Gambaran Beratnya Sakaratul Maut
Kematian adalah peristiwa berpisahnya ruh dari jasad. Dan itu tidak terjadi kecuali disertai mabuk dan rasa nyeri yang teramat sangat. Bahkan, ia menjadi rasa nyeri paling nyeri yang menimpa seorang hamba di dunia. Mabuk dan rasa nyeri itulah kemudian disebut dengan sakaratul maut. Tak heran sakaratul maut menjadi sesuatu yang ditakuti dan dijauhi setiap makhluk yang bernyawa, sebagaimana yang digambarkan dalam Al-Qur’an, “Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari darinya,” (QS Qaf [50]: 19).
Banyak ayat dan hadits yang menggambarkan betapa beratnya sakaratul maut, terutama yang dialami oleh hamba-hamba zalim dan ahli maksiat. Di antaranya adalah ayat berikut, “Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang zalim berada dalam tekanan sakratul maut, sedangkan para malaikat memukuli dengan tangannya (sambil berkata), “Keluarkanlah nyawamu.” Di hari ini kamu dibalas dengan siksa yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya,” (QS Al-An‘am [6]: 93).
Beratnya kematian juga tergambar dari perbincangan singkat antara Sayidina ‘Umar ibn Al-Khathab dengan Ka‘b. Pria yang tengah menjabat sebagai khalifah kedua itu bertanya, “Wahai Ka‘b, sampaikanlah kepadaku tentang maut.” Ia menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, maut itu bagaikan sebuah pohon yang banyak durinya dimasukkan ke dalam perut ibnu Adam. Setiap duri memegang satu urat darinya. Kemudian ditarik sekaligus oleh seorang laki-laki yang sangat kuat. Maka terputuslah semua urat yang menyangkut pada duri. Tertinggallah urat-urat yang tersisa.”
Kemudian, saat menghadapi sakaratul maut ‘Amr ibn Al-‘Ash pernah ditanya oleh putranya tentang gambaran kematian. Ia menjawab, “Demi Allah, dua sisi tubuhku seakan-akan berada dalam himpitan. Napasku seakan-akan keluar dari lubang jarum. Dan sebuah dahan berduri ditarik sekaligus dari ujung telapak kaki hingga ujung kepalaku.”
Bahkan, beratnya kematian juga dirasakan oleh para nabi. Hanya saja menurut Al-Qurthubi, bagi mereka beratnya kematian memiliki dua keuntungan. Keuntungan pertama adalah menyempurnakan keutamaan mereka dan mengangkat derajat mereka. Dan beratnya kematian mereka bukan berarti sebuah kekurangan atau celaan. Sebab, manusia yang paling berat ujiannya adalah para nabi, kemudian orang-orang di bawah mereka. Keuntungan kedua adalah memberi tahu makhluk atau umat akan beratnya kematian. Mereka mungkin mengira bahwa kematian itu ringan. Namun, jika beratnya kematian disampaikan oleh para nabi, mereka sendiri merasakannya, padahal mereka adalah orang-orang mulia di sisi Allah, barulah umat akan memahaminya. Hanya saja kematian para nabi dan umatnya ada perbedaan. Kematian para nabi tidak terjadi sebelum diberikan tawaran atau pilihan. (Lihat: Jami‘ al-‘Ulum wal-Hikam, jilid 38, hal. 32).
Konon, pada zaman dahulu ada sekelompok bani Israil yang mendatangi komplek pemakaman. Karena ingin mengetahui bagaimana rasanya kematian, mereka kemudian shalat dua rakaat dan berdoa kepada Allah agar ada seorang meninggal yang dihidupkan di tengah mereka, sehingga mereka bisa bertanya-tanya tentang kematian. Allah pun mengabulkan doa mereka. Tak lama muncul seorang laki-laki dari sebuah kuburan. Namun yang keluar hanya kepalanya. Di antara kedua kepalanya terdapat bekas sujud. Pertanda laki-laki itu seorang ahli ibadah. Ia pun bertanya, “Wahai orang-orang, apa yang kalian inginkan dariku? Sungguh, aku telah meninggal seratus tahun yang lalu. Dan hingga kini panasnya kematian masih saja terasa dan belum hilang.” Demikian sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abdu ibn Humaid dari Jabir ibn ‘Abdullah.
Kendati demikian, ada sebuah kabar gembira bagi orang-orang mukmin. Sebab, kematian mereka disaksikan dan disambut para malaikat yang bersiap akan membawa ruhnya dalam secarik kain sutera dari surga yang berisi minyak misik paling wangi. Selain itu, sakaratul maut pun terasa seperti ditariknya sehelai rambut dari adonan tepung atau seperti air yang mengalir dari mulut geriba. Demikian seperti yang digambarkan dalam riwayat Abu Hurairah. Di dalamnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bercerita:
Ketika seorang hamba sudah ajalnya, ia akan didatangi para malaikat dari langit. Mereka datang dalam rupa terbaik dan akan menempati sebuah tempat tertentu, seraya mengenakan pakaian yang terbaik pula. Wajah mereka putih berseri-seri, seakan-akan mentari yang tengah bersinar. Di tangan mereka terdapat kain kafan dari surga untuk membungkus ruh sang hamba, lengkap dengan minyak wanginya yang akan mengharumkan ruh sang sang hamba. Tampak terlihat mereka duduk sejauh pandangan mata. Bahkan, sebagian orang saleh bisa menceritakan kejadian yang disaksikannya itu, sementara orang-orang di sekitar mereka sama sekali tidak melihat apa-apa.
Tak lama berselang, datanglah malaikat maut dan duduk dekat kepala sang hamba. Dia berkata kepada ruh si hamba:
يا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ارْجِعِي إِلى رَبِّكِ راضِيَةً مَرْضِيَّةً
“Wahai jiwa yang tenang…. Keluarlah kepada Tuhanmu dalam keadaan rida dan diridai,” (QS al-Fajr [89]: 27-28).
Ruh pun tak bisa menunda perintah itu. Ia perlahan mengalir keluar dari jasad seperti keluarnya air yang bersih dan jernih dari mulut geriba air. (Lihat: Dr. Sulaiman al-Asyqar, Al-Qishash al-Ghaib fi Shahih al-Hadits al-Nabawi, [Oman: Daru al-Nafa’is], 2007, cet. pertama, hal. 224).
Namun, seringan-ringannya sakaratul maut bagi seorang mukmin tetap dirasakan cukup berat. Hal itu tampak dari cucuran keringat di keningnya. Demikian seperti yang diungkapan dalam riwayat At-Tirmidzi dari Buraidah. Rasulullah saw. menyatakan:
الْمُؤْمِنُ يَمُوتُ بِعَرَقِ الْجَبِينِ
“Orang mukmin itu meninggal dengan keringat di keningnya.”
Keringat tersebut merupakan ungkapan dari beratnya kematian. Ada pula yang mengatakan sebagai tanda baik kematiannya. Sementara Ibnu Malik mengatakan, “Bagi seorang mukmin pun, kematian itu tetap terasa berat, sehingga ia berkeringat di keningnya demi membersihkan dosa-dosanya atau menambah tinggi derajatnya.” Hal ini ditegaskan dalam hadits yang lain, riwayat ‘Alqamah, di mana Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya nyawa seorang mukmin keluar sambil berkeringat. Dan aku tidak menyukai kematian seperti kematian himar.” Saat ditanyakan, seperti apa kematian himar. Beliau menjawab, “Yakni kematian mengejutkan,” (HR At-Tirmidzi).
Maka selayaknya setiap mukmin mempersiapkan kematian dan sakaratul maut, di samping mempersiapkan kehidupan abadi pasca kematian. Sebab, tidak ada yang mampu menunda dan memajukan kematian walau hanya sesaat. Haruskah persiapan itu menunggu nyawa sampai di kerongkongan? "Maka mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan, padahal kamu ketika itu melihat, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada kamu, tetapi kamu tidak melihat," (QS Al-Waqi‘ah [56]: 83-85).
Adakah yang mampu menyembuhkan setelah napas terakhir sudah berada di kerongkongan? Sekali-kali jangan. Apabila napas (seseorang) telah (mendesak) sampai ke kerongkongan, dan dikatakan (kepadanya), “Siapakah yang dapat menyembuhkan?” (QS Al-Qiyamah [75]: 26-27).
Demikianlah gambaran beratnya kematian dan sakaratul maut. Dan itu akan dialami oleh setiap yang bernyawa. Semoga saja kita diwarisi kematian husnul khatimah dan diberi keringanan dalam sakaratul maut. Amin ya mujibas sailin. Wallahu ‘alam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar