penangkal
virus korona idealnya menjadi beban investasi negara. Sebab, negara akan kuat
jika rakyatnya tangguh dan kompetitif karena imunitasnya yang mumpuni. Jadi,
pemberian vaksin korona kepada seluruh rakyat patut dipahami sebagai bagian
dari upaya membangun dan mewujudkan ketahanan nasional.
Virus korona penyebab sakit Covid -9 muncul karena
kerusakan ekologis. Sudah lebih dari setengah abad manusia modern menyadari
rusaknya lingkungan hidup. Namun, kesadaran itu tak juga mampu mencegah
kerusakan ekosistem tumbuhan dan ekosistem hewan, termasuk gagal mencegah
pencemaran air dan pencemaran udara. Keterkaitan antara sumber virus atau
penyakit dengan kerusakan ekosistem sudah berulang-ulang diingatkan oleh para
ilmuwan.
Sejumlah penelitian di tahun-tahun terdahulu sudah
mengindikasikan bahwa munculnya sejumlah virus yang mengganggu kesehatan
manusia bersumber dari kegiatan manusia merusak keseimbangan alam. Kegiatan
merambah hutan yang marak memungkinkan patogen atau mikroorganisme parasit pada
beragam satwa liar berpindah ke manusia. Mikroorganisme parasit itulah yang
menjadi penyebab atau sumber beragam penyakit.
Rusaknya keseimbangan alam juga disebabkan ulah
manusia modern melakukan pencemaran. Salah satu contoh korban pencemaran adalah
berita kematian ikan paus jenis Sperm
wale sepanjang 9,6 meter yang terdampar di perairan Wakatobi,
Sulawesi Tenggara pada November 2018. Dari dalam perut ikan paus itu, tersimpan
sampah plastik seberat 5,9 kg. Kasus serupa ditemukan di berbagai belahan dunia
dan itu semua sudah cukup jelas menggambarkan tingginya derajat pencemaran di
laut. Pencemaran tak terhindarkan karena semua sampah plastik terurai menjadi
butiran kecil, untuk kemudian masuk ke tubuh manusia melalui air minum, makanan
laut dan garam.
Berdasarkan catatan dan data historis itu, serta
mengacu pada kerusakan ekologis yang kini semakin parah, para ahli berpendapat
bahwa pandemi Covid-19 akibat wabah mengglobal virus Corona (SARS-CoV-2)
bukanlah yang terakhir. Virus-virus baru yang mengganggu kesehatan manusia
berpotensi muncul lagi di kemudian hari sebagai reaksi bumi akibat
ketidakseimbangan alam semesta.
Maka, negara harus terus berupaya dan berinvestasi untuk menjaga dan
meningkatkan imunitas generasi anak-cucu. []
KORAN SINDO, 03 September 2020 - 13:01 WIB
Bambang Soesatyo | Ketua MPR RI, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar